Menuju konten utama

Belajar dari Kecelakaan Kereta di India, RI Perlu Lakukan Ini

Meski belum ada laporan resmi mengenai penyebab kecelakaan kereta di India, namun kejadian itu dapat dijadikan pelajaran berharga bagi Indonesia.

Belajar dari Kecelakaan Kereta di India, RI Perlu Lakukan Ini
Orang-orang melihat puing-puing dua kereta penumpang yang anjlok pada Jumat di distrik Balasore, di negara bagian timur Orissa, India, Minggu, 4 Juni 2023. (AP Photo/Rafiq Maqbool)

tirto.id - Kecelakaan kereta api di India pada Jumat malam (2/6/2023) menewaskan setidaknya 288 orang sementara 1.100 orang lainnya luka-luka. Indikasi awal mengenai penyebab dari kecelakaan maut itu disebabkan karena gangguan sinyal yang diterima oleh kereta api Coromandel Express yang mengangkut lebih dari 2.000 penumpang, berangkat dari Shalimar menuju Chennai.

Akibat kesalahan informasi yang diterima oleh kereta api penumpang Coromandel Express, kereta itu menabrak kereta api barang yang terparkir di distrik Balasore, negara bagian Odisha, yang terletak di sebelah timur India.

Direktur Eksekutif INSTRAN, Deddy Herlambang mengatakan, meski belum ada laporan resmi dari Kementerian Perkerkeretaapian India mengenai penyebab kecelakaan, namun kejadian tersebut dapat dijadikan pelajaran berharga bagi perkeretaapian di Indonesia.

"Jangan sampai kecelakaan seperti ini juga terjadi di sini," kata dia dalam pernyataannya, Selasa (6/6/2023).

Menurut Deddy, Kondisi dan teknologi perkeretaapian Indonesia dengan India juga tidak berbeda jauh sebagai heavy rail konvensional (bukan MRT dan LRT) yang masih menggunakan Grade of Automation level 0 (GoA 0) yang tanpa ATP (Automatic Train Protection).

"Kereta api di distrik India bagian Timur tersebut tidak memiliki Anti-collision system (sistem pencegahan kecelakaan), kenyataan ini sama seperti sistem operasi kereta api di Indonesia," ujarnya.

Atas kejadian tersebut, dia memberikan masukan dan evaluasi bagi pemerintah Indonesia. Pertama, kecelakaan kereta api seperti di India tersebut dapat terjadi di negara manapun bila standar GoA nya masih level 0 atau tanpa ATP.

Dalam hal ini KA lawan arah anjlok kereta terguling melintang di rel lalu di saat yang sama ditabrak KA dari arah berlawanan dari rel ganda.

"Di Indonesia kejadian ini juga bisa terjadi di rel ganda atau di dwi rel ganda seperti petak Jatinegara – Bekasi," katanya.

Kedua, mitigasi risiko kecelakaan ada dua jenis, yakni mitigasi aktif dan pasif. Mitigasi aktif berupa peralatan untuk mencegah tabrakan, misalnya ATP. Mitigasi pasif untuk meminimalisir kerugian, khususnya korban jiwa bila terjadi tabrakan, misalnya crashworthiness yang dipasang di sarana kereta api.

Di Indonesia, lanjut dia juga perlu untuk naik level keselamatan kereta api minimal menggunakan ATP. Sehingga bila terjadi gangguan persinyalan atau ada rintangan jalur kereta api akan berhenti sendiri secara otomatis atau manual.

"Naik kelas level keselamatan di perkeretaapian minimal dapat dilakukan prioritas di wilayah operasi yang padat lalu lintas kereta api nya seperti di wilayah Jabodebek karena terdapat perjalanan kereta api antar kota dan KRL," katanya.

Terakhir, perlunya Clearance Disorder Detector (CDD) yang berfungsi jika tertimpa kereta yang anjlok pada arah rel sebelahnya seperti kecelakaan kereta api di India. CDD ini juga telah terpasang di MRT Jakarta.

"Jadi bila CDD tersebut tersentuh kereta api yang anjlok, kereta api yang datang berlawanan arah akan berhenti otomatis atau manual oleh masinis," pungkas dia.

Antisipasi KAI

Merespon kecelakan tersebut, PT Kereta Api Indonesia (KAI) sendiri akan berupaya terus meningkatkan modernisasi sistem keselamatan operasional perjalanan kereta api melalui berbagai program. Pertama transformasi digital persinyalan dari sistem persinyalan mekanik ke sistem persinyalan elektrik.

Kemudian melakukan peningkatan kualitas dan keahlian SDM melalui pelatihan dan pndidikan, pembentukan Komite Keselamatn Pusat, melakukan audit dan perkuatan pengawasan terkait seluruh hal-hal yang menjadi potensi menggangu perjalanan KA, peningkatan teknologi di bidang sarana dan prasana KA, serta peningkatan budaya keselamatan di lingkungan KAI.

"Kami juga bekerjasama dengan DJKA kemenhub membangun Jalur ganda serta jalur double - double track," kata VP Public Relations KAI Joni Martinus, kepada Tirto.

Dia melanjutkan terkait permasalahan masih banyaknya perlintasan yang tidak berpalang pintu, bahwa sesuai dengan UU No:23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian, UU No: 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya, Peraturan Menteri Perhubungan RI No: 94 Tahun 2018 tentang Peningkatan Keselamatan Perlintasan Sebidang Antara Jalur KA Dengan Jalan, bahwa tugas serta kewajiban untuk melengkapi seluruh alat keselamatan bagi pengguna jalan raya termasuk diantaranya rambu-rambu lalu lintas adalah tugas dari pemilik jalan raya tersebut.

Secara rinci dalam PM 94/2018, Pasal 37 Peningkatan keselamatan Perlintasan Sebidang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 menjadi tanggung jawab:

a. Menteri yang bertanggung jawab di bidang jalan dan/atau Direktur Jenderal, untuk Jalan nasional;

b. gubernur, untuk Jalan provinsi;

c. bupati/wali kota, untuk Jalan kabupaten/kota dan Jalan desa; dan

d. badan hukum atau lembaga, untuk Jalan khusus yang digunakan oleh badan hukum atau lembaga.

"Jadi terkait permasalahan di perlintasan tersebut, dibutuhkan Kerjasama serta keperdulian dari seluruh stakeholders agar tidak terjadi lagi kecelakaan lalu lintas di perlintasan sebidang," jelas dia.

KAI sendiri menyadari bahwa kejadian kecelakaan kereta api di India tersebut, menjadi bahan mawas diri dan evaluasi bagi KAI untuk terus meningkatkan sistem keselamatan operasional perjalanan kereta apinya. Sehingga hal-hal yang berpotensi menyebabkan terjadinya potensi kecelakaan dapat dihindari serta diantisipasi sejak dini.

"Bisnis Transportasi hakekatnya adalah bisnis keselamatan & pelayanan maka KAI berkomitmen untuk prioritas menjalankan kereta api dengan nyaman, aman dan selamat," pungkas dia.

Baca juga artikel terkait KECELAKAAN KERETA API atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang