tirto.id - Air laut di tepi pantai Benua Patra, Kota Balikpapan, tak lagi biru seperti biasa. Sejak beberapa hari terakhir, warnanya jadi hitam pekat dan berbau tak enak. Jelas mengganggu warga sekitar.
Marlina, warga dari Penajam, salah satu kelurahan yaang berbatasan langsung dengan laut, mengaku tidak berani memasak sejak air bercampur minyak menggenangi wilayahnya.
"Takutnya masakan bau minyak," kata Marliana.
Sementara Lilis, juga warga Penajam, mengaku bau minyak membuat anaknya muntah-muntah dan tak bisa tidur. Katanya lagi, ada tetangganya yang sampai harus dibawa ke puskesmas karena pusing dan sesak napas
Semuanya bermula pada Sabtu (31/3) dini hari. Api dan asap hitam muncul di perairan di atas Demaga Telaga Emas, Balikpapan Barat. Meski api sudah padam pada Sabtu siang, namun dampaknya masih terasa berhari-hari kemudian.
Tim gabungan, yang dikoordinasikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI, langsung melaksanakan kegiatan pemeriksaan lapangan pada Selasa, 3 April 2018. Laporannya disampaikan sehari setelahnya.
Dalam dokumen yang diterima Tirto, luas area terdampak diperkirakan mencapai kurang lebih 7.000 ha dengan panjang pantai terdampak di sisi Kota Balikpapan dan Kabupaten Penajam Pasir Utara mencapai kurang lebih 60 km.
Angka ini memang menyusut dibanding hasil analisis citra satelit Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan). Diperkirakan total luas tumpahan minyak di sana per 1 April mencapai 12.987,2 ha.
Sejumlah dampak muncul karena itu, selain masalah kesehatan yang tadi sudah disebutkan. Pada hari keempat pencarian orang, tim SAR menemukan lima korban jiwa. Dilaporkan Antara, kelima korban ini sedang memancing ketika api muncul. Mereka terjebak di antara kobaran tersebut. Selain itu satu orang mengalami luka bakar, 20 lainnya selamat.
Tumpahan minyak juga berdampak negatif kepada lingkungan. Ada 34 hektare tanaman bakau di Kelurahan Kariangau RT 01 dan 02 yang terkena dampak. Tim juga menemukan banyak kepiting dan ikan pesut mati.
Berasal dari Pipa Pertamina
Dugaan awal, minyak tersebut berasal dari kebocoran marine fuel oil (MFO) alias bahan bakar kapal. Hal ini disimpulkan lewat sampel minyak yang diambil di sembilan titik yang berbeda.
Namum minyak yang diambil dari titik ke-10 justru berbeda dari sembilan temuan awal. Sampel minyak terakhir ternyata adalah minyak mentah alias crude. Dan tempat yang paling memungkinkan minyak itu berasal adalah pipa penyalur minyak mentah milik Pertamina yang membentang dari Terminal Lawe-lawe di Penajam Paser utara hingga Kilang yang ada di Balikpapan.
Pertamina mengakui itu. Pernyataan ini sekaligus menganulir keterangan Region Manager Communication and CSR Kalimantan, Yudi Nugraha sebelumnya. Pada Sabtu lalu (31/3), berdasarkan hasil uji lab di dua titik pengambilan sampel, Yudi mengatakan kalau minyak itu bukan milik mereka.
Yudi bilang kalau jenis minyak tersebut "tidak diproduksi di Kilang Balikpapan."
Rabu (4/4) kemarin, GM Pertamina Refinery Unit (RU) V Togar MP mengatakan kalau minyak berasal dari patahan pipa penyalur minyak mentah mereka. Spesifiknya, "pipa baja diameter 20 inci, tebal 12 mm, dan di kedalaman 25 meter." Pipa itu dipasang pada 1998 dan dilengkapi pembungkus semen agar tidak berkarat.
Togar bilang perlu kekuatan besar untuk bisa mematahkan pipa. Sempat ada spekulasi yang menyebut kebocoran pipa karena terseret jangkar kapal. Namun hal ini ditampik Kapolres Balikpapan, Wiwin Fitra.
"Belum tentu. Proses [investigasi] tetap terus berjalan antara Polda dengan Polres, juga dari KLHK dan KKP," kata Wiwin kepada Tirto, Jumat malam (6/4/2018).
Hal yang sama diungkapkan Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Agung Pribadi.
"Belum pasti [karena jangkar kapal]. Jadi tunggu saja laporan dari lapangan," kata Agung.
Karena belum jelas inilah sanksi juga belum pasti. Perlu diputuskan dulu siapa pihak yang paling bertanggung jawab atas kejadian ini. Menurutnya, pemerintah harus menerima laporan dari tim yang ditugaskan di lapangan terlebih dahulu sebelum memutuskan siapa yang bakal dikenai sanksi dan apa jenisnya.
Tanggung Jawab
Pertamina mengklaim telah bekerja sama dengan Rumah Sakit Pertamina Balikpapan untuk membuka posko kesehatan di Kampung Baru Ulu dan Kampung Atas Air.
Selain itu, Pertamina menyebutkan bahwa mereka juga melakukan gas test guna memastikan tidak ada konsentrasi gas yang melebihi batas normal. Ini penting untuk meminimalisir potensi ledakan seperti yang terjadi Sabtu lalu.
Minyak yang menggenang juga sedang berusaha dibersihkan. Untuk in Pertamina menurunkan empat tim untuk bekerja secara simultan untuk membersihkan perairan dari ceceran minyak dengan pembagian zona.
Meski sejauh ini kabar soal siapa yang menyebabkan pipa bocor masih belum jelas, namun sangat mungkin nantinya pihak ini bakal menanggung kerugian yang nominalnya bisa jadi tidak kecil.
Berdasarkan pasal 90 ayat (1) UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pemerintah berwenang meminta ganti rugi pada pelaku pencemaran. Sementara berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 13 tahun 2011, nilai ganti rugi itu dihitung dari akumulasi biaya pemulihan lingkungan, kerugian ekosistem, serta kerugian masyarakat.
Penulis: Rio Apinino