tirto.id -
Di tengah obrolan santai serta lelucon khas mahasiswa, tiba-tiba salah seorang di antara mereka bertanya dengan nada serius.
“Kalau di antara kita ada yang mati saat aksi, mau dijadikan apa?”
Beberapa di antara mereka ada yang menjawab setengah bergurau, namun ada juga yang menjawab dengan serius.
“Wah, [kita] batal jadi masuk buku sejarah, nih!” ceteluk salah seorang kawannya.
Namun, selang beberapa waktu kemudian, sebuah truk militer melintasi Jalan Jenderal Sudirman dari arah berlawanan dengan truk pertama tadi. Tanpa disangka, para prajurit di atas truk itu menembak ke arah para mahasiswa yang sedang beristirahat. Menurut laporan Kompas (28/09/1999), kejadian itu berlangsung sekitar pukul 20.30 WIB.
Ruwi Yanto dan kawan-kawanya lari berhamburan mencari aman, menuju ke dalam kampus UAJ Jakarta dan Rumah Sakit Jakarta. Jelang tengah malam, Ruwi Yanto berhasil berkumpul lagi dengan kawan-kawannya, tetapi setelah menghitung ulang, hanya ada 12 orang. Artinya ada satu orang yang belum kembali.
“Ternyata itu adalah kawan kami: Yun Hap. Baru kami ketahui setelah kami kembali lagi dan beliau sudah tidak ada. Sudah meninggal,” ujarnya.
Soeharto Runtuh, Orde Baru Masih Ada
Kendati Presiden Soeharto sudah mundur sejak 21 Mei 1998, nyatanya watak represif dan kediktatoran masih berkubang di kepala para pejabat eksekutif dan anggota dewan di Senayan. Mereka masih ngotot ingin membahas dan mengesahkan RUU PKB yang saat itu ramai ditolak rakyat.
Dalam laporan Kompas (11/09/1999), pada tanggal 10 September beberapa gerakan rakyat sudah turun protes ke DPR RI. Mulai dari Front Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi (FAMRED), Urban Poor Consortium (UPC), hingga mahasiswa lintas kampus. Aksi terjadi beberapa kali sepanjang September. Tuntutan mereka tegas: tolak RUU PKB, cabut UU Keadaan Bahaya, dan mencabut dwifungsi ABRI.
Pembahasan terus berjalan hingga akhirnya disahkan pada Kamis, 23 September 1999. Maka sehari setelahnya, aksi penolakan berlanjut lagi. Dari siang hingga malam tertembaknya Yun Hap—malam yang dikenal hingga saat ini sebagai Tragedi Semanggi II.
Menggantung Setelah 21 Tahun
“Saat sedang autopsi, tentara mau masuk, tapi enggak berhasil. Sepertinya mau ambil barang bukti, karena [mereka] mengaku tidak ada peluru tajam saat membenarkan aksi [penembakan],” kenang Rieke saat saya hubungi, Selasa (22/9/2020) kemarin.
Kasus tertembaknya Yun Hap akhirnya diusut oleh Tim Pencari Fakta Independen (TPFI) yang dibentuk beberapa waktu setelahnya. Tim itu diketuai oleh Hermawan Sulistyo—saat ini menjadi peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Hasil dari investigasi tim itu: Yun Hap terkena tembakan pada pukul 20.40 WIB, 24 September 1999. Tim itu juga menemukan fakta bahwa Yun Hap sudah tewas bahkan sebelum dibawa ke rumah sakit. Tim itu tak menemukan kendaraan lain saat kejadian penembakan berlangsung, kecuali truk milik ABRI.
Pada April 2002, hasil penyelidikan itu diserahkan kepada Kejaksaan Agung untuk dilakukan penyidikan, namun ditolak dengan alasan sudah disidangkan melalui pengadilan militer—yang hanya menghukum pelaku di lapangan, bukan otak komandonya. Akhirnya, peristiwa TSS menguap begitu saja hingga hari ini.
Bahkan, secara serampangan, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengatakan bahwa kasus Semanggi I dan Semanggi II bukan merupakan pelanggaran HAM berat. Ia mengatakan itu saat rapat kerja dengan Komisi III DPR RI, 16 Januari lalu. Ucapan dia sontak bikin geger dan dikecam oleh para pegiat HAM dan keluarga korban.
Rieke, sahabat yang ikut menemani hingga diautopsi di RS Cipto Mangunkusumo, mengaku sedih jika dirinya diminta untuk mengingat kembali memori lama tentang Yun Hap. Bahkan, hingga hari ini, saat ia berada di tempat yang dulu ia dan Yun Hap layangkan protes.
“Gedung DPR yang dulu berkali-kali kami turun aksi dan kemudian kami mendudukinya, sekarang aku bekerja di dalamnya,” katanya.
Rieke saat ini adalah anggota DPR RI Fraksi PDIP, fraksi partai yang dulu menyebut ada pelanggaran HAM untuk kasus TSS—berseberangan dengan tujuh partai lainnya.
Nyatanya tak banyak perubahan terjadi di ranah sosial, politik, apalagi hukum, yang tak kunjung memberikan keadilan kepada keluarga korban pelanggaran HAM di masa lalu, termasuk keluarganya Yun Hap.
Namun satu yang tak boleh padam, semangat dan idealisme Yun Hap yang harus terus direproduksi oleh gerakan mahasiswa hingga masa mendatang, seperti yang tertulis di atas batu nisannya: “Aku belajar disubsidi rakyat. Aku harus membela rakyat. Aku gugur bersama rakyat.”
Editor: Irfan Teguh