tirto.id - Kisruh kerja sama Garuda Indonesia Group dan Sriwijaya Air bak sinetron tak berkelas: berulang-ulang dan tak kunjung usai.
Pekan ini, hubungan kedua perusahaan kembali memanas menyusul kabar batalnya sejumlah penerbangan pesawat Sriwijaya pada Kamis (7/11/2019). Padahal, 1 Oktober lalu, kedua sepakat untuk mengakhiri dispute dan melanjutkan kerja sama.
Yusril Ihza Mahendra, pemegang saham sekaligus kuasa hukum Sriwijaya, mengatakan bahwa berlanjutnya perseteruan itu dilatarbelakangi perlakuan tak adil manajemen Garuda Indonesia terhadap perusahaannya.
Beban utang Sriwijaya kepada Garuda Indonesia dan beberapa BUMN lain, kata Yusril, juga makin parah selama kerja sama berlangsung. Kini, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) selesai melakukan audit atas jumlah utang yang harus dibayar oleh persuahaanya.
Menurut laporan keuangan Garuda Indonesia kuartal II/2019, piutang perusahaan dari Sriwijaya memang tercatat meningkat hampir dua kali lipat: dari 55.396.555 dolar AS pada 31 Desember 2018 menjadi 118.799.465 dolar AS per 30 Juni 2019.
Sementara itu, laporan keuangan konsolidasi Garuda Maintenance Facility (GMF) per 30 Juni 2019 mencatat piutang Sriwijaya berada di angka 52.510.904 dolar AS. Nilai ini turun tipis sekitar 5 persen dari 31 Desember 2018 yang berkisar 55.122.037 dolar AS.
Namun nilai ini naik dari laporan keuangan per 30 September 2018 yang mencatat piutang Sriwijaya Air sebesar 48.227.330 dolar AS. Nilai ini juga naik dari posisi 30 September 2017 di kisaran 38.824.556 dolar AS.
VP Corporate Secretary Garuda Indonesia Ikhsan Rosan enggan menanggapi soal meningkatnya posisi utang Sriwijaya yang disebut Yusril. Ia hanya mengatakan Garuda tengah bernegosiasi dengan pemegang saham maskapai tersebut soal penyelesaian kewajiban utang.
“Garuda Indonesia berharap Sriwijaya beriktikad baik atas penyelesaian kewajiban-kewajiban mereka kepada institusi negara yang ada, ucap Ikhsan dalam keterangan tertulis Kamis (7/11/2019).
Sementara itu, Corporate Communication PT GMF, Ayu Diah Calista belum menjawab pertanyaan yang dikirimkan reporter Tirto.
Peneliti Jaringan Penerbangan Indonesia (Japri), Gerry Soejatman menilai kondisi utang Sriwijaya saat ini memang tidak wajar. Karena itu, ia mempertanyakan apakah kerja sama tersebut benar-benar bermanfaat buat Sriwijaya Air.
Ia menyebut, misalnya, manajement fee sebesar 5 persen serta bagi hasil sebesar 65 persen dari total pendapatan kotor perusahaan yang jadi salah satu klausul perjanjian akan memberatkan Sriwijaya.
Di sisi lain, ada rahasia umum bahwa sektor penerbangan adalah bisnis dengan margin tipis sehingga pemungutan sejumlah uang itu seolah-olah hanya ingin memperburuk kondisi Sriwijaya.
“Kok, piutangnya jadi membengkak. Kalau itu benar, niatnya mau ngebantu atau membunuh," ucap Gerry saat dihubungi reporter Tirto Jumat (8/11/2019).
Dalam konteks bisnis, mencari keuntungan dalam kerja sama memang wajar. Namun, ia menyayangkan jika hal tersebut akhirnya membuat konsumen dirugikan.
Anggota Ombudsman RI di bidang transportasi, Alvin Lie menyatakan dispute ini memang terjadi karena sejak awal niat kerja sama dua perusahaan berbeda.
Jika Garuda ingin untung di tengah sorotan laporan keuangannya yang masih merugi, Sriwijaya jelas berupaya untuk meningkatkan kinerja agar bisa membayar utang.
Kendati demikian, ia menyarankan agar kerja sama ini tetap dilanjutkan karena Sriwijaya kini sudah memiliki pasar dan konsumennya sendiri. Hanya saja, perjanjian tersebut harus ditinjau ulang agar tak ada pihak yang merasa dirugikan dan menimbulkan perselisihan yang terus berulang.
"Saya liat kerjasama ini diperlukan karena Sriwijaya memiliki konsumennya sendiri. Dua-duanya pasti ada kepentingan taoi gimana mencari titik temu," ucap Alvin saat dihubungi reporter Tirto Jumat (8/11/2019).
Editor: Hendra Friana