Menuju konten utama

Berharap Pada Ulat Pemakan Sampah Plastik

Semenjak penemuan plastik untuk kepentingan manusia, manusia dihadapkan dengan persoalan lingkungan dari sampah plastik yang sulit terurai. Pelbagai penelitian dan teknologi mencoba menjawabnya, di antaranya dengan memanfaatkan ulat tepung.

Berharap Pada Ulat Pemakan Sampah Plastik
Pekerja memproses sampah-sampah plastik untuk didaur ulang di Pabelan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Selasa (18/10). Plastik-plastik seharga Rp5.500-Rp6.500 per kilogram tersebut dipasok ke Solo untuk diproses menjadi biji plastik sebagai bahan dasar kantong plastik dan botol kemasan. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/aww/16.

tirto.id - Berton-ton sampah dihasilkan setiap hari di seluruh dunia, tak kecuali sampah berbahan plastik. Sampah berbahan plastik ini tak hanya merusak lingkungan di daratan maupun lautan karena sangat sulit terurai.

Di Indonesia misalnya, Greeneration, sebuah LSM lokal pada 2010 pernah melakukan riset terkait produksi sampah dari kantong plastik, hasilnya di kota-kota besar di Indonesia, satu orang rata-rata menggunakan 700 kantong plastik per tahun. Sementara itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) punya data lain--sampah plastik hasil dari 100 toko atau anggota Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) dalam waktu satu tahun menghasilkan 10,95 juta lembar sampah kantong plastik.

Menurut penelitian Jenna R Jambeck dan timnya pada 2015 dalam American Association for the Advancement of Science, Indonesia menempati posisi penyumbang sampah plastik di lautan terbesar kedua di dunia dengan rentang 0,48-1,29 juta metrik ton sampah plastik per tahun.

Kenyataan lain bahwa polistirena, bahan utama yang digunakan untuk membuat berbagai macam benda berbahan plastik memiliki jangka waktu yang amat panjang untuk bisa terurai di tanah secara alami. Menurut Science Learn, kantong plastik berbahan polistirena membutuhkan waktu untuk menghancurkan diri di tanah selama 20 tahun. Sedangkan bila berada di kondisi tumpukan sampah akan jauh berlipat ganda lamanya menjadi 500 tahun.

Kota-kota besar dan padat di Amerika seperti New York bahkan sudah melarang penggunaan styreofoam yang berbahan sama dengan plastik sejak Juli 2015. Disusul San Fransisco memberlakukan hal yang serupa per 1 Januari 2017 kemarin. Bahkan Kota Bandung juga turut melarang penggunaan styreofoam per November 2016 lalu.

Lamanya plastik dapat terurai lantaran merupakan barang non-organik menjadi problem global saat ini.

Tetapi barangkali temuan dari peneliti Standford University yang telah dirilis ini sangat membantu dalam mengatasi sampah plastik bukan hanya di Indonesia, melainkan global. Mereka mengungkap bahwa mealworm, atau dikenal juga sebagai ulat tepung atau ulat hongkong bisa memakan plastik berbahan polistirena yang artinya dapat mengurai plastik.

Infografik Ulat Pemakan Plastik

Para peneliti Standford University bekerja sama dengan peneliti di Cina menunjukkan bahwa ulat mealworm dapat dengan aman mengurai plastik termasuk juga styrofoam lantaran juga berbahan polistirena. Dalam penelitian tersebut, 100 mealwrom dapat diberikan 34-39 miligram styrofoam. Dan dalam waktu 24 jam, mereka mengeluarkan sebagian besar plastik yang tersisa sebagai fragmen biodegradasi yang terlihat mirip dengan kotoran kelinci kecil.

Wei-Min Wu, peneliti senior di Departemen Sipil dan Teknik Lingkungan Standford University kemudian melakukan tes kesehatan bagi mealworm pemakan styrofoam tersebut. Hasilnya menyebutkan bahwa selama satu bulan, mereka masih sama sehatnya seperti layaknya mealworm yang memakan makanan organik umumnya. Wu juga menambahkan bahwa limbah mereka tampaknya aman bagi tanah dan tanaman.

"Temuan kami telah membuka pintu baru untuk memecahkan masalah polusi plastik global," kata Wu.

Menurut Wu, bagian yang paling penting dari mealworm adalah ususnya yang sangat efisien dalam mendegradasi plastik. Ketika peneliti memberi makan mealworm antibiotik dan kemudian plastik, plastik yang tidak terdegradasi. "Lingkungan usus mealworm ini sangat penting," ungkap Wu lagi seperti dikutip dari CNN.

Craig Riddle dari Stanford University yang menjadi supervisor dalam penelitian ini mengatakan bahwa hasil riset ini sangat menarik. "Kadang sains mengejutkan kita. Ini adalah kejutan," seperti dirilis sendiri oleh pihak Standford University.

Para peneliti gabungan dari Stanford University dan Beihang University di Cina ini juga berencana mempelajari apakah mikroorganisme dalam mealworm dan serangga lainnya dapat mengurai jenis plastik lainnya seperti polipropilena--yang umum digunakan dalam produk tekstil dan komponen otomotif, microbeads--potongan-potongan kecil seperti scrub yang digunakan dalam kosmetik dan sabun. Juga bioplastik yang berasal dari sumber-sumber biomassa terbarukan seperti jagung atau biogas metana.

Mealworm merupakan bentuk larva kumbang berwarna gelap, serangga umum yang dapat ditemukan di banyak toko hewan peliharaan di Amerika Serikat. Mereka sebenarnya bukan satu-satunya serangga yang dapat mengurai plastik. Adalah waxworm dan mealmoths India juga memiliki mikroorganisme di dalam ususnya yang dapat mengurai polistirena. Tetapi temuan pada mealworm lebih signifikan bahkan dalam mengurai styrofoam yang termasuk turut bermasalah bagi lingkungan bersama sampah plastik.

Penelitian ini diharapkan dapat membantu masalah akut mengenai pengelolaan sampah plastik di dunia. Namun, belum ada tindakan lebih besar untuk memanfaatkan ulat-ulat ini ini diterapkan di lapangan, meski penelitian soal ini sudah dirilis sejak 2015 lalu. Manusia memang butuh waktu untuk menjawab persoalan sampah, sama hal saat sampah plastik yang butuh waktu untuk terurai di alam.

Baca juga artikel terkait SAMPAH atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Teknologi
Reporter: Tony Firman
Penulis: Tony Firman
Editor: Suhendra