tirto.id - Sebuah gedung tiga lantai nampak dominan dengan dinding kaca hitam yang berpadu dengan susunan keramik putih berdiri tegak di seberang Istana Negara, Jakarta. Nampak logo siluet badan dan tanduk kerbau berbalut warna merah, dan di bawahnya bertulis "berdikari". Ini adalah kantor pusat PT Berdikari (Persero), BUMN peternakan dan pangan yang beralamat di Jl. Medan Merdeka Barat No. 1
Siapa sangka di kantor perusahaan yang megah dan menaungi banyak bisnis ini memiliki setumpuk masalah tata kelola perusahaan hingga carut marut keuangan. Busuk korupsi dan penyimpangan bisnis bercampur aduk mewarnai BUMN yang lahir sejak 1966 ini.
Pada pertengahan 2017, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menahan lima orang tersangka kasus tindak pidana korupsi pengadaan pupuk urea tablet di Perum Perhutani Unit 1 Jawa Tengah, Tahun Anggaran 2010-2011 dan 2012-2013. Lima orang tersangka itu terbagi atas dua kasus yang terjadi dalam dua periode jabatan berbeda. Di antaranya melibatkan Direktur Utama (Dirut) PT Berdikari (Persero) periode 2010-2011 Asep Sudrajat Sanusi dan Dirut PT Berdikari periode 2012-2013 Librato El Arif.
Perkara ini merupakan pengembangan dari kasus sebelumnya soal tindak pidana korupsi penerimaan hadiah atau janji terkait pengadaan pupuk. Tersangkanya Direktur PT Berdikari periode 2010-2012, Siti Marwa yang sudah divonis 4 tahun penjara.
Rentetan kasus korupsi yang membelit BUMN ini sangat ironis di tengah pemerintah sedang gencar mencapai swasembada pangan. Apalagi istilah Berdikari bukan nama yang sembarangan karena lekat dengan gagasan Sukarno yang terkenal dengan istilah "berdiri di atas kaki sendiri" bagian dari konsep Trisakti.
Direktur Utama PT Berdikari, Eko Taufik Wibowo yang merupakan orang baru di Berdikari mendapat tugas berat mengelola BUMN ini. Apalagi kasus pupuk hanya sebagian kecil dari dugaan kasus lainnya yang siap menanti petinggi PT Berdikari lainnya.
“Yang terekspos baru kasus pupuk. Temuan saya selama proses restrukturisasi dan internal audit ini masih ada yang kasusnya lebih besar,” kata Eko kepada Tirto.
PT Berdikari tak hanya tercoreng soal kasus hukum para petinggi manajemennya, tapi juga soal tabiat berbisnis yang buruk. Pada 2010, perseroan dikaitkan dengan tindakan wanprestasi anak usahanya, Berdikari Insurance yang mengalami gagal bayar klaim pertanggungan atas nasabah, PT Kaltim Daya Mandiri (KDM), yang merupakan anak usaha dari PT Pupuk Kaltim.
Pada saat itu, PT KDM selaku pemegang polis mengajukan klaim asuransi atas kerusakan gas turbine generator kepada Berdikari Insurance senilai Rp38 miliar. Berdikari Insurance mengingkari perjanjian dan tidak membayarkan pertanggungan.
Permasalahan ini terbilang "ruwet" karena persoalan administrasi PT Berdikari tidak tertib. Keruwetan ini bermula saat manajemen lama PT Berdikari memutuskan untuk melepas kepemilikan saham mayoritas di PT Berdikari Insurance kepada pemilik baru. Di sisi lain, Berdikari Insurance tengah memiliki kewajiban membayar pertanggungan atas klaim PT KDM.
Seharusnya, manajemen PT Berdikari kala itu sudah mencadangkan dana klaim untuk PT KDM. Sayangnya, pemilik baru Berdikari Insurance juga melakukan wanprestasi tidak hanya kepada PT KDM, tapi juga kepada nasabah lain. Pihak KDM menggugat ke pengadilan, celakanya aset kantor pusat PT Berdikari masuk asetnya Berdikari Insurance. Namun, selain persoalan tata kelola administrasi yang buruk, persoalan Berdikari Insurance ini berpeluang jadi kasus hukum.
“Bagi saya yang baru masuk PT Berdikari, saya lihat proses penjualan Berdikari Insurance ini berbau aroma tidak sedap juga,” kata Eko.
Masalah lain juga membelit PT Berdikari, pada April 2016, CV Kurnia Mekar Raharja melayangkan somasi kepada Direksi PT Berdikari atas tindakan tidak memenuhi pembayaran pasokan konsentrat yang terhitung sejak 2015. Nilai total tunggakan tercatat sebesar Rp2,1 miliar. PT Berdikari masih belum mampu menyelesaikan tunggakannya kepada CV Kurnia Mekar Raharja dan rekan kerja PT Berdikari lainnya.
Sengkarut yang terjadi pada internal PT Berdikari berdampak pada kinerja anak usaha maupun induk usaha. Berdikari Insurance misalnya, sepanjang 2016 mencatatkan pendapatan premi hanya Rp38,6 miliar, jauh merosot ketimbang tahun sebelumnya Rp52,7 miliar. Pada 2015 beban klaim mencapai hampir setengah dari pendapatan premi, yakni sebesar Rp24,3 miliar.
Sementara itu, kondisi keuangan induk usaha PT Berdikari hingga 2016 sangat menyedihkan. Kinerja penjualan merosot tajam dari semula Rp450 miliar pada 2015, menjadi Rp229 miliar pada 2016. Ini karena penjualan di sektor bisnis utama yaitu peternakan anjlok dari Rp203 miliar di 2015 menjadi Rp51 miliar pada tahun lalu. Penjualan industri makanan juga merosot tajam hanya Rp36 miliar, padahal pada 2015 sempat mencapai Rp63 miliar. BUMN ini masuk dalam daftar 24 BUMN yang masih merugi dalam mengelola bisnis.
PT Berdikari memang memiliki banyak lini usaha, selain peternakan dan pangan, juga menjadi penyedia barang dan jasa perdagangan umum, serta jasa logistik, hingga furnitur. Sebagai BUMN yang banyak anak usaha yang sedang terlilit banyak masalah, kondisi ini memunculkan pertanyaan, terhadap pemegang saham, dalam hal ini Kementerian BUMN, yang "kecolongan" dalam pengawasan.
“Sebenarnya tidak luput menurut saya, upaya-upaya untuk menunjuk pengurus perusahaan sudah kami coba beberapa kali, karena kondisi sudah sangat parah jadi agak sulit keluar dari masalahnya,” kata Deputi Bidang Usaha Industri Agro dan Farmasi Kementerian BUMN, Wahyu Kuncoro kepada Tirto.
Menurutnya masalah PT Berdikari adalah problem masa lalu yang sangat kompleks. "Satu per satu kita akan coba selesaikan, kewajiban perbankan, pajak, dan utang pihak ketiga yang sangat besar. Kami saat ini sedang melakukan identifikasi,” kata Wahyu.
Memperbaiki BUMN Bobrok
Eko baru resmi dikukuhkan menjadi Direktur Utama PT Berdikari sejak 21 Juni 2017. Sebelumnya, pada 2016 ia menjabat sebagai Direktur Keuangan dan SDM PT Berdikari. Sebagai orang yang kini dipercaya memperbaiki tata kelola perusahaan yang semrawut, upaya reorganisasi pun dilakukan termasuk pengawasan, manajemen risiko, dan internal audit yang sebelumnya tidak jalan.
Di tengah berbagai persoalan yang menghinggapi PT Berdikari, BUMN ini harus meraih untung di akhir 2017. Target ini memang berat, karena hingga kuartal III-2017, PT Berdikari masih membukukan kerugian yang terakumulasi hingga beban-beban pajak dan utang.
Beban tersebut belum bisa ditutupi oleh pendapatan perusahaan. Ekuitas perusahaan hanya Rp75 miliar, sementara itu, utang perusahaan kepada bank maupun kepada pihak mitra sudah mencapai Rp600 miliar. Dengan kondisi demikian memang perlu terobosan, termasuk memaksimalkan aset yang ada.
“Aset-aset yang idle akan kami coba optimalkan untuk menutupi kewajiban-kewajiban yang ada terutama beban bunga bank dan utang pajak,” ucap Wahyu.
Sementara itu, Eko yakin dengan target-target yang sudah dirancangnya, misalnya optimalisasi aset hingga Rp1 triliun. Selebihnya melakukan varias bisnis di sektor peternakan, yaitu Berdikari mulai masuk ke bisnis ayam. "Target jangka panjang kita ingin menjadi seperti Charoen Pokphand,” kata Eko.
Namun, target tersebut bisa dibilang ambisius, karena hingga September 2017 total aset PT Berdikari hanya Rp525 miliar. Bagaimanapun PT Berdikari harus keluar dari belitan berbagai masalah yang terjadi. Masalah terberat yang harus dihadapi PT Berdikari kini, bukan hanya soal target angka-angka yang tinggi, tapi bagaimana mengembalikan reputasi dan kepercayaan perusahaan yang sudah tercoreng. Untuk bisa menjadi BUMN yang benar-benar berdikari, PT Berdikari tak cukup bermodal nama yang mentereng.
Penulis: Dano Akbar M Daeng
Editor: Suhendra