tirto.id - Di salah satu forum di Quora, media sosial yang menyediakan ruang tanya jawab terdapat pertanyaan menarik: "Apa yang akan Anda lakukan selepas [wabah] corona berakhir?" Lalu jawaban teratas dari para pengguna berbunyi: "Langsung cerai."
Hal ini tampaknya seperti gurauan sarkastik saja, tetapi faktanya sejak wabah corona COVID-19 menyerang di Cina, yang kemudian ditindaklanjuti dengan kebijakan karantina wilayah serta physical distancing, angka perceraian di Cina meningkat drastis.
Dilansir dari Radii China, sejak kantor pengadilan dibuka kembali pada 25 Februari 2020, antrian berkas perceraian sudah menumpuk.
Tidak hanya itu, bahkan hingga April ini, semua perjanjian resmi perceraian di pengadilan sudah terisi. Pasangan yang ingin bercerai harus sabar menunggu di bulan-bulan berikutnya.
Waktu di mana orang-orang diimbau untuk berdiam di rumah, anak-anak belajar jarak jauh, serta orang dewasa yang juga bekerja di rumah, yang idealnya merupakan momen berkumpul keluarga malah berakhir mengecewakan.
Bagaimana hal tersebut terjadi? Bagi sebagian pasangan, momen karantina seperti ini merupakan kesempatan untuk merekatkan hubungan, namun bagi pasangan yang lain, hal ini malah menimbulkan perselisihan.
Masalah-masalah yang selama ini ditutupi akan mencuat ke atas dan melahirkan pertengkaran. Tidak mustahil, masing-masing pasangan merasa tidak cocok lagi satu sama lain.
Masa karantina karena corona COVID-19 ini adalah kesempatan evaluasi kembali hubungan pernikahan. Hal ini seringkali menjadi momen terungkapnya “sisi asli” dari masing-masing pasangan.
Alasan Perceraian
Di hari-hari normal, salah satu atau kedua pasangan bekerja sehingga tidak memiliki waktu yang cukup untuk dihabiskan bersama.
Sekembalinya ke rumah selepas kerja, keduanya sudah lelah dengan beban masing-masing sehingga belum cukup mengenal satu sama lain.
Waktu karantina di rumah inilah kesempatan untuk kembali mengenal pasangan. Bagi yang tidak menemukan kecocokan lagi, seringkali berujung perselisihan, dan tidak mustahil berakibat perceraian.
"Seringkali, pasangan menghadapi masalah serius dan situasi menekan. Ini saatnya mereka mengevaluasi lagi hubungan pernikahan tersebut. Ketika masa karantina ini selesai, tidak mengherankan, tingkat perceraian akan meningkat," ujar Amanda Rimmer, pengacara perceraian Inggris sebagaimana dilansir Evening Standard.
Laman KUTV menulis, fenomena kedua pasangan menghabiskan banyak waktu bersama, lalu berakhir perceraian ini mirip dengan keadaan orang tua yang pensiun. Selepas pensiun, waktu yang kian banyak dihabiskan berdua, malah berujung perselisihan.
Kesibukan kerja dan kurangnya waktu bersama rupanya adalah penyangga agar pernikahan tetap utuh.
Hal ini menjadikan kedua pasangan menghindar dari topik sensitif dan tidak ingin membahas ketidakcocokan keduanya.
Di sisi lain, dua psikolog Rob Pascale and Lou Primavera Ph.D memaparkan, ketidakseimbangan aktivitas dan waktu bersama merupakan alasan lain kenapa banyak pasangan merasa tidak cocok lagi.
“Waktu bersama dihabiskan dengan teman dan keluarga, waktu bersama sebagai pasangan romantis, dan waktu terpisah dihabiskan sendiri-sendiri merupakan indikator keseimbangan kualitas pernikahan," tulis dua psikolog tersebut sebagaimana dilansir Psychology Today.
Di masa karantina karena corona, pasangan yang tidak bisa menyeimbangkan hubungan, waktu, dan aktivitasnya satu sama lain dapat saja mengalami selisih paham, yang jika memuncak tidak mustahil berujung perceraian.
Penulis: Abdul Hadi
Editor: Dhita Koesno