tirto.id - Muhamad Taif gelar Raja Aminudin adalah tamatan sekolah raja (Kweekschoool) yang menjadi Kepala Sekolah Dasar Melayu di Aceh. Ia berasal dari Pidoli Dolok, Panyabungan, Mandailing. Pada 22 Februari 1904, anaknya lahir di Lhoknga, di tepi Krieng Raba (Sungai Raba), dan diberi nama Sutan Mohammad Amin Nasution.
S.M. Amin belajar di sekolah elite untuk anak-anak Eropa, Europé Lager School (ELS). Taif bahkan meminta koleganya yang orang Belanda, yang disapa Meneer Sneep--seorang pejabat di Stasiun Solok--untuk membantunya agar anaknya bisa diterima di sebuah ELS di Solok. Permintaan seorang Belanda akan lebih terkabul daripada permintaan orang pribumi di mata hukum kolonial.
”Kami berangkat ke Solok dan menemui Meneer Sneep. Ia bersedia membantu dan segera membawa saya ke sekolah yang dituju. Tanpa pembicaraan panjang-lebar saya diterima sebagai murid kelas III ELS Solok,” ujar S.M. Amin seperti terdapat dalam memoarnya Perjalanan Hidupku Selama Sepuluh Windu (1987:7).
Lulus dari ELS, S.M. Amin pernah diterima di STOVIA, tetapi dia tidak lulus sebagai Dokter Jawa. Ia pun kemudian melanjutkan ke MULO, lalu AMS di Yogyakarta. Setelah itu, ia kuliah di Rechts Hogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) di Batavia. S.M. Amin berkawan dengan Muhammad Yamin dan keduanya terlibat dalam Kongres Pemuda II di Jakarta yang melahirkan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
”Ikrar Sumpah Pemuda ini dicetuskan dalam suasana masih terdapat puluhan organisasi yang berdasarkan kesukuan,” ujarnya.
Menurutnya, saat itu rasa kesukuan masih sangat kuat. Seseorang merasa derajat sukunya lebih tinggi daripada suku yang lain. Ia sendiri saat itu bagian dari Jong Sumatranen Bond.
S.M. Amin mulai kuliah pada tahun 1927 dan selesai pada 1933. Ia lulus dengan gelar Meester in Rechten (Mr), yang berhak ia pakai di depan namanya. Ia lalu kembali ke Aceh dan menjadi pengacara di Kutaraja lalu ke Sigli. Selain sebagai pengacara, seperti disebut dalam buku Kami Perkenalkan (1954:51), S.M. Amin juga aktif di Partai Indonesia Raya (Parindra) Aceh sebelum tentara Jepang datang. Ia juga pernah membuat majalah.”
Kami menerbitkan suatu majalah, Penyuluh Rakyat, yang menyiarkan hal-hal yang kami anggap perlu diketahui oleh masyarakat. Namun penerangan-penerangan yang diberikan tidak mempan; beberapa pertumpahan darah terjadi,” ujarnya (1987:42).Ketika Aceh dikuasai Jepang, oleh militer fasis itu S.M. Amin dijadikan Direktur Sekolah Menengah atau Syu Gakko. Lalu ketika perang kemerdekaan meletus, ia segera berdiri di pihak Republik. S.M. Amij mula-mula jadi
Wakil Ketua Komite Nasional Daerah Aceh. Lalu sempat menjabat sebagai Kepala Jawatan Kehakiman Aceh. Pada pertengahan 1947, S.M. Amin dijadikan Gubernur Muda Sumatra Utara. Dan pada 1948, Presiden Sukarno melantiknya sebagai Gubernur Sumatra Utara.”Meski timbul banyak perdebatan antara Tapanuli dan Aceh mengenai ibukota Sumatra Utara (karena sebagaian besar wilayah Sumatra Timur di bawah kekuasaan Belanda), Amin tetap di Kutaraja (Banda Aceh),” tulis Anthony Reid dalam Menuju Sejarah Sumatra: Antara Indonesia dan Dunia (2011:37).
Namun, belum lama menjadi Gubernur Sumatra Utara, tentara Belanda keburu menyerbu Yogyakarta pada 19 Desember 1948 dan menahan para pemimpin Republik. Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) pun segera dibentuk di Sumatra Barat. Dalam Sejarah Daerah Sumatera Utara (1978:134) disebutkan bahwa di masa itu S.M. Amin menjabat selaku Komisaris Pemerintah Pusat untuk Sumatra Utara.
Di masa PDRI, ia turut mengusahakan bantuan-bantuan untuk memperbaiki jalan-jalan yang terkait dengan perekonomian. Pada 1950, seperti dicatat dalam buku Kami Perkenalkan (1954:51) S.M. Amin adalah anggota panitia peleburan Negara Sumatra Timur ke dalam Republik Indonesia.
Setelah Belanda angkat kaki dari Indonesia dan revolusi kemerdekaan usai, S.M. Amin tetap bekerja bagi Republik. Warsa 1953, ia kembali menjadi Gubernur Sumatra Utara hingga 1956 yang ibukotanya di Medan. Kemudian antara 1958 hingga 1960, ia menjadi Gubernur Provinsi Riau sebagai daerah pemekaran dari Sumatra Timur yang beribukota di Pekanbaru.
Selain pernah menjadi pengacara dan pejabat, kesibukan S.M. Amin lainnya adalah sebagai penulis. Ia tak hanya menulis autobiografi, tapi juga sejumlah buku tentang hukum dan politik, seperti Atjeh Sepintas Lalu (1950), Hukum Atjara Pengadilan Negeri (1957), Indonesia Di Bawah Rezim Demokrasi Terpimpin (1967), Khayal dan Kenyataan Di Bawah Rejim Sukarno (1967), dan lain-lain.
Sutan Mohammad Amin Nasution wafat pada 16 April 1993 di Jakarta. Pada peringatan Hari Pahlawan 2020, ia adalah salah satu tokoh yang dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.
Editor: Irfan Teguh Pribadi