tirto.id - Pada Debat Pertama Capres-Cawapres di Hotel Bidakara Jakarta pada Kamis (17/1/2019), Jokowi menjawab pertanyaan soal strategi untuk mengatasi politik berbiaya tinggi. Ia menyatakan prinsip rekrutmen itu harus berbasis pada kompetensi, bukan finansial dan bukan nepotisme.
“Oleh sebab itu, untuk pejabat-pejabat birokrasi, rekrutmen harus dilakukan transparan, sederhana, dengan standar-standar yang jelas. Dan untuk jabatan-jabatan politik, perlu sebuah penyederhanaan sistem, di dalam sistem kepartaian kita. Sehingga Pemilu menjadi murah,” ujar Jokowi.
Dia mencontohkan dirinya ketika pemilihan Wali Kota Solo. Ia mengatakan, betul-betul menggunakan anggaran begitu sangat kecil. Jokowi juga mengaku tidak mengeluarkan dana ketika bertarung sebagai orang nomor wahid di Ibu Kota.
“Ke partai pun, waktu pemilihan gubernur di DKI Jakarta saya tidak mengeluarkan uang sama sekali. Pak Prabowo pun juga tahu mengenai itu. Ketua partai pendukung pun juga tahu mengenai itu,” ucap Jokowi.
Kronologi Jokowi Dicalonkan Gerindra di Pilkada Jakarta
Namun Anggota Direktorat Komunikasi dan Media Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga yakni Nicholay Aprilindo membantah omongan Jokowi soal mengeluarkan uang ketika mencalonkan sebagai Gubernur DKI Jakarta pada 2012.
“Itu bohong jika dia katakan tanpa biaya pokok. Segala sesuatu saat itu dibiayai oleh Hashim Sujono Djojohadikusumo, baik Ahok atau Jokowi tidak didukung oleh pengusaha. Dana murni dari kantung Hashim,” ujar dia di Media Center BPN, Jakarta Selatan, Kamis (17/1/2019).
Hashim adalah pengusaha. Ia adik dari Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto.
Nicholay mengatakan, pada tahun 2008 Jokowi mengundang dirinya ke Loji Gandrung (rumah dinas Wali Kota Solo) dan berbincang. Dalam pembicaraan itu, Jokowi meminta agar diperkenalkan oleh Hashim. “Saya melihat dia sederhana waktu itu, lalu saya atur waktu agar Hashim bisa bertemu dengan dia di sana,” jelas Nicholay.
Terjadilah pertemuan antara Jokowi dan Hashim. Saat itu Jokowi memaparkan keberhasilannya dalam memerintah kota itu seperti memindahkan pasar tanpa perlu menerjunkan anggota Satuan Polisi Pamong Praja melainkan menggunakan Kirab Kencana dan tumpengan. Hashim tertarik mendengarkan kisah tersebut. “Lalu Jokowi menyatakan dia berkeinginan untuk menjadi gubernur,” terang Nicholay.
Menurutnya saat itu, Jokowi bisa menjadi Gubernur Jawa Tengah. Tapi suami dari Iriana itu ingin bertarung di Jakarta. “Saya meyakinkan Hashim bahwa Jokowi layak menjadi pemimpin DKI Jakarta untuk mengalahkan Fauzi Bowo (Foke),” sambung dia. Lantas Hashim setuju dan mempersiapkan segala sesuatu agar Jokowi bisa berlaga di ibu kota.
Singkat cerita, kata Nicholay, Jokowi berhasil menjadi calon gubernur DKI Jakarta. Saat itu Partai Gerindra melobi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Megawati menolak mencalonkan Jokowi untuk berpasangan dengan Ahok dan ingin mengusung Foke. “Tapi Prabowo meyakinkan ke Megawati bahwa Jokowi layak menjadi gubernur. Akhirnya Megawati setuju,” ucap Nicholay.
Ketika itu Jokowi menyatakan bahwa dia tidak memiliki apapun (cukup harta) dan siapapun (pendukung), tutur Nicholay, serta tidak ada pengusaha yang mendukungnya mendukungnya. Alhasil, Hashim berperan untuk membiayai kampanye Jokowi. “Ahok dan Jokowi tidak didukung oleh pengusaha manapun, semua biaya dari Hashim,” kata Pengamat Hukum dari Lembaga Pengkajian Strategis Politik Hukum dan Keamanan.
Nicholay mengatakan Hashim merogoh kocek lebih dari Rp100 miliar untuk Jokowi-Ahok kala itu. “Saya dan kawan lain jadi saksi hidup, kami yang mengantar duit itu ke Jokowi di ‘Rumah Pemenangan’ saat itu, duit dimasukkan ke kresek, kadang koper,” ucap dia.
Jokowi pun, lanjut Nicholay, sering menyambangi kantor Hashim di Mid Plaza 2 secara intens, sepekan dua kali. “Dia selalu datang dengan keluhan, akhirnya dibantu oleh Hashim,” ujar Nicholay.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Agung DH