tirto.id - Dalam autobiografinya yang tersohor, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2007), Sukarno mengingat saat dia dibawa Belanda ke Sumatra pada pengujung 1948. Pagi hari tanggal 22 Desember 1948, rombongan pejabat tinggi Indonesia dikepung di beberapa gedung pemerintahan di Yogyakarta. Mereka ditangkap dan kemudian diterbangkan tanpa arah tujuan yang jelas.
Para pemimpin Republik baru mengetahui bahwa mereka diasingkan ke Sumatra ketika menginjak tanah beberapa jam setelahnya. Mohammad Hatta dan rombongan beberapa pejabat diturunkan di Pangkalpinang, Pulau Bangka, dengan kawalan Corps Speciale Troepen (Pasukan Khusus Belanda) ke Pulau Bangka.
Sementara itu, Sukarno, Agus Salim, dan Sutan Sjahrir diterbangkan terus menuju ke Brastagi sebelum akhirnya dikirim ke pembuangan di Parapat. Daerah pinggiran Danau Toba yang banyak ditumbuhi pohon pinus itu telah dikuasai Belanda sejak Agresi Militer I 1947.
Saat berada di Brastagi itu, Sukarno merasa ada sinyal Belanda bakal membunuhnya. Sinyal ini amat kontras dibanding gestur Belanda di awal penangkapan. Saat itu, pihak militer Belanda tidak banyak menunjukkan kesan permusuhan. Dalam autobiografinya, Sukarno menyebut mendapat informasi dari perempuan tukang masak yang bertugas mengurusnya di Brastagi.
K.M.L. Tobing dalam Perjuangan Politik Bangsa Indonesia: KMB (1987) juga mengutip kesaksian Sukarno itu. Katanya, perempuan itu menemui Sukarno di kamarnya sambil gemetar dan berkata, “Saya tadi menanyakan, apa yang akan saya masak untuk Bapak [Sukarno] besok dan opsir yang bertugas menyatakan: tidak perlu, Sukarno akan dihukum tembak besok pagi”.
Namun, sinyal pembunuhan itu tidak pernah terlaksana. Pasalnya, Sukarno dan rombongan langsung dipindahkan ke Parapat pada pagi hari berikutnya.
Dengan ditangkapnya para pemimpin negeri, Belanda ingin memberi tahu dunia bahwa Republik Indonesia telah tiada. Namun, Belanda rupanya justru kena gocek. Pasalnya, pemerintah Republik telah menyiapkan strategi darurat untuk mengantisipasi situasi genting macam itu.
Sebelum ditangkap, pemerintah Indonesia rupanya telah memberi mandat pada dua pihak untuk membentuk pemerintahan darurat dan pemerintahan pengasingan.
Mandat pertama untuk membentuk pemerintahan darurat diberikan kepada Syafruddin Prawiranegara. Lalu, untuk mengantisipasi jika mandat pertama ini gagal, pemerintah memberi mandat kedua untuk mendirikan pemerintahan pengasingan di India pada Alexander Andries Maramis.
Dua surat kawat berisi mandat itu diteken pemerintah di saat Belanda mulai merangsek masuk Yogyakarta pada 19 Desember 1948—tepat hari ini 73 tahun yang lalu.
Meski demikian, kawat mandat pertama rupanya telat sampai kepada Syafruddin. Dia belum tahu soal mandat pemerintah itu, tapi sudah mendengar bahwa Yogyakarta telah jatuh. Maka Syafruddin memutuskan sendiri untuk bergerak dari Bukittinggi ke Halaban bersama Komandan Militer Daerah Sumatra Kolonel Hidayat dan Gubernur Sumatra Teuku Mohammad Hasan pada sore hari 19 Desember itu.
Di Halaban, tokoh-tokoh lain pun mulai menyusul. Syafruddin kemudian mengadakan rapat pada 22 Desember 1948 yang dihadiri 11 tokoh—termasuk Direktur Bank Negara Indonesia (BNI), Abdul Karim. Sampai saat itu pun, mereka memutuskan sendiri gerakannya tanpa pernah menerima kawat dari Presiden Sukarno secara resmi.
Terdorong oleh situasi genting, Syafruddin lantas mendeklarasikan berdirinya Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Manuver ini praktis menyelamatkan eksistensi Republik Indonesia.
Menyengat Balik Belanda
Jajaran pejabat Belanda dengan tokoh sentralnya Louis Joseph Maria Beel tentu saja menganggap nol eksistensi PDRI. Namun, penolakan terhadap eksistensi PDRI memiliki konsekuensi tersendiri bagi riwayat perjuangan Belanda dalam Perang Dunia Kedua (1939–1945).
Saat mesin perang Jerman memasuki wilayah Belanda dengan diawali Penyerangan Rotterdam, para pejabat tinggi negeri kincir angin itu dan bahkan Ratu Wilhelmina mengungsi ke London. Situasi serupa juga terjadi di Hindia Belanda. Seperti halnya sang Ratu, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Tjarda van Starkenborgh juga memindahkan mandat pemerintahan sipil ke Letnan Gubernur Jenderal Hubertus van Mook yang berada di pengasingan Australia.
Kedua kasus itu adalah contoh yang sejajar dengan langkah pemerintah Indonesia saat mengalihkan mandat kepada PDRI. Syafruddin bahkan sempat melontarkan argumen brilian yang menyebut bahwa legitimasi PDRI dapat dipandang lebih bagus daripada legitimasi pemerintahan pengasingan Belanda di London.
Usai deklarasi PDRI, Syafruddin pernah menjawab penolakan Belanda, “[…] kami, meskipun dalam rimba, masih tetap dalam wilayah Republik Indonesia [sedangkan Belanda pada 1940] pemerintahnya mengungsi ke Inggris. Padahal, Undang-undang Dasarnya [Belanda] sendiri menyatakan bahwa kedudukan pemerintah haruslah di wilayah kekuasaannya”.
Argumentasi Syafruddin itu ada benarnya dan memang sempat bikin gusar pemerintah Belanda. Pada Maret 1942 silam, Gubernur Jenderal Tjarda sebenarnya diminta mati-matian untuk tidak menyerah atas nama seluruh pemerintah sipil dan militer Hindia Belanda. Sebabnya, kalau Tjarda menyerah, legitimasi pemerintah Belanda yang sudah kehilangan wilayah Eropanya akan merosot.
Pada kenyataannya, Tjarda memilih menyerah. Karena itulah, argumentasi Syafruddin jadi terkesan lebih menohok lagi. Namun, Belanda tetap mempertahankan argumen bahwa pemerintahan pengasingannya punya kedudukan yang sah.
Dengan demikian, penolakan Belanda atas keabsahan dan eksistensi PDRI segera tampak sebagai pengingkaran atas tindakan politik yang pernah mereka lakukan selama Perang Dunia II.
Aspek kontradiktif inilah yang disadari oleh sejarawan Jan de Roos dan dikutip Ronald Frisart dalam artikel “Bestond Nederland Nog Wel? En de Republiek Indonesië? [Apakah Belanda Masih Ada? Dan Bagaimana dengan Republik Indonesia]” yang dimuat majalah Historiek (18 Mei 2021).
“[secara praktis] keberadaan pemerintah darurat Syafruddin mungkin hampir tidak ada artinya, namun yang terpenting adalah bahwa lembaga itu eksis […] itulah yang dilihat oleh publik internasional,” tulis Frisart.
Dampak
Keberadaan PDRI di bawah Syafruddin membuat wakil-wakil Indonesia di luar negeri berani bersuara. Salah satu yang terbantu oleh esksistensi PDRI adalah wakil Indonesia di Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) Lambertus Nicodemus Palar.
Dalam sidang PBB, Palar berani menyebut Belanda telah menggunakan cara-cara Nazi di Indonesia. Dia juga menyebuttindakan Syafruddin tak beda dengan apa yang telah dilakukan pemerintah Belanda di London.
Berkat itu, pada 27 Desember 1948, Dewan Keamanan (DK) PBB akhirnya menerbitkan resolusi yang mendesak agar Belanda dan Indonesia melakukan gencatan senjata. Belanda sendiri juga diminta untuk membebaskan para pemimpin Republik. Sementara itu, PBB juga menginstruksikan Komisi Tiga Negara (KTN) untuk melaporkan keadaan riil Indonesia.
Pemerintah Belanda bahkan juga dapat desakan dari sekalangan rakyatnya sendiri. Sebagian elite politik dan kelompok masyarakat-terutama kalangan sosialis—negeri kincir angin mulai memperdebatkan dan mengutuk aksi-aksi kekerasan yang dilakukan militer Belanda di Indonesia.
Bahkan, tokoh penting seperti Wim Schermerhorn (mantan perdana menteri dan wakil Belanda untuk Perundingan Linggarjati) tidak mau menyebut serangan Belanda terhadap Indonesia sebagai “aksi polisionil”. Ketimbang mengamini pemerintahnya sendiri, dia terus-terusan menggunakan diksi “agresi” untuk menyebut tindakan itu dalam buku hariannya yang diterbitkan kemudian, Het Dagboek van Prof. Dr. Ir. W. Schermerhorn (1970).
Penulis: Christopher Reinhart
Editor: Fadrik Aziz Firdausi