tirto.id - Dengan sepatu Jordan baru dan hoodie abu-abu polos dipadu dengan parka hijau militer, Rangga Putra berjalan di sebuah mal di Kemang. Ia baru saja menyelesaikan tugasnya di kantor dan berencana nonton bersama dua temannya. Di kantor, Rangga memang selalu berpenampilan kasual: tak berkemeja, tidak pula bersepatu pantofel apalagi memakai dasi. Ia lebih sering mengenakan kaos oblong dari merek pakaian yang banyak dipakai anak muda seusianya.
Rangga adalah gambaran sebagian besar kaum muda pekerja saat ini. Mereka tak melihat seragam ataupun baju resmi sebagai keharusan dalam bekerja. Yang terpenting adalah kinerja, bukan pakaian yang licin.
Bertahun lalu pergi ke kantor dengan pakaian kasual seperti kaos dan sepatu sneakers mungkin hanya bisa dinikmati oleh segelintir pekerja, misalnya wartawan dan seniman. Wartawan pun bahkan harus rapi jali ketika melakukan liputan tertentu. Kini, standar semacam itu mulai pudar. Banyak perusahaan, terutama perusahaan startup mulai membebaskan karyawannya dalam hal berpakaian.
Sebuah artikel di The Economist mengungkapkan sebagian besar pekerja di Silicon Valley menggunakan kaos, hoodie, dan sepatu sneakers. Fenomena ini berkembang di industri kreatif dunia dan tak hanya terjadi di Amerika Serikat saja.
Peneliti di Harvard Business School menyebut ini sebagai fenomena "red sneakers effect". Riset yang dimuat di The Journal of Consumer Research, menyebutkan tentang persepsi bekerja terhadap pakaian orang lain. Misalnya seorang profesor yang berpakaian kasual, brewokan, gondrong, cenderung dianggap lebih pintar daripada yang rapi. Tanda pemberontakan kecil dalam lingkungan sosial yang ketat menandakan seseorang punya sikap dan komitmen terhadap sebuah hal.
Di kantor, semakin kasual pakaian Anda, bisa jadi menjadi tanda bahwa Anda berkomitmen untuk bekerja lebih baik. Artikel di The Economist yang berjudul "Dress Codes: Suitable Disruption" menyebut saat seorang pekerja menelanjangi tampilan artifisialnya, mereka bisa lebih jujur terkait pekerjaannya.
Ini merupakan bagian dari proses transparansi kultural. Mereka yang bisa bekerja dengan baik dengan pakaian informal mampu menjungkirbalikkan persepsi bahwa yang sukses adalah yang berkemeja, berdasi, atau selalu rapi.
Apakah pakaian formal merupakan kewajiban untuk bekerja di kantor? Pada 2010, internet pernah dihebohkan dengan bocornya panduan berpakaian dari bank Swiss yang punya panduan sebanyak 44 halaman untuk pakaian pekerja di bank itu.
Misalkan aturan ketat dan presisi tentang panjang lengan, ukuran baju, dan pakaian dalam apa yang mesti dipakai bagi karyawan. Sebagian orang bisa jadi menganggapnya sebagai kewajaran, tapi banyak pihak menganggapnya serius karena dianggap merebut kemerdekaan pekerja dalam berpakaian.
Kritikus fashion pada The New York Times, Vanessa Friedman, mengumumkan apa yang ia sebut sebagai “akhir dari simbol pakaian kerja.” Pernyataan ini mengundang polemik dan berbagai diskusi. Ia mencontohkan berbagai fenomena populer dari dua dekade terakhir untuk membuktikan bahwa seragam kerja telah hilang. Rasa nyaman kini menjadi prioritas bagi pekerja ketimbang tampil elegan dan cantik.
Ada beberapa indikator yang ditawarkan oleh Vanessa Friedman. Misalnya bagaimana blazer digantikan kardigan, high heels diganti flat shoes, dan kemeja diganti dengan kaos.
Vanessa kemudian mencontohkan bagaimana orang-orang terkaya di dunia saat ini lebih menyukai berpakaian kasual daripada formal. Mark Zuckerberg, Elon Musk, Sergey Brin dan mendiang Steve Jobs adalah contoh di mana orang-orang terkaya tak lagi ribet dengan licinnya pakaian dalam kesehariannya.
Artikel The Economist menyebut status sosial telah mengalami perubahan. Dalam bisnis sukses bukan lagi soal memiliki tampang kaya, tapi tampil berbeda. Para investor tentu akan menilai cara Anda berpakaian, tapi ia akan lebih menghargai bagaimana kinerja perusahaan dan seberapa visioner ide Anda untuk menghasilkan keuntungan.
Generasi milenial membuktikan bahwa pakaian mereka tak mendefinisikan kerja mereka. Dalam artikel The New York Times yang ditulis oleh Ben Widdicombe, terungkap bahwa di Amerika saat ini ada 80 juta milenial dengan potensi yang belum dimanfaatkan. Dengan angka demikian besar maka perusahaan mesti bisa memanfaatkan mereka dengan baik. Tapi aturan ketat atau sistem kerja konvensional bisa menghambat perkembangan mereka ke depan.
Chris Altchek eksekutif dari perusahaan internet Mic yang baru berusia 28 tahun bisa dijadikan contoh. Kinerja perusahaannya meningkat dengan mempekerjakan milenial dan memberikan kesempatan bagi mereka untuk membuktikan diri tanpa batasan. Misalnya dengan membiarkan pekerjanya datang dengan kaus, membawa mainan, atau bahkan bermain dengan megafon di ruang kerja.
Chirs menyebut tentu ada kemungkinan bahwa karyawan jadi kurang ajar atau kelewat batas, tapi selama itu punya potensi kreatif dan bermanfaat bagi perusahaan, mengapa tidak?
Raksasa perbankan dunia J.P. Morgan Chase & Co. belakangan juga membiarkan pekerjanya memakai pakaian kasual sopan ketimbang pakaian formal yang ribet.
Perubahan gaya berpakaian dari formal menjadi kasual merupakan fenomena yang terjadi pada beberapa bisnis tertentu. Perusahaan teknologi informasi dan kreatif memang lebih fleksibel ketimbang bisnis seperti firma hukum, bank, kantor pelayanan publik negara, dan jasa lain yang membutuhkan pekerjanya tampak serius.
Kaum milenial mengaku bisa bekerja dengan baik dan maksimal ketika mereka diberikan panduan kerja yang jelas, keleluasaan mengembangkan proyek, dan diberi kesempatan untuk mengajukan ide segar.
Sebuah agensi iklan di Amerika Serikat mensurvei 1.500 orang yang brusia 20-35 tentang merek fashion apa saja yang mereka sukai untuk dipakai sehari-hari. Hasilnya merek seperti Nike, Jordan, Adidas, Converse, dan Van's menjadi pilihan utama. Tentu saja semuanya terserah para pemimpin perusahaan, mau membebaskan mereka mengenakan busana dengan merek-merek itu, atau masih memaksa pegawai tetap "berpakaian kantor."
Penulis: Arman Dhani
Editor: Maulida Sri Handayani