tirto.id - Orang Indonesia, konon, adalah salah satu kaum yang paling berbahagia di dunia. Meskipun berada dalam sebuah negara dengan berbagai macam masalah, orang-orang Indonesia selalu bisa mencari celah untuk berbahagia. Tentu saja dengan cara-cara yang seringkali tidak terpikirkan.
Indonesia memang hanya bertengger di urutan 79 dari 157 negara dalam daftar ”World Happines Report 2016”. Kita masih kalah bahagia dengan negara-negara seperti Somalia (76), Kosovo (77), Turki (78), dan hanya sedikit lebih berbahagia dari Yordania (80), Azerbaijan (81), serta Filipina (82). Namun, daftar ini hanya disusun berdasarkan hal-hal statistikal semacam tingkat PDB, angka harapan hidup, indeks korupsi, dan lain sebagainya.
Penyusun daftar ini barangkali lupa bahwa untuk jadi bahagia itu, terkadang, hanya butuh hal-hal yang sederhana dan seringkali tidak terduga. Fenomena “Om Telolet Om” adalah salah satunya.
Om Telolet Om adalah sebutan untuk sekumpulan orang-orang, biasanya masih berusia anak-anak atau remaja, yang nongkrong di pinggir jalan untuk meminta sedekah. Bedanya, mereka tidak mengemis uang atau sumbangan, tetapi hanya meminta bebunyian klakson.
Mereka rela berpanas-panasan di tepi jalan raya, bermodalkan secarik kertas atau bahkan spanduk bertuliskan “Om Telolet Om” untuk menarik perhatian sopir-sopir bis. Sebagai imbalannya, mereka hanya berharap supaya sang sopir berkenan memencet tombol klaksonnya sehingga keluar bunyi-bunyian aneh nan unik. Telolet, itu istilah mereka untuk menyebutnya.
Fenomena Om Telolet Om segera menjadi viral di dunia maya. Beragam video bertemakan kegiatan ini segera disebar para pelakunya di berbagai jejaring sosial. Alhasil, fenomena ini memantik rasa ingin tahu para selebritis dunia. Artis-artis mancanegara seperti DJ Zedd, DJ Snake, dan The Chainsmoker ikut-ikutan demam Om Telolet Om.
Bagaimana awal mula kemunculan Om Telolet Om di Indonesia?
Bermula dari Onta
Penggunaan klakson telolet sendiri memiliki sejarah yang cukup unik karena sebenarnya digunakan untuk mengusir gerombolan onta yang biasanya melintas di tengah jalan raya. Klakson jenis ini memang lazim digunakan di negara-negara Timur Tengah khususnya. Arab Saudi.
Penggunaan klakson telolet dimulai pada sekitar 2006 oleh perusahaan bis asal Kebumen, Efisiensi. Awalnya, sang pemilik Efisiensi, Teuku Eri Rubiansah, tertarik dengan suara telolet saat berkunjung ke Arab Saudi. Ia pun memboyong beberapa unit klakson tersebut untuk dipasang di armada bisnya di Indonesia.
Klakson telolet nan unik yang bertengger di armada Efisiensi dengan cepat menjadi populer di kalangan sopir-sopir bis malam. Akhirnya, mereka berlomba-lomba untuk ikut memakainya. Alhasil, klakson unik yang sebenarnya berfungsi mengusir onta itu akhirnya menjelma jadi sarana untuk “mengumpulkan” orang-orang di pinggir jalan.
Kegiatan meminta klakson di pinggir jalan, yang menjadi awal-mula kemunculan Om Telolet Om, konon dimulai oleh para anggota Bismania, sebuah komunitas pecinta bis yang anggotanya tersebar di hampir seluruh penjuru Indonesia. Komunitas yang dideklarasikan pada 2008 ini memiliki 1.000 anggota.
Para anggota Bismania kerapkali terlihat berkeliaran di pinggir-pinggir jalan protokol, khususnya di Pulau Jawa. Namun, mereka sebenarnya tidak sekadar mengincar bunyi klakson. Mereka sengaja menunggu bis di pinggir jalan untuk memotret atau merekamnya ke dalam video.
Setelah memotret atau merekam bis, anggota Bismania biasa melambaikan tangannya atau mengacungkan jempol mereka untuk berterima kasih kepada sopir bis yang melintas. Selanjutnya, para sopir akan membalasnya dengan menyalakan dim (lampu sorot depan) atau membunyikan klaksonnya.
Ragil, salah seorang pecinta bis asal Solo, mengaku sudah menggemari moda transportasi ini sejak masih kecil. Ketertarikannya muncul setelah suatu kali menumpang bis untuk mudik ke Solo bersama keluarganya.
“Saya lihat dari bis yang pertama kali bikin saya seneng banget itu lihat body bisnya sama livery [motif gambar di body] bisnya mas, di penglihatan saya terlihat seperti mempunyai arti-arti tersendiri. Jadi, dalam setiap body bis & livery, antara satu bis dengan yang lainnya bisa beda-beda,” ujarnya saat diwawancarai oleh Tirto.id.
Ragil mengaku, walaupun sangat menyukai bis, ia belum bisa masuk keanggotaan Bismania karena masih berusia 16 tahun. Bismania sendiri mensyaratkan umur minimal 17 tahun untuk masuk dalam keanggotaannya. “Yah, tunggu sedikit lagi baru bisa jadi anggota resmi,” seloroh siswa di salah satu madrasah negeri di kota Solo ini.
Ragil biasanya nongkrong bersama kawan-kawannya di sekitaran bundaran dekat Pasar Kartasura di wilayah Kabupaten Sukoharjo untuk memotret bis yang lewat. Jalur itu memang dikenal sebagai jalur ramai bis karena merupakan persimpangan antara jalur pantai selatan (Klaten-Yogyakarta) dan jalur pantai utara (Boyolali-Salatiga-Semarang).
Sesekali Ragil juga berburu bis hingga ke pintu masuk Terminal Tirtonadi yang merupakan salah satu terminal penumpang terbesar di Jawa Tengah. Di situlah ia kerap bertemu dengan anak-anak kecil pemburu klakson telolet.
“Kalau menurut sepengetahuan saya, anak-anak minta telolet itu paling sering nunggu di pintu masuk sama pintu keluar terminal Kartasura. Mereka kebanyakan biasanya bawa sepeda-sepeda kecil sama ada beberapa yang bawa motor juga, biasanya anak-anak berumur 5 sampai 12 tahun,” papar Ragil.
Ragil mengaku bahwa anak-anak kecil atau remaja pemburu telolet biasanya bukan anggota Bismania. Fenomena berburu klakson, menurutnya, memang sempat menjangkiti para anggota Bismania, khususnya yang masih junior. Namun, para anggota senior kemudian mengingatkan adik-adiknya untuk tidak mengulangi hal itu karena berbahaya.
“Jujur iya itu dulu pernah terjadi seperti itu di kalangan anak bis mania yang masih junior, tapi dari senior Bis Mania sudah memberi pengarahan dan sudah tidak terjadi lagi, entah siapa yang memulai kembali budaya seperti ini,” ujarnya.
Saat bertemu dengan salah satu bocah pemburu telolet itu Ragil sempat ngobrol dengan mereka. Ragil mengaku bahwa anak-anak itu memang sengaja berburu telolet untuk diadu dengan kawan-kawannya.
“Katanya hanya buat koleksi-koleksi aja, mereka berburu lalu dibagi ke temen-temennya, terus adu-aduan mana yang paling bagus dan merdu dapetin suara klakson telolet dari bis-bis yang lewat-lewat itu. Mereka juga yang biasanya rajin unggah ke Youtube,” pungkas Ragil.
Ragil turut menambahkan bahwa para awak bis seperti sopir dan kernet sendiri senang dengan adanya fenomena om telolet om. Mereka cukup bahagia bahwa bisnya dapat menjadi hiburan tersendiri bagi masyarakat. Namun, ada juga yang merasa terganggu.
"Pernah suatu ketika saya menanyakan tentang anak-anak pencari telolet kepada salah satu crew awak bis, terutama pak Driver. Iya, ada kru yang menyambut dengan senang, karena dengan adanya fenomena tersebut bisa nambahin semangat kerja, biar ga ngantuk gitu pas bawa bis.. ada juga yang terganggu dengan adanya fenomena ini..yang katanya bikin ga konsentrasi kerja.. iya intinya para kru bis punya pandangan masing," bebernya.
Obat Mengantuk Para Sopir
Para pemburu telolet ternyata juga menjadi hiburan tersendiri bagi para sopir bis malam. Di tengah-tengah perjalanan yang panjang dan melelahkan, para pencari telolet ternyata menyediakan hiburan tersendiri bagi mereka.
Hal ini diamini oleh Mujiyanto, sopir PO (Perusahaan Otobus) Maju Lancar jurusan Cirebon-Yogyakarta. Pria yang sudah bekerja di Maju Lancar selama lima tahun ini mengaku cukup terhibur dengan tingkah polah para pemburu telolet.
“Di sepanjang jalur Cirebon-Yogyakarta yang saya lewati via jalur selatan itu, sudah banyak yang cari telolet di pinggir jalan. Hujan-hujan pun mereka itu tetap berdiri di pinggir jalan. Minimal berkelompok 10 orang, sambil bawa-bawa tulisan itu besar-besar,” ujarnya kepada Tirto.id.
Mujiyanto sendiri kebetulan tidak membawa bis dengan klakson telolet. Namun, setiap berpapasan dengan para pemburu telolet, ia mengaku tetap membunyikan klakson sembari tersenyum-senyum.
Dari seluruh armada reguler PO Maju Lancar yang berjumlah puluhan, hanya 20% armada yang memakai klakson telolet. Di sisi lain, klakson telolet biasanya dipasang Armada-armada PO Maju Lancar berklakson telolet sebagian besar adalah bis pariwisata.
“Kami biasanya beli klakson telolet itu dari orang-orang yang nawari. Biasanya dari anggota ML Lover [komunitas pecinta bis Maju Lancar] atau Bismania di Jakarta. Kami sih biasanya pakai yang produk lokal, yang harganya lebih murah, biasanya antara 1,5 sampai 2 jutaan. Tapi ada juga beberapa yang bikinan Pakistan atau Arab, itu paling mahal, bisa tiga jutaan,” papar Agung, kepala Maju Lancar cabang Yogyakarta saat ditemui Tirto.id.
Awal mula pemasangan telolet, menurut Agung, hanya karena iseng-iseng semata. Saat itu beberapa armada PO lain seperti Efisiensi atau Sugeng Rahayu sudah memakai klakson telolet. Akhirnya, beberapa kru bis Maju Lancar tertarik memasang juga.
“Awalnya malah kru pasang telolet pakai uang mereka sendiri. Baru belakangan setelah lihat hasilnya bagus, akhirnya di beberapa armada pakai sistem urunan, sebagian dari kru, sebagian dari kantor. Kami pasang telolet yang tiga corong, tapi ada juga yang enam corong,” papar Agung.
Dicintai Semua Kalangan
Mujiyanto mengaku bahwa kawan-kawannya sesama sopir yang memakai armada bertelolet tidak pernah mendapat teguran baik dari petugas Dishub, polisi, atau warga setempat.
“Lha wong semuanya juga senang-senang aja dengernya kok,” seloroh Mujiyanto.
Namun, ia mengakui bahwa klakson telolet memang bising. Hal ini membuat kawan-kawannya sesama sopir hanya membunyikan telolet di siang hari saja supaya tidak mengganggu warga. Apalagi bis-bis biasanya punya klakson biasa.
Satu hal yang menarik, menurut Mujiyanto, justru adalah reaksi para penumpangnya sendiri. Para penumpang di dalam bis ikut-ikutan penasaran melihat kerumunan pencari telolet di pinggir jalan. Akhirnya mereka pun tertarik untuk melihat aktivitas para pemburu telolet.
“Penumpang saya ya pada nggumun (heran), trus, mereka ikut ngeliatin yang cari telolet di luar. Nah, yang cari telolet juga ngeliatin penumpang. Ya akhirnya jadi liat-liatan,” katanya sembari tertawa.
Mujiyanto dan Agung memperkirakan bahwa fenomena telolet ini tidak akan bertahan lama. Anak-anak pemburu telolet ini, menurut mereka, lama-lama akan bosan juga.
“Apalagi ini lagi masa prei [liburan sekolah]. Besok kalau sudah masuk sekolah lagi, ya pasti gak bakalan ada telolet, pasti berkurang,” ujar Mujiyanto.
“Toh juga orang kita itu bosenan. Nanti juga berhenti sendiri,” lanjut Agung. “Telolet itu kan sebenarnya karya seni ya. Hasil karya anak bangsa juga. Jadi ya kalo kami sebenarnya senang-senang aja, asal nggak terlalu membahayakan diri sendiri saja.
Fenomena Om Telolet Om awalnya adalah sebentuk interaksi antara sopir bis dan penggemarnya. Keduanya mengembangkan interaksi yang lebih dari sekadar hubungan antara konsumen dan penyedia jasa semata, tetapi juga keakraban dan aura guyub yang dipersatukan oleh satu hal: kecintaan terhadap bis, baik sebagai sumber mata pencaharian, maupun sebagai objek kekaguman.
Penulis: Putu Agung Nara Indra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti