tirto.id - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo angkat bicara soal keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memerintahkan lembaganya untuk menetapkan beberapa orang tersangka dalam kasus Bank Century, salah satunya mantan Gubernur Bank Indonesia sekaligus Wakil Presiden RI ke-11 Boediono.
Agus mengatakan bahwa KPK belum berencana memanggil Boediono dalam penyelidikan kasus tersebut. "Belum [akan dipanggil], tadi kita masih mendengarkan masukan dari penyidik lain," ungkap Agus di Jakarta, Selasa (17/4/2018).
Dalam putusannya yang dibacakan pada Selasa (10/4), Hakim Tunggal PN Jaksel Effendy Muchtar memerintahkan KPK untuk melanjutkan kasus dugaan korupsi Bank Century sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan.
"KPK harus melanjutkan pemeriksaan dan penuntutan perkara ini secara tuntas terhadap nama-nama yang disebutkannya dalam dakwaan perkara Budi Mulya, apapun risikonya karena itulah konsekuensi logis yang harus dipertanggungjawabkan oleh KPK kepada masyarakat” kata hakim Effendy.
“Bahwa dalam melakukan penegakan hukum tidak boleh melanggar prinsip-prinsip dan asas-asas hukum yang telah diakui dalam teori hukum pidana yang berlaku universal, kalau tidak kita akan ditertawakan oleh masyarakat dan dunia internasional, bahwa KPK memang telah melakukan tebang pilih dalam pemberantasan tindak pidana korupsi," lanjut hakim Effendy.
Menurut Agus, KPK masih mencari masukan terkait putusan hakim tunggal PN Jaksel yang mengabulkan gugatan praperadilan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) terkait kasus korupsi Bank Century itu.
"KPK sedang mengkaji itu. Kita menugaskan penyidik dan jaksa untuk mendalami itu. Mudah-mudahan dalam waktu yang dekat kita akan mendapat masukan," kata Agus.
"Kita juga mendengarkan masukan ahli-ahli dari luar mengenai putusan praperadilan PN Jakarta Selatan," lanjut Agus.
Agus menegaskan, KPK akan menindaklanjuti apabila sudah menemukan bukti yang cukup.
"Jadi kita akan mendengarkan masukan dari teman-teman penyidik dan penuntut yang kita tugaskan untuk mendalami itu. Nanti mungkin minggu ini kita akan mendapatkan itu," tambah Agus.
Latar Belakang Kasus Century
Dalam surat dakwaan terhadap mantan Deputi Bank Indonesia Budi Mulya, kasus ini bermula sejak 2005. Namun melansir BBCIndonesia.com, masalah di bank ini baru mencuat antara 31 Oktober hingga 3 November 2008. Kala itu, Bank Century dilaporkan mengalami masalah likuiditas serius sehingga manajemen Bank Century mengajukan FPJP senilai Rp1 triliun kepada Bank Indonesia.
Pada 5 November 2008, Gubernur Bank Indonesia Boediono menempatkan Bank Century dalam pengawasan khusus. Kemudian pada 6 November 2018, BI mulai mengawasi Bank Century dan melarang penarikan dana dan rekening simpanan di Bank Century.
Pada 13 November 2008, Menteri Keuangan Sri Mulyani melaporkan masalah Bank Century kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang sedang berada di Washington D.C.
Kemudian pada 20-21 November 2008, Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang diketuai Sri Mulyani menggelar rapat bersama Gubernur Bank Indonesia, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). LPS kemudian mengambil alih kepemilikan Bank Century.
Rapat terakhir ini yang kemudian menetapkan Bank Century sebagai bank gagal yang berdampak sistemik sehingga membutuhkan bantuan talangan (bailout). Belakangan dalam penyelidikan yang dilakukan KPK, Komisi menduga bailout ini diputuskan dengan berbau korupsi.
Pada November 2012, KPK kemudian menetapkan Budi Mulya dan Siti Chalimah Fadjriah sebagai pihak yang patut dimintai pertanggungjawaban. Namun dalam perjalanannya, hanya Budi Mulya yang ditetapkan tersangka lantaran Siti Chalimah Fadjriah sakit stroke dan kemudian meninggal pada 16 Juni 2015.
Budi kemudian divonis bersalah dalam kasus skandal suap Bank Century. Mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia Bidang Pengelolaan Moneter dan Devisa itu dinilai terlibat merugikan keuangan negara sejak penyetoran Penyertaan Modal Sementara (PMS) 24 November 2008 hingga Desember 2013 sebesar jumlahnya Rp 8,012 triliun.
Pada tingkat pengadilan negeri, Budi Mulya divonis 10 tahun penjara, pada Rabu 16 Juli 2014. Ia kemudian mengajukan banding, tetapi hakim Pengadilan Tinggi Jakarta justru memperberat hukuman Budi. Hakim Widodo dan dua hakim pengadilan Tinggi memperberat hukuman Budi Mulya menjadi 12 tahun penjara.
Tidak puas dengan putusan pengadilan tinggi, Budi membawa perkara ini ke tingkat kasasi. Namun, Hakim Agung Artidjo Alkostar dan dua hakim lain memperberat hukuman Budi Mulya menjadi 15 tahun penjara.
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Alexander Haryanto