Menuju konten utama

Benarkah Persepsi Ketimpangan Sosial Ditentukan Pilihan Politik?

Tidak terkait penghasilan alih-alih berhubungan dengan preferensi politik di Pilpres 2019 dan sikap terhadap gerakan 212.

Benarkah Persepsi Ketimpangan Sosial Ditentukan Pilihan Politik?
Deretan permukiman penduduk dan gedung bertingkat yang terlihat dari kawasan Tanah Abang, Jakarta, Jumat (8/2/2019). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/foc.

tirto.id - Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Begitu ungkapan klise yang kerap jadi simpulan diskusi mengenai kesenjangan sosial-ekonomi penduduk Indonesia. Menjelang dan memasuki tahun politik ungkapan ungkapan itu berbunyi lebih kencang dan menggambarkan pembelahan kubu-kubu yang bertikai memperebutkan kekuasaan.

Sebagaimana dicatat Burhanuddin Muhtadi, Ever Warburton, dan Adinda Dewayanti dalam "Perceptions of Inequality in Indonesa: A Matter of Partisan Politics?" (2019, PDF), pelbagai kartu kesejahteraan diluncurkan petahana Jokowi dalam rangka mengurangi kesenjangan pendapatan. Sedangkan lawannya, Prabowo Subianto, mengatakan kesenjangan terjadi akibat korupsi dan sistem politik oligarki. Sementara Sandiaga Uno, calon wakil presiden pendamping Prabowo, bilang harga bahan pokok yang tidak stabil sebagai penyebab kesenjangan itu.

Pelbagai data memang menunjukkan dengan jelas bahwa kesenjangan masih terjadi di Indonesia. Yang kerap diperdebatkan adalah soal tinggi atau rendahnya kesenjangan.

Lembaga plat merah Badan Pusat Statistik (BPS) mengukur kesenjangan menggunakan rasio gini tingkat pengeluaran sebuah rumah tangga. Rasio Gini bernilai 0 sampai 1; 0 menunjukkan pemerataan sempurna, 1 menunjukkan kesenjangan sempurna. Per Maret 2013, rasio gini Indonesia sebesar 0,413. Sedangkan per Maret 2018, rasio gini tersebut mencapai 0,389. Data tersebut menunjukkan kesenjangan di Indonesia semakin kecil dalam lima tahun terakhir.

Sementara itu, organisasi internasional non-pemerintah Oxfam mengukur kesenjangan di Indonesia berdasarkan nilai kekayaan yang disebut dalam laporan Credit Suisse. Laporan yang dirilis Oxfam Maret 2017 lalu menyebutkan harta empat orang terkaya di Indonesia mencapai $25 miliar, tidak jauh beda dengan jumlah kekayaan 100 juta penduduk miskin di Indonesia yang sebesar $24 miliar. Begitu dalamnya jurang antara si kaya dan si miskin sehingga bila negara-negara di dunia ini diurutkan berdasarkan tingkat kesenjangan dari yang paling tinggi ke rendah, Indonesia menempati urutan keenam.

"Tetapi sepeduli apa orang-orang Indonesia mengenai kesenjangan dan segmen penduduk mana yang paling mungkin memiliki pandangan kritis terhadap pemerataan pendapatan?" tanya Muhtadi dkk dalam makalahnya.

Kesenjangan Dinilai Membaik

Dalam menganalisis pandangan orang-orang Indonesia mengenai kesenjangan sosial-ekonomi, Muhtadi dkk mengandalkan data survei Indikator Politik Indonesia yang digelar 1-6 September 2018. Lembaga survei tersebut mewawancarai 1.210 responden yang diambil secara acak dan tersebar di 34 provinsi. Responden yang dipilih memiliki hak memilih di Pemilu (berumur di atas 17 tahun atau sudah menikah). Galat survei ini kurang lebih 2,9 persen.

Hasil survei tersebut kemudian dibandingkan dengan survei serupa yang digelar beberapa tahun sebelumnya. Lewat cara ini, Muhtadi dkk menunjukkan masyarakat Indonesia menilai kesenjangan membaik pada saat ini daripada lima tahun lalu.

Muhtadi dkk mengajukan pertanyaan "Bagaimana pemerataan penghasilan berubah selama lima tahun terakhir?". Sebelumnya Bank Dunia dan Pemerintah Australia menanyakan hal serupa dalam survei yang diselenggarakan pada Mei 2014.

Dalam survei tersebut, responden yang merasa pemerataan penghasilan berubah menjadi sangat lebih atau lebih tidak setara sebanyak 48,7 persen. Sedangkan yang merasa pemerataan penghasilan berubah menjadi sangat lebih atau lebih setara 17,3 persen.

Menurut survei September 2018, jumlah yang merasa pemerataan penghasilan berubah menjadi sangat lebih atau lebih tidak setara turun menjadi 18,7 persen. Sedangkan jumlah yang merasa pemerataan penghasilan berubah menjadi sangat lebih atau lebih setara naik menjadi 32,3 persen.

Selain itu, ada pula yang menganggap pemerataan penghasilan tidak berubah. Jumlahnya sebesar 33 persen di 2018, naik dari yang sebelumnya sebesar 30,2 persen di 2014.

"Ketika pertanyaan itu pertama kali diajukan pada tahun 2014, satu dekade pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan berakhir. Tidak mengherankan, ketika diminta untuk merenungkan perubahan selama lima tahun sebelumnya, sebagian besar orang Indonesia meresponsnya secara negatif. Masa Yudhoyono dipandang sebagai suatu periode semakin menajamnya kesenjangan, dan ada rasa ketidakpuasan dan kekecewaan terhadap kepemimpinannya pada tahun-tahun terakhir masa kepresidenannya," sebut Muhtadi dkk.

Selain itu Muhtadi dkk juga mengajukan dua pertanyaan lain. Pertanyaan terakhir yang berbunyi "Seberapa adil pemerataan penghasilan di Indonesia saat ini?" pernah ditanyakan kepada publik Indonesia dalam survei Asia Barometer pada 2016.

Hasilnya, sebanyak 41,1 persen responden survei 2018 merasa pemerataan penghasilan di Indonesia "sangat adil atau adil", padahal yang menjawab seperti itu di survei 2016, sebanyak 38,3 persen.

Sebaliknya, dalam survei 2018, sebanyak 42,4 persen responden merasa pemerataan penghasilan "sangat tidak adil atau tidak adil". Dalam survei 2016, yang mengajukan jawaban serupa mencapai 53,2 persen.

Infografik Kesenjangan Kekayaan di Indonesia

Infografik Kesenjangan Kekayaan di Indonesia

Secara umum, pemerataan penghasilan dipandang lebih merata atau lebih adil saat ini dibanding tahun-tahun sebelumnya. Muhtadi dkk menyebutkan sikap itu muncul mungkin karena promosi Jokowi mengenai kebijakan pro-rakyat miskin dan pemerataan turut mengubah pandangan masyarakat mengenai laju kesenjangan.

"Namun, terlepas dari perubahan ini, orang Indonesia jelas sangat terbelah dalam cara mereka memandang kesenjangan, dan mayoritas berpikir hanya terjadi sedikit atau bahkan tidak ada perubahan dalam distribusi ekonomi, atau bahwa pola pemerataan saat ini tidak adil," sebut Muhtadi dkk.

Preferensi di Pilpres dan Sikap Terhadap 212

"Apa yang bisa menjelaskan ragam jawaban tersebut?" tanya Muhtadi dkk.

Secara intuitif, keragaman jawaban itu mungkin berhubungan dengan kondisi sosial-ekonomi responden. Tapi, analisis Muhtadi dkk berdasarkan hasil survei Indikator Politik Indonesia menunjukkan perbedaan penghasilan tidak berhubungan dengan pandangan masyarakat mengenai pemerataan penghasilan.

Justru, yang berjalin kelindan dengan pandangan individu terhadap pemerataan penghasilan ialah cara orang memposisikan dirinya dalam strata sosial-ekonomi relatif terhadap orang lain. Tetapi, perbedaannya juga tidak begitu signifikan.

Muhtadi dkk pun mengalihkan perhatiannya untuk menyigi hubungan pandangan masyarakat tentang kesenjangan pendapatan dengan preferensi politik di Pilpres 2019 (antara yang memilih Jokowi-Ma'ruf atau Prabowo-Sandiaga) dan sikapnya terhadap gerakan 212.

"Tujuan kami menguji apakah keyakinan masyarakat terhadap keadilan dalam kesenjangan penghasilan lebih berhubungan dengan afiliasi dan posisi politik ketimbang dengan kondisi objektif mengenai posisi sosial-ekonomi di masyarakat," tulis Muhtadi dkk.

Sebagian besar pemilih Prabowo-Sandiaga (33,8 persen) menjawab pemerataan penghasilan berubah menjadi sangat lebih tidak setara atau tidak setara selama lima tahun terakhir. Sebaliknya, sebagian pemilih Jokowi-Ma'ruf (43 persen) menjawab pemerataan penghasilan berubah menjadi sangat lebih setara atau setara selama lima tahun terakhir.

"Hubungan antara preferensi kandidat di Pilpres 2019 dan persepsi tentang kesenjangan, setidaknya dalam tabulasi silang, lebih kuat dan lebih koheren daripada penghasilan aktual individu dan posisi yang dirasakan mereka dalam hierarki sosial ekonomi," sebut Muhtadi dkk.

Kepada responden yang pernah mendengar gerakan 212 (sekitar 70 persen dari total responden), Muhtadi dkk menanyakan apakah mereka mendukung, bersikap netral, atau menentang gerakan tersebut. Hasilnya, sebagian besar responden yang menyatakan pemerataan penghasilan di Indonesia sangat tidak adil atau tidak adil (48,8 persen) juga mendukung gerakan 212.

"Hasilnya menggambarkan masyarakat Indonesia yang merasa pemerataan penghasilan tidak adil paling mungkin mendukung gerakan Islamis dibanding mereka yang merasa pemerataan penghasilan adil," tulis Muhtadi dkk.

Infografik Preferensi di Pilpres dan Gerakan 212

Infografik Preferensi di Pilpres dan Gerakan 212

Dua temuan itu menunjukkan mereka yang yakin pemerataan penghasilan tidak adil dan kesenjangan semakin buruk cenderung mendukung Prabowo dan gerakan 212. Meski demikian, Muhtadi dkk tidak tahu seberapa besar efek persepsi tentang kesenjangan.

Ketiga peneliti juga mengaku tidak tahu apakah orang memilih Prabowo-Sandiaga sebab mereka yakin kesenjangan semakin buruk, atau sebaliknya, memilih Prabowo-Sandiaga menyebabkan mereka meyakini narasi tentang kesenjangan yang dihembuskan kubu tersebut.

"Apa yang ditunjukkan oleh analisis (pendahuluan) ini adalah kita seharusnya tidak hanya berpikir kesenjangan dan keadilan ekonomi sebagai masalah sosial-ekonomi. Data ini menunjukkan bahwa preferensi politik orang sangat terkait dengan pandangan mereka tentang keadilan pemerataan pendapatan, dan bagi banyak orang Indonesia ini adalah masalah yang dilihat melalui kacamata partisan," pungkas Muhtadi dkk.

Baca juga artikel terkait KEMISKINAN atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Politik
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Windu Jusuf