tirto.id - Megawati Soekarnoputri dan anak-anak Sukarno lainnya memilih jadi orang biasa sebelum 1987. Mereka tak terlihat di panggung politik era Orde Baru. Bahkan di partai yang punya sejarah terkait dengan Bung Karno, Partai Demokrasi Indonesia (PDI), anak-anak Sukarno belum memperlihatkan taring mereka.
Betapa beruntung Soeharto di masa itu dengan Golongan Karya (Golkar) di kakinya. Guruh Soekarnoputra, yang sempat jadi orang penting dalam dunia musik Indonesia, lebih tampak di belakang panggung sebagai pembuat lagu andal. Sementara Megawati adalah ibu rumah tangga. Menurut Derek Manangka dalam Jurus & Manuver Politik Taufiq Kiemas (2013: 46), suami Megawati, Taufiq Kiemas, merupakan pengusaha pom bensin.
“Tahun 1982, keluarga besar Bung Karno pernah membuat Konsensus. Intinya diantara seluruh keluarga Bung Karno tidak dibenarkan memihak salah satu kekuatan politik yang ada,” tulis Sumarno dalam Megawati Soekarnoputri: Dari Ibu Rumah Tangga Sampai Istana Negara (2002: 11).
Mereka merasa trauma akan akhir hidup Sukarno. Mereka juga merasa semangat Marhaenisme yang dulu dibuahkan oleh Sukarno sudah serasa mati.
Mendongkrak Suara PDI
Konsensus itu, seperti ditulis Sumarno (hlm. 12), kemudian justru dilanggar Megawati dan Guruh. Itu karena Soerjadi dan Nico Daryanto, dua petinggi PDI, mengajak mereka bergabung lantaran ingin mendongkrak suara PDI dalam Pemilu 1987. Kala itu, bersama Partai Persatuan Pembangunan (PPP), PDI selalu berada di bawah Golkar dalam setiap Pemilu zaman Soeharto.
Pada Pemilu 1987, kata Nico Daryanto dalam Pak Harto: The Untold Stories (2012: 331-332), gambar Sukarno muncul dalam kampanye Pemilu. Soeharto bilang ke Soerjadi dan Nico Daryanto: “Negara sudah memberikan yang terbaik untuk Presiden Sukarno sehingga PDI tak perlu pula ikut-ikutan.”
Sukarno yang sudah mati rupanya jadi hantu yang mengkhawatirkan Soeharto.
Dalam kampanye Pemilu 1987 yang dihadiri Megawati, seperti dicatat Sumarno (hlm. 12), biasanya ada yel-yel “Hidup Bung Karno, Hidup Megawati, Hidup PDI!” Ucapan-ucapan macam ini tentu bisa bikin Soeharto tak berkenan. Menurut Sumarno, “Mega dielu-elukan massanya karena ia menyandang nama besar Bung Karno yang karismatis itu” (hlm. 13-14).
PDI jadi lebih populer dari sebelumnya. Ini semua berkat Sukarno yang sudah jadi momok bagi Soeharto. Meski Golkar juga tidak kalah kuat. PDI akhirnya dapat 40 kursi di DPR dalam Pemilu 1987. Ini peningkatan cukup drastis karena dalam Pemilu 1982 PDI hanya dapat 24 kursi.
Tak lama setelah terjun ke politik di tahun 1987 itu, Guruh dan Mega akhirnya jadi anggota DPR. Taufiq Kiemas juga terpilih di daerah pemilihan Sumatra Selatan. Di masa mudanya, pada era Sukarno, Taufiq adalah aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI).
Setelah jadi anggota DPR, Megawati tidak langsung menjadi sosok yang vokal di meja parlemen. Kata Kwik Kian Gie, di DPR Mega tidak ada apa-apanya. Menurut Sumarno (hlm. 13), lawan-lawan politik Megawati menyebut anak sulung Bung Karno itu jarang nongoldi Gedung DPR. Atas serangan tersebut, Megawati memilih diam. Tapi apapun serangannya, Megawati tak pernah terlihat lemah di hadapan massa.
Rezim Orde Baru tentu senang dengan Megawati yang tidak intelek, tidak jago debat, dan tidak bisa menyusun konsep besar seperti bapaknya. Tapi kemampuan Mega paling mengerikan tentu saja dalam perkara pengerahan massa. Golongan yang mudah dijaring Megawati dan PDI adalah orang-orang yang terpinggirkan dari “kue pembangunan”—lazim disebut 'wong cilik' (orang kecil).
Lumrah jika PDI membangun citra sebagai partainya wong cilik. Berhubung jumlah orang miskin lebih banyak daripada kaum mapan pendukung Golkar, maka ini tidak bagus bagi Bapak Pembangunan Soeharto. Arus bawah pun menjadi pendorong makin menguatnya Megawati, yang tentunya kian tak disukai Soeharto.
Dibungkam Soeharto
Dekade 1990-an adalah era baru bagi Megawati. Pada akhir 1993 Megawati terpilih menjadi Ketua Umum PDI. Kemenangan Megawati itu, menurut catatan Salim Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto (2016: 136-137), karena “pembiaran” yang dilakukan Mayor Jenderal A.M. Hendropriyono dan Brigadir Jenderal Agum Gumelar, yang karier militernya tidak begitu benderang di akhir zaman Soeharto.
Megawati sendiri kerap diguncang agar jatuh dari kursi ketua umum, dengan berbagai cara. Salah satunya lewat kerusuhan legendaris pada 27 Juli 1996. Saat itu kantor DPP PDI diserang “massa suruhan” yang disusupkan lawan politik Megawati.
Peristiwa tersebut kemudian terkenal dengan nama Kudatuli (Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli). Tapi Kudatuli tak membuat Megawati gentar, dia malah semakin bersinar. Lebih banyak orang beranggapan Megawati adalah korban daripada Soeharto. Dari situ simpati pun berdatangan untuknya.
Meski Soeharto berusaha menggembosi kekuatan Megawati secara brutal, tapi Megawati masih punya pendukung yang loyal. Menurut Joe Studwell dalam Asian Godfathers: Money and Power in Hongkong and Southeast Asia (2017: 350), Megawati, meski bukan intelektual, tetap fokus menjadi oposisi Soeharto pada era 1990-an. Amien Rais, yang dicap sebagian pihak sebagai tokoh Reformasi, bukan siapa-siapa di mata wong cilik sebelum 1998.
PDI kemudian pecah jelang Pemilu 1997. Ada PDI Megawati dan PDI Soerjadi. Soerjadi yang dulu mengajak Mega terjun ke politik, menurut Derek Manangka (hlm. 28-29), dianggap sebagai orangnya Soeharto. Dari dua kelompok itu, rezim Soeharto hanya menganggap sah kubu Soerjadi sebagai kontestan Pemilu.
Akhirnya, Megawati selaku oposisi daripada Soeharto memberanikan diri untuk tidak memakai hak pilihnya (golput). Keputusan ini dituruti para pengikutnya. Hasil Pemilu 1997 menunjukkan PDI tanpa Megawati hanya dapat 11 kursi di DPR. Banyak pemilih PDI berpindah ke PPP. Megawati terus menjadi oposisi hingga lengsernya Soeharto pada 1998.
Setelahnya, Megawati menjadi orang penting yang punya pendukung kuat, hingga dirinya jadi wakil presiden lalu presiden. Megawati tak pernah kembali ke PDI yang dipimpin Soerjadi, tetapi membangun PDI yang baru dengan nama PDI Perjuangan (PDIP).
Megawati dan partainya terus berjaya, baik sebagai oposisi maupun yang berkuasa, sepanjang era pasca-Soeharto. Tentu saja semuanya bermula dari nama besar Sukarno.
Editor: Ivan Aulia Ahsan