Menuju konten utama

Beras Plastik: Rumor atau Fakta?

Beberapa kali ramai rumor soal adanya beras plastik. Namun, ahli pertanian membantahnya.

Beras Plastik: Rumor atau Fakta?
Beras. ANTARA FOTO/Irfan Anshori

tirto.id - Seorang perempuan terlihat mengepalkan nasi menjadi bulatan sebesar bola ping-pong. Sembari menunggu kepalan nasi usai, rekaman video berpindah, menyorot nama rumah makan yang tertera di kotak nasi. Si Perempuan lalu melempar bola nasi, dan memantul. Mereka pun ribut, menduga nasi itu terbuat dari beras plastik.

“Kalau nasi biasa itu lengket, ternyata ini adalah nasi karet, nasi plastik. Teman-teman hati-hati ya,” begitu kalimat peringatan dari si perekam.

Baca juga: Ribut-ribut Soal Nasi yang Memantul

Rumor mengenai beras plastik juga pernah mengemuka pada 2015. Saat itu, seorang warga Bekasi menduga beras yang dibelinya adalah beras plastik. Menurutnya, ketika dimasak, bulir beras tidak menyatu dengan air. Isu tersebut makin kencang berhembus lantaran salah satu laboratorium terbesar di Indonesia, PT Sucofindo membenarkan adanya kandungan plastik dalam beras.

Mereka bahkan lebih dulu mempublikasikan hasil uji laboratorium ketimbang BPOM. Pengujian beras tersebut di laboratorium Sucofindo positif mengandung senyawa pembuat plastik berupa benzyl butyl phtalate (BBP), diethyl hexyl phthalate (DEHP), dan dimethyl phthalateshalate (DMP). Bahan-bahan tersebut biasa digunakan untuk membuat pipa paralon, kantong medis, selang, atau campuran pembuat plastik lainnya.

Baca juga: Lagi-lagi Heboh Beras Plastik

Senyawa-senyawa itu juga dikenal sebagai senyawa plasticizer atau peliat. Ia berfungsi meningkatkan fleksibiltas, elastisitas, dan ketahanan dari suatu bahan. Senyawa ini berbahaya jika menjadi kontaminan dalam makanan. Ia dapat mengakibatkan penyakit kanker dan leukemia. Juga penyakit disruptor endokrin, yakni penurunan kualitas reproduksi, yang dapat memicu ketidaknormalan sistem reproduksi, khususnya laki-laki. Risiko ini menjadi delapan kali lebih besar ketika menimpa anak-anak dibanding orang dewasa.

Saking berbahayanya, Food and Drug Administration (FDA) merekomendasikan ibu hamil tidak menggunakan alat medis yang mengandung DEHP. Sebab, ia dapat membuat alat kelamin pada janin mengecil. Produksi sel sperma juga akan menurun jumlahnya.

Di Taiwan, kasus adanya DEHP pada makanan pernah menjadi skandal besar. Pada 2011 pemerintah Taiwan sampai melakukan penarikan besar-besaran atas produk yang terkontaminasi senyawa ini. Negara ini kemudian melarang ekspor produk tercemar, di antaranya minuman kebugaran, jus buah-buahan, teh, bonbon buah, bubuk makanan, dan tablet suplemen kesehatan.

Baca juga: Video Dugaan Beras Plastik Potensi Ganggu UMKM

Tak Ada Beras Plastik

Meski isu tentang beras plastik selalu muncul dan tenggelam, masyarakat tak perlu resah, Sebab temuan BPOM berseberangan dengan hasil lab PT. Sucofindo. BPOM tak menemukan adanya kontaminasi plastik dalam beras yang diuji coba. PT. Sucofindo pun tak pernah mengklarifikasi temuan mereka.

Padahal, BPOM juga menguji sampel beras yang sama dari Penyidik Polri pada Polsek Bantargebang. Dalam pengujian, lembaga negara ini menggunakan Fourier Transform InfraRed Spectroscopy (FTIR) untuk mengidentifikasi gugus fungsi bahan dan jenis polimer yang mungkin terkandung dalam beras.

Selain itu, dilakukan pengujian titik leleh beras menggunakan alat Differential Scanning Calorymeter (DSC), tapi kesemuanya menunjukkan hasil negatif. Untuk memperkuat hasil pengujian itu, dilakukan uji kesetaraan substansi dengan beras standar, meliputi analisis proksimat dan logam berat. Hasilnya tetap tidak ditemukan adanya polimer dalam beras.

Tak berhenti di tingkat domestik, BPOM kemudian menghubungi The International Food Safety Authorities Network (INFOSAN), lembaga otoritas pangan di bawah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Maksudnya untuk menanyakan kasus beras plastik yang mungkin beredar di negara lain. Namun, INFOSAN memastikan tidak ada kasus beras plastik di negara lain.

Lalu, jika bukan terbuat dari plastik, mengapa bola nasi yang dilempar perempuan dalam video bisa memantul?

Jawabannya karena beras tersebut mengandung amilopektin tinggi. Beras mengandung pati, karbohidrat polimer glukosa yang terdiri 2 struktur, yakni amilosa dan amilopektin. Amilopektin merupakan polimer glukosa yang memiliki banyak cabang, sehingga struktur lebih kompak dan lebih kuat (lekat). Semakin tinggi kadar amilopektin, semakin rendah amilosanya. Begitu pula sebaliknya.

"Jadi, semakin rendah kadar amilosanya, semakin lekat beras tersebut,” kata ahli pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa kepada Tirto.

Nasi lekat berkadar amilosa rendah akan lebih mudah digumpalkan. Harganya juga jauh lebih mahal dibandingkan beras umumnya. Contohnya, beras ketan yang memiliki kadar amilosa hanya 1-2 persen. Beras yang kadar amilosanya lebih besar dari 2 persen disebut beras bukan ketan atau beras biasa.

Berdasarkan kandungan amilosanya, beras (bukan ketan) digolongkan menjadi 4 golongan, yaitu beras beramilosa tinggi (25–33 persen), beras beramilosa sedang (20-25 persen), beras beramilosa rendah (9-20 persen) dan beras dengan kadar amilosa sangat rendah (2-9%).

Baca juga: Salah Kaprah Soal Kualitas dan Beras Oplosan

Infografik Kisruh beras plastik

Beras dengan amilosa rendah menghasilkan nasi yang tidak kering. Teksturnya pulen, tidak keras setelah dingin, rasanya enak, dan nasinya mengkilat. Semakin mengkilat nasi, semakin enak pula rasa nasi tersebut.

Beras jenis indica yang berasal dari daerah tropis seperti Indonesia, India, dan Filipina memiliki kandungan amilosa cenderung berada di tingkat sedang sampai tinggi. Bentuk fisiknya berbulir panjang dan tidak lengket saat dimasak. Beras japonica, yang banyak tumbuh di Jepang, memiliki kadar amilosa rendah. Beras ini bertekstur agak lengket dengan bentuk bulir pendek dan bulat.

“Jadi yang ada beras beramilosa rendah, bukan beras plastik. Harga jual biji plastik juga lebih mahal dari beras,” terang Andreas.

Dari isu dugaan beras plastik di tahun 2015 dan yang baru-baru ini beredar, kita patut belajar untuk mawas sebelum mengunggah dan membagikan konten yang kita simak di media sosial. Alih-alih memberi pencerahan, bisa-bisa kita malah memperkeruh suasana dan mengada-adakan kenyataan.

Baca juga artikel terkait BERAS PLASTIK atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani