tirto.id - Klitih kembali ramai menjadi perbincangan warganet di Twitter. Ramainya perbicangan soal klitih lantaran Bupati Sleman, DI Yogyakarta, Kustini Sri Purnomo menyebut bahwa remaja yang jadi pelaku kejahatan jalanan atau klitih adalah anak-anak kreatif tetapi kurang mendapat diperhatikan.
Sontak, pendapat tersebut ramai menjadi pembicaraan warganet di Twitter, banyak yang beranggapan bahwa pandangan Kustini kurang tepat.
Lantas bagaimana menurut sosiolog, apakah pelaku kejahatan jalanan atau klitih adalah remaja yang kurang perhatian dan kurang mendapat ruang untuk berekspresi?
Apa itu klitih?
Dalam bahasa Jawa, klitih adalah suatu aktivitas mencari angin di luar rumah atau keluyuran, tapi dalam dunia remaja Yogyakarta, pemaknaannya kemudian berkembang sebagai aksi kekerasan atau kejahatan jalanan dengan senjata tajam atau tindak-tanduk kriminal.
Soeprapto, eks Dosen Sosiologi Universitas Gadjah Mada, tak setuju dengan istilah klitih yang digunakan untuk mendefinisikan kejahatan jalanan.
"Kejahatan jalanan itu beda dengan klitih. Jangan menyebut klitih, karena klitih sendiri berarti aktivitas positif yang dilakukan untuk mengisi waktu luang. Sayangnya ini kemudian diadaptasi pelajar atau remaja untuk kegiatan mencari musuh," ujar Suprapto, 4 Februari 2020.
Aktivitas yang dilakukan pelajar tersebut berbeda dengan aksi kejahatan jalanan berupa pembacokan. “Pelajar itu punya aturan sendiri, mereka tidak akan menyerang perempuan, orang yang boncengan, orang tua. Aksi pembacokan yang menimpa sopir ojek daring beberapa hari lalu, menurut saya, bukan dilakukan oleh pelajar atau geng pelajar karena itu bukan target mereka," terang dia.
Sementara itu, sosiolog di Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Wahyu Kustiningsih saat dihubungi redaksi Tirto pada Rabu (29/12/2021) menjelaskan fenomena klitih yang saat ini pemahamannya bergeder pada tindak kejahatan terjadi karena kurang adanya ruang ekspresi untuk remaja.
"Saat ini ruang bagi anak muda untuk mengekpresikan dirinya sangat terbatas, gimana bisa minta anak muda melakukan hal positif kalau enggak ada fasilitas yang mendukung," katanya.
Selain itu, Wahyu juga menjelaskan, bahwa eksistensi dan regenerasi menjadi hal yang membuat fenomena klitih di Jogja hingga saat ini masih tumbuh subur.
"Klitih enggak selesai-selesai karena ada regenerasi kalau kita bilang klitih sebagai kenakalan, ada unsur eksistensi. Anak muda yang sedang eksistensi cari jati diri. Kalau ditangkap bisa jadi enggak ada penyesalan, semakin ditangkap semakin menunjukkan power-nya ke grupnya," ujarnya.
Wahyu menyarankan, untuk bisa menyelesaikan kasus klitih yang ada di Jogja harus melibatkan berbagai pihak mulai dari orang tua (keluarga), masyarakat, dan tentunya pemerintah daerah serta kepolisian.
Selain itu Wahyu juga mengatakan, sebaiknya pemerintah daerah di Jogja khususnya bisa memperbanyak ruang-ruang yang bisa digunakan remaja untuk mengekspresikan diri.
Editor: Iswara N Raditya