tirto.id - Badan Ekonomi Kreatif Indonesia (Bekraf) menilai jumlah valuator (penilai) hak kekayaan intelektual di dalam negeri masih terlalu minim sehingga perlu segera ditingkatkan.
Deputi Akses Pemodalan Bekraf, Fadjar Hutomo menyatakan keberadaan tenaga valuator dalam jumlah memadai penting agar perbankan bersedia mengakui hak kekayaan intelektual sebagai aset yang layak menjadi agunan.
"Kekayaan intelektual itu bisa dijadikan agunan. Namun, hal itu menjadi sulit saat tidak ada yang menjadi valuator untuk mengetahui berapa harga atau nilai kekayaan intelektual," kata Deputi Akses Pemodalan Bekraf, Fadjar Hutomo, pada Senin (3/12/2018).
Fadjar mengatakan Indonesia sebenarnya memiliki sejumlah orang yang berprofesi sebagai valuator. Namun, hingga kini keberadaan mereka masih terpusat di Jakarta dan jumlahnya pun minim.
Menurut dia, kehadiran valuator dalam jumlah besar akan berdampak signifikan pada pasar valuasi kekayaan intelektual. Sebab, hal itu akan mendorong kemudahan menakar nilai kekayaan intelektual.
Belum lagi, menurut survei Bank Dunia pada tahun 2015, aset fisik yang dimiliki oleh Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) hanya mencapai 22 persen dan sisanya berupa harta bergerak dan tagihan.
Oleh karena itu, dia menilai keberadaan valuasi kekayaan intelektual sebagai benda tidak berwujud menjadi penting bagi UMKM. "Apalagi ekonomi kreatif asetnya itu intangible (tidak berbentuk fisik)," ucap Fadjar.
Dia juga mencatat 73 persen bank saat ini hanya menerima agunan dalam bentuk aset fisik. Meskipun demikian, ia meyakini perbankan harus segera membuat penyesuaian untuk mengikuti perkembangan zaman.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Addi M Idhom