tirto.id - Dalam Debat Calon Wakil Presiden 2019, Minggu (17/3/2019), Sandiaga sempat mengutip pernyataan Sukarno. Itu terjadi tepatnya di segmen ketiga debat yang membahas soal budaya.
“Di tahun 1961, Bung Karno bertemu dengan Menteri Pertahanan Amerika Serikat, beliau menyatakan dan saya quote, 'Tuan mungkin memiliki bom atom tapi kami memiliki seni budaya yang tinggi',” demikian ujar cawapres nomor urut 02 itu.
Penyataan tersebut lantas ia lanjutkan, “Tepat 60 tahun setelah itu, UNESCO menobatkan Indonesia sebagai negara super power, adidaya, yang memiliki kebudayaan yang tinggi.”
Benar belaka bahwa UNESCO alias United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization menyatakan demikian. Pengakuan itu disampaikan Asisten Direktur Jendral UNESCO Bidang Budaya Fransesco Bandarin kepada Mendikbud Muhadjir Effendy dalam forum Sidang Umum UNESCO ke-39 pada November 2017.
Bukti sahih akan penghargaan itu adalah banyaknya warisan budaya tak benda Indonesia yang diakui UNESCO. Itu meliputi wayang, keris, batik, pelatihan batik, angklung, noken Papua, hingga tari Saman dan tari Bali. Lain itu Indonesia juga masih punya sekira 600 warisan budaya tak benda yang tercatat secara nasional.
“Kini kita tidak perlu lagi ragu-ragu dalam merawat dan mempromosikan warisan budaya Indonesia,” ujar Muhadjir menanggapi pengakuan itu, sebagaimana dikutip Antara.
Akan tetapi, pernyataan Sandiaga soal ucapan Sukarno kepada menteri pertahanan AS itu menarik untuk dikulik akurasi sejarahnya.
Sayang sekali Sandiaga tidak menyatakan dengan pasti siapa menteri pertahanan AS yang dimaksud. Itu membuat sulit menelusuri rekaman sejarahnya. Namun, jika menilik pada tarikh yang ia sebut, kemungkinan Sandiaga merujuk pada kunjungan Sukarno ke AS pada April 1961.
Simpang Siur
Pada awal 1961 Sukarno merencanakan serangkaian lawatan ke negara Amerika Latin. Mengetahui rencana itu, Duta Besar AS untuk Indonesia Howard Palfrey Jones lantas mengusulkan agar Presiden John F. Kennedy mengundangnya mampir ke AS. Sukarno dengan senang hati menerima undangan itu.
Pada 24 April 1961 Kennedy menyambut langsung Sukarno di Gedung Putih. Tak seperti sambutan dingin Presiden Dwight Eisenhower kala Sukarno pertama kali berkunjung ke AS pada 1956, Kennedy memperlakukan Sukarno dengan hangat. Begitu juga kala kedua kepala negara itu terlibat perundingan.
“Mereka mengadakan perundingan-perundingan tidak resmi, dihadiri oleh menteri luar negeri masing-masing, Dean Rusk dan Subandrio, yang mengambil tempat di suatu ruangan kantor yang berbentuk oval di Gedung Putih,” tulis Ganis Harsono dalam memoarnya, Cakrawala Politik Era Sukarno (1989: 141).
Percakapan-percakapan penting dalam perundingan itu tercatat dalam arsip Foreign Relations of the United States, 1961-1963, Volume XXIII: Southeast Asia, dokumen nomor 172. Dokumen tersebut mencatat siapa-siapa saja yang terlibat dalam pembicaraan yang terjadi pukul 10.15 pagi itu.
Sukarno didampingi Wakil Perdana Menteri Johanes Leimena, Menlu Subandrio, dan Duta Besar Indonesia untuk AS Zairin Zain. Ganis Harsono yang kala itu ditugaskan mengatur perjalanan Sukarno ke AS menunggu di luar ruang perundingan.
Sementara Presiden Kennedy kala itu didampingi Secretary of State (Menlu) Dean Rusk, Duta Besar AS untuk Indonesia Howard P. Jones, Deputy Assistant Secretary John M. Steeves, dan Assistant to the President for National Security Affairs Walt W. Rostow.
Dokumen itu tidak mencatat secretary of defense alias menteri pertahanan AS hadir dalam perundingan tersebut. Kala itu yang jadi menteri pertahanan AS adalah Robert Strange McNamara. Lagi pula dokumen itu hanya mencatat pembicaraan yang benar-benar penting di antara kedua kepala negara. Obrolan-obrolan informal atau kejadian-kejadian khas tidak masuk dalam memorandum.
Karena itulah sulit memastikan apakah Sukarno juga sempat bertemu dan baku sapa dengan menhan AS. Atau apakah Sukarno sebenarnya bertemu menhan AS kala kunjungannya yang pertama pada 1956 juga sulit dipastikan. Karena sejauh ini belum ada catatan atau pengakuan tentang hal itu.
Jika kita menilik autobiografi Sukarno pun tak ada memori tentang itu. Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2014) hanya mencatat pertemuannya yang dingin dengan Eisenhower dan sedikit kenangan tentang pribadi Kennedy.
Dalam memoarnya (hlm. 40-48), Ganis mencatat perjalanan Sukarno pada 1956. Sukarno berkunjung ke AS selama 17 hari, sejak 16 Mei hingga 3 Juni. Selain ke Washington, Sukarno juga berkunjung ke beberapa tempat dan berjumpa dengan sekian orang penting.
Selain bertemu Presiden Eisenhower dan Wapres Nixon, Sukarno juga sempat bertemu Menlu Dulles, Wali Kota New York Robert Wagner, hingga artis Marilyn Monroe. Tidak tercatat adanya pertemuan dengan menhan Abang Sam yang kala itu dijabat Charles Erwin Wilson.
Kemungkinan lainnya, Sandiaga mencuplik kisah itu dari Roso Daras. Ia adalah penulis Total Bung Karno (2013). Buku itu merupakan bunga rampai kisah-kisah terkait Sukarno yang mulanya ditulis Roso Daras di blog pribadinya.
Dalam salah satu tulisannya, Roso Daras menyebut menhan AS yang bertemu Sukarno saat kunjungan pada 1961 adalah Charles Nesbitt Wilson. Presiden Kennedy memperkenalkannya kepada Sukarno. Saat ia hendak mengulurkan tangan, Sukarno tiba tiba meraih dasi si menteri yang ternyata miring.
“Kombinasi baju dan dasi Tuan tidak bagus,” kata Bung Karno seraya memperbaiki ikatan dasi yang miring itu. “Tuan boleh punya bom atom, tapi kami punya seni yang tinggi.”
Tentu saja, kisah ini anakronis. Seperti sudah disebutkan, menhan saat itu bukanlah Charles Nesbitt Wilson, tapi McNamara. Charles Nesbitt Wilson adalah politikus AS yang terkenal sebagai penyuplai senjata bagi pejuang Afghanistan untuk melawan invasi Uni Soviet pada 1980-an. Dia pun tak pernah jadi menteri pertahanan.
Tapi, bukan berarti kisah itu sepenuhnya fiktif. Sukarno bisa jadi memang pernah bertemu dengan menhan AS dalam suasana informal, sehingga percakapan keduanya tak tercatat resmi. Dan lagi karena ketidakjelasan sumber, jadi tidak jelas juga menhan dari masa presiden siapa yang bertemu dengan Sukarno.
Jika demikian, kisah Roso Daras kemungkinan sebenarnya merujuk pada Charles Wilson yang menjabat semasa Presiden Eisenhower, bukan semasa Kennedy. Hanya saja, Roso Daras luput menyertakan dari mana ia mendapat cerita itu sehingga sulit dilacak kebenarannya.
Demi Irian Barat
Terlepas dari kesimpangsiuran itu, pertemuan Sukarno dan Kennedy adalah sebuah pertemuan penting. Setidaknya ada dua hal penting yang dibicarakan kedua kepala negara tersebut: Allan Pope dan masalah pembebasan Irian Barat.
Allan Lawrence Pope adalah pilot AS yang kedapatan membom sebuah pasar di Ambon kala pemberontakan Permesta pecah di Indonesia Timur. Ia kemudian tertangkap pada 1958. Saat Sukarno dan Kennedy bertemu, Allan Pope masih dipenjara di Indonesia.
“Allan Pope akan menjadi bukti hidup yang dapat diperlihatkan kepada Presiden Kennedy mengenai keterlibatan aktif Amerika dalam pemberontakan di Indonesia, yang bermaksud menjatuhkan Presiden Sukarno dalam tahun 1958,” tulis Ganis dalam memoarnya (hlm. 142).
Masalah penting kedua adalah persoalan Irian Barat. Sukarno tentu datang bukan sekadar untuk muhibah, tapi juga cari dukungan. AS sendiri selama itu bersikap netral menanggapi konflik antara Indonesia dan Belanda. Sukarno ingin AS ambil sikap mendukung Indonesia.
"Sebelum 1950 Amerika membantu kami dalam upaya meraih kemerdekaan, tetapi setelah 1950 Amerika tampaknya tidak pasti dalam hubungannya dengan kami, suaranya tidak lagi positif dan jelas. Mengapa Amerika tidak mengambil posisi yang seperti sebelum 1950?" desak Sukarno sebagaimana dicatat dalam arsip Foreign Relations.
Kennedy menjelaskan bahwa ia tidak bisa gegabah mengambil sikap karena mempertimbangkan hubungan AS dengan negara-negara NATO. Ia juga menekankan bahwa sebaiknya Indonesia terus mengupayakan jalan damai untuk mengembalikan Irian Barat. Apalagi Australia juga mulai khawatir dengan agresivitas Indonesia terhadap Irian Barat.
Lain itu Presiden Kennedy mengusulkan kepada Sukarno agar mengadakan referendum di Irian Barat. Jika memang rakyat Irian menginginkan jadi bagian Indonesia, itu akan mendelegitimasi klaim Belanda. Ia mencontohkan kasus Hawaii yang memilih jadi bagian AS sebagai penguat.
Arsip Foreign Relations mencatat, “Presiden Kennedy menyebut bahwa dalam kasus Hawaii, orang-orang telah memutuskan sendiri melalui pemungutan suara bahwa mereka ingin menjadi orang Amerika. Jika orang-orang Irian Barat membuat pilihan bebas seperti itu, maka klaim Belanda secara otomatis akan batal.”
Persoalan lain yang ikut dibahas adalah komunisme yang sedang mekar di beberapa negara Asia Tenggara. Kennedy menekankan bahwa AS sangat mendukung kemerdekaan negara-negara Asia Tenggara. Namun begitu, ia tak bisa menyembunyikan kekhawatiran akan membesarnya komunisme di sana.
Menanggapi hal itu Sukarno menjawab dengan enteng bahwa revolusi di negara-negara Asia Tenggara seperti Vietnam dan Laos lebih kuat dilandasi oleh nasionalisme, bukan komunisme. Sukarno sendiri begitu percaya bahwa komunisme bukanlah ideologi yang harus dikhawatirkan.
“Partai Komunis—PKI—adalah partai nomor 4 di Indonesia. Tapi, bahkan di dalam PKI, hanya 10 persen saja yang Komunis. 90 persen lainnya adalah nasionalis revolusioner,” aku Sukarno dengan percaya diri.
Subandrio pun menambahkan bahwa nasionalisme adalah kekuatan yang mampu membendung komunisme di Indonesia. Karena itulah komunisme dianggap bukan ancaman di Indonesia maupun Asia Tenggara.
“Jika Anda takut komunisme internasional mendominasi wilayah ini, kami tidak. Indonesia sedang mengambil langkah-langkah untuk mengekang pengaruh PKI, baik dari segi ideologis maupun organisasional. PKI akan dihadapkan dengan ideologi nasionalis Indonesia yang sesungguhnya,” kata Subandrio.
Lobi itu ternyata mampu meyakinkan Kennedy. Sejak itu AS mulai beranjak lebih aktif mendorong penyelesaian Irian Barat melalui perundingan. Ellsworth Bunker, diplomat kawakan AS, adalah orang yang kemudian diutus Kennedy jadi mediator. Pada Juli 1962 Indonesia dan Belanda akhirnya berunding kembali.
Tentang ini, Sigit Aris Prasetyo dalam Dunia dalam Genggaman Bung Karno (2017) menulis, “Akhirnya, Indonesia dan Belanda menyetujui kesepakatan damai sesuai usulan proposal Bunker tanggal 12 Juli 1962. Indonesia setuju prinsip self-determination dan Belanda setuju mengembalikan Irian Barat ke Indonesia” (hlm. 15).
Editor: Ivan Aulia Ahsan