tirto.id - Belum lama ini, di media sosial tersebar narasi bahwa Italia melaporkan hanya 2,9 persen kasus kematian di negara itu yang disebabkan secara langsung oleh infeksi COVID-19, terhitung sejak kasus pertama COVID ditemukan di Italia pada Februari 2020.
Unggahan ini disebarkan oleh akun Facebook bernama Rinaldy RM pada 5 November 2021. Akun Rinaldy mengunggah tangkapan layar dari artikel situs pereloaded.com yang berbahasa Inggris. Kami mengarsipkan unggahan akun Rinaldy di sini.
Tangkapan layar tersebut juga menyebut angka 2,9 persen kematian tersebut adalah dari total 130.468 kematian karena COVID-19 di Italia. Situs pereloaded.com mengklaim bahwa informasi ini bersumber dari Institut Kesehatan Nasional Italia (ISS).
Lalu, bagaimana fakta dari narasi ini?
Penelusuran Fakta
Sebagai informasi, sejak awal 2020, atau awal penyebaran pandemi COVID-19, Italia menjadi salah satu negara yang paling terdampak. Seperti dilaporkan situs France24.com, per 23 Desember 2020, Italia memiliki kasus kematian tertinggi di Eropa, yakni 70 ribu kasus kematian. Angka itu meningkat hampir dua kali lipat sekitar satu tahun setelahnya. Menurut data WHO, Italia memiliki 133.415 kasus kematian per 25 November 2021.
Pada November 2021, beberapa situs (ini, ini, dan ini) mengklaim hal yang sama dengan tangkapan layar situs pereloaded.com yang disebarkan oleh akun Rinaldy. Informasi itu menyebutkan Institut Kesehatan Italia telah secara drastis merevisi jumlah angka kematian COVID-19 di negara itu hingga turun 97 persen, karena mereka memisahkan definisi kematian pasien yang meninggal karena COVID-19 dan pasien yang meninggal karena komorbid disertai COVID-19.
Klaim ini bermula dari surat kabar Italia Il Tempo, yang melaporkan bahwa hanya 2,9 persen kematian COVID-19 di Italia yang secara murni disebabkan oleh penyakit tersebut. Untuk mendukung klaimnya, Il Tempo mengutip laporan statistik dari Institut Kesehatan Nasional Italia (Istituto Superiore di Sanità/ISS) yang melaporkan bahwa 97,1 persen kematian akibat COVID-19 terjadi pada pasien dengan setidaknya satu kondisi medis yang sudah ada sebelumnya (komorbid), seperti seperti hipertensi atau diabetes.
ISS sendiri adalah institusi riset utama di Italia di bidang biomedis dan kesehatan publik. ISS adalah badan teknis dan sains dari Layanan Kesehatan Nasional Italia (Italian National Health Service).
Situs Il Tempo juga mendeskripsikan bahwa orang-orang yang meninggal ini sudah memiliki kondisi yang membuat mereka memiliki sedikit harapan, sehingga kematian mereka pun tak dapat dianggap secara langsung disebabkan oleh COVID-19.
Namun, menurut lembaga pemeriksa fakta Healthfeedback.org, interpretasi ini tidak tepat dan berasal dari kebingungan antara “komorbiditas” dan COVID sebagai penyebab kematian. Klaim dari Il Tempo sendiri merupakan pengulangan dari misinformasi berulang tentang orang yang meninggal bukan karena COVID-19, melainkan karena penyakit penyerta.
Perlu pula diketahui bahwa Institut Kesehatan Italia tidak mengganti definisi mereka mengenai kasus kematian COVID-19. Mereka tidak pula mengurangi angka kematian setelah merilis laporan terbaru.
ISS telah mengeluarkan siaran pers mengenai misinformasi ini. Tim Tirto menggunakan fitur Google Translate untuk menerjemahkan siaran pers berbahasa Italia ini ke bahasa Inggris. Siaran pers itu menyebut bahwa klaim yang beredar diklaim berdasar pada laporan ISS bertanggal 19 Oktober 2021.
Salah satu pernyataan di siaran pers tersebut berbunyi, "Laporan tersebut tidak menyebut bahwa hanya 2,9 persen kematian diatribusikan pada COVID-19 yang disebabkan oleh virus." Persentase 2,9 persen itu, menurut ISS, merujuk pada persentase pasien yang meninggal dengan status positif virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 dan tidak memiliki penyakit lain dari diagnosis sebelumnya, sebelum terinfeksi virus.
Lebih lanjut, ISS menambahkan bahwa laporan ISS dengan kerjasamanya dengan ISTAT (Institut Statistik Nasional Italia) yang berasal dari sertifikat kematian menunjukkan bahwa COVID-19 secara langsung menyebabkan 89% kematian pada orang-orang yang dites positif terinfeksi virus SARS-CoV-2.
ISS juga menyebut bahwa adanya penyakit kronis pada populasi lansia memang sangat umum. Jika dihubungkan dengan fakta bahwa penyakit kronis membawa risiko kematian COVID-19, seharusnya tidak mengejutkan bahwa ada frekuensi yang tinggi dari kondisi ini di populasi yang meninggal dengan status positif terinfeksi SARS-CoV-2.
Selanjutnya, untuk memahami mengapa interpretasi terhadap laporan ISS tidak tepat, kita perlu memahami perbedaan antara penyebab kematian dan komorbiditas.
Sebagaimana didefinisikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan ISS dalam pedoman untuk menentukan kematian COVID-19, penyebab kematian adalah peristiwa yang memicu rantai reaksi medis yang mengarah pada kematian pasien. Pedoman ISS dan WHO dengan jelas menyatakan bahwa COVID-19 dianggap sebagai penyebab kematian utama hanya jika gejala dan rantai kejadian yang mengarah pada kematian sesuai dengan gejala penyakit pada COVID-19 dan tidak ada penyebab kematian lainnya.
Sementara komorbiditas adalah faktor yang memberatkan dan menurunkan kesehatan pasien secara keseluruhan dan melemahkan kemampuan mereka untuk bertahan hidup dari COVID-19. Oleh karena itu, perbedaan utama antara penyebab kematian dan penyakit penyerta (komorbiditas) adalah bahwa penyakit penyerta tidak memicu serangkaian peristiwa yang menyebabkan kematian pasien.
Dengan demikian, pasien dinyatakan meninggal karena penyebab kematian yang mendasarinya, yakni COVID-19, dan dinyatakan meninggal dengan penyakit penyerta, atau komorbiditas yang dimiliki.
Dalam banyak kasus, jika penyebab kematian, seperti penyakit atau cedera, telah dihindari, pasien dengan penyakit penyerta—termasuk kondisi yang sudah ada sebelumnya seperti diabetes—tidak akan meninggal pada saat itu. Dengan kata lain, komorbiditas yang ada pada 97,1 persen pasien yang meninggal tidak membunuh mereka.
Ketika diwawancarai oleh surat kabar Italia La Repubblica, Graziano Onder, Direktur Departemen penyakit kardiovaskular, endokrin dan metabolisme dan penuaan di ISS, menyatakan: “Tidak benar menyatakan bahwa hanya 2,9 persen kematian disebabkan oleh COVID-19. Memang, sebagian besar orang yang meninggal adalah orang-orang yang memiliki kondisi yang sudah ada sebelumnya, tetapi orang yang mampu menjaga kondisi tubuhnya bisa hidup hingga bertahun-tahun dengan kondisi tersebut.”
Seperti yang disampaikan Healthfeedback.org, kondisi medis seperti diabetes atau hipertensi dapat dirawat secara berkala. Kondisi ini memang membuat pasien lebih rentan, namun seseorang dapat hidup bertahun-tahun dengan kondisi kesehatan ini. Oleh karena itu, adanya penyakit penyerta di antara banyak pasien yang meninggal tidak mengubah fakta bahwa COVID-19 membunuh mereka.
Pengamatan penting lainnya adalah bahwasanya Italia dan banyak negara lain mengalami kelebihan jumlah kematian (excess death) dibanding ekspektasi dan sejarah tahun-tahun sebelumnya pada 2020 dan 2021, menukil dari laporan The Economist. Menurut laporan The Economist, ada 261 kelebihan jumlah kematian per 100 ribu orang di Italia, pada periode 2 Maret 2020, di awal pandemi COVID-19 di negara itu, hingga 29 Agustus 2021. Jumlahnya 157.560 orang, bahkan lebih besar dari laporan kematian COVID-19 yang terekam pemerintah Italia, yang mungkin belum sempat dites COVID sebelum meninggal atau karena lambatnya pengolahan data, menurut laporan itu.
Dari situ dapat dilihat pula, tidak ada penjelasan yang masuk akal mengapa penderita diabetes, hipertensi, atau penyakit Alzheimer tiba-tiba meninggal dalam tingkat yang lebih tinggi selama 2020 atau 2021 dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Oleh karena itu, kemungkinan terbesar adalah, COVID-19, sebagai penyebab baru yang mengakibatkan kematian berlebih ini (excess death).
Kesimpulan
Berdasarkan penelusuran fakta yang telah dilakukan, Italia tidak mengubah definisi kematian COVID-19. Sementara itu, banyak pasien yang mungkin memiliki komorbiditas, namun hal ini bukanlah penyebab kematian mereka. Berdasarkan panduan WHO, dan juga ISS, penyebab kematian para pasien ini adalah COVID-19. Dengan demikian, klaim yang berlawanan dengan penjelasan di atas bersifat salah dan menyesatkan (false & misleading).
==============
Tirto mengundang pembaca untuk mengirimkan informasi-informasi yang berpotensi hoaks ke alamat email factcheck@tirto.id atau nomor aduan WhatsApp +6287777979487 (tautan). Apabila terdapat sanggahan atau pun masukan terhadap artikel-artikel periksa fakta maupun periksa data, pembaca dapat mengirimkannya ke alamat email tersebut.
Editor: Farida Susanty