Menuju konten utama
Kekayaan Intelektual

Mau Bisnismu Makin Cuan? Yuk, Ajukan Indikasi Geografis!

Indikasi Geografis (IG) adalah satu dari tujuh jenis kekayaan intelektual. Produk bertanda IG berpotensi jadi makin eksklusif dan mahal di pasaran.

Mau Bisnismu Makin Cuan? Yuk, Ajukan Indikasi Geografis!
Header Diajeng UMKM Indikasi Geografis. tirto.id/Quita

tirto.id - Siapa di antara kamu yang pernah mencoba meminum champagne?

Minuman sparkling wine dengan rasa unik ini berasal dari buah anggur yang ditanam di Kota Champagne, Prancis. Pengolahan dan produksinya juga hanya dilakukan di sana.

Selain champagne, mungkin kamu pernah mendengar tentang whiskey yang berasal dari Irlandia.

Kedua minuman tersebut merupakan produk Indikasi Geografis (IG) dari luar negeri yang terkenal di penjuru dunia.

Di luar lingkaran pakar hukum, istilah Indikasi Geografis mungkin terdengar asing. Nah, kita kenalan dulu, ya!

Indikasi Geografis merupakan salah satu dari tujuh jenis kekayaan intelektual. Keenam lainnya adalah paten, merek, desain industri, hak cipta, indikasi geografis, rahasia dagang, dan desain tata letak sirkuit terpadu.

Pengakuan Indikasi Geografis dikeluarkan oleh Dirjen Kekayaan Intelektual KemenkumHam RI dan memiliki kekuatan hukum.

Menurut Undang-Undang No. 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, Indikasi Geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang dan/ atau produk yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut memberikan reputasi, kualitas, dan karakteristik tertentu pada barang dan/ atau produk yang dihasilkan.

Objek perlindungannya meliputi sumber daya alam, kerajinan tangan, dan hasil industri.

"Indikasi Geografis itu secara umum sama dengan perlindungan merek dan Undang-Undangnya juga masuk UU merek. Keduanya digunakan di dunia perdagangan sebagai tanda yang dibuat untuk membedakan barang yang sejenis. Perbedaannya, IG berkaitan dengan nama tempat atau lokasi," ungkap Ranggalawe Suryasaladin, SH., MH., LLM, dosen Fakultas Hukum UI dan Konsultan HaKI saat dihubungi pada Kamis, 9 Mei 2024.

Indikasi Geografis termasuk topik yang pernah diangkat oleh AKHKI (Asosiasi Konsultan Hak Kekayaan Intelektual) dalam webinar untuk Peringatan Hari Kekayaan Intelektual Dunia yang berlangsung 26 April 2024 silam.

Pada kesempatan tersebut, Irma Mariana, Ketua Tim Kerja Layanan Indikasi Geografis Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kemenkumham, menyampaikan besarnya potensi IG di Indonesia.

Saat ini sudah ada 144 produk bertanda IG yang terdaftar di Kemenkumham. Sebanyak 129 produk berasal dari dalam negeri dan 15 produk dari luar negeri.

"Jumlah ini jauh dari apa yang dimiliki oleh negara kita. Indonesia kaya akan flora dan fauna, Sumber Daya Alam yang melimpah, megabiodiversity terbesar kedua di dunia, setelah Brasil. Masih banyak yang perlu digali dan dilindungi sebagai IG," ungkap Irma.

"Ketika produk itu mempunyai reputasi dan kualitas, konsumen memiliki persepsi yang langsung terkoneksi dengan suatu wilayah," tambah Irma.

Reputasi produk IG dibangun dalam waktu cukup lama, namun sepadan dengan perlindungan hukumnya. Apabila jangka waktu hak paten sekitar 20 tahun dan perlindungan merek 10 tahun, perlindungan IG mempunyai waktu tidak terbatas.

Salah satu produk IG asal Indonesia yang cukup populer adalah Tenun Gringsing dari Desa Tenganan, Bali. Aktivitas produksi kain ini sudah berlangsung ratusan tahun.

Proses pembuatan tenun Grinsing tergolong rumit karena menggunakan teknik ikat ganda dengan waktu pengerjaan sampai lima tahun. Kain ini digunakan turun-temurun dalam berbagai adat Bali, termasuk upacara potong gigi dan pernikahan.

"Permasalahannya, kain tenun Grinsing ini sulit diproduksi jumlah banyak. Meski banyak peminat dari luar negeri, pengrajin tidak memaksakan diri untuk memenuhi kebutuhan permintaan. Produk IG ini premium, limited, dan segmented, tidak bisa diproduksi secara massal," jelas Irma.

Header Diajeng UMKM Indikasi Geografis

Indonesia memproduksi banyak jenis biji kopi berkualitas terbaik, tak sedikit yang sudah terdaftar sebagai produk bertanda Indikasi Geografis, di antaranya Kopi Arabika Gayo, Kopi Robusta Temanggung, dan Kopi Liberika Rangsang Meranti.. Foto/istockphoto

Produk IG populer lainnya seperti Kopi Arabika Toraja dari Sulawesi Selatan. Selain itu, dari sektor peternakan ada Susu Kuda Sumbawa dan dari perikanan ada Bandeng Asap Sidoarjo.

"Produk ini merupakan kombinasi faktor alam dan manusia. Citarasa bandeng yang ditimbulkan unik karena Ph tanah dan air dari alam yang membentuk ikan legit dan dilakukan teknik pengasapan membuat citarasanya berbeda dari bandeng asap lain," ungkap Irma.

Produk bertanda IG yang sudah dijual di kancah internasional adalah Mete Muna dari Sulawesi Tenggara. Produknya meliputi mete gelondongan, kacang mete, kacang mete olahan, dan berbagai turunannya.

"[IG] tidak hanya melindungi sumber utamanya saja, mete, tetapi juga produk turunan seperti selai kacang mete," ungkap Irma.

Dari segi kualitas, Mete Muna mempunyai kadar air empat sampai enam persen, yang karakteristiknya terlihat dari kadar gula dan lemak. Seluruh temuan ini diperoleh setelah Mete Muna melewati serangkaian proses uji labroratorium.

"Uji laboratorium inilah yang menentukan karakteristik sebuah produk IG. Sebuah produk tidak bisa dilihat secara kasat mata saja, kecuali produk kerajinan," jelas Irma.

Sebagai pelaku usaha, apa yang dapat kamu lakukan agar produkmu mendapatkan tanda IG?

"Individu pelaku UMKM tidak bisa mendaftarkan IG karena harus secara kolektif. Mereka harus membentuk suatu komunitas atau paguyuban. Penggunaan IG ini digunakan sama-sama oleh produsen-produsen tempat IG itu terdaftar," jelas Rangga.

Rangga melanjutkan, "Kepemilikan IG ini secara kolektif berbeda dengan merek yang dimiliki individu. IG menambah fungsi merek. Jika merek menunjukkan identitas produsen, IG menunjukkan identitas produk dari daerah tertentu.”

Selain itu, anggota kelompok yang mendapatkan izin tanda IG bisa mencamtukan logo IG pada kemasan produknya.

Terkait hal ini, Irma menjelaskan, "Para pemilik IG terdaftar punya hak untuk melarang pihak lain menggunakan nama dan logo produk yang mereka miliki melalui jalur hukum."

Ya, keuntungan menjual produk IG tak lain adalah market exclusivity.

"Misalnya, Kopi Gayo populer. Karena tidak ada perlindungan IG, ada kopi lain mendompleng ketenaran Kopi Gayo dengan menggunakan nama Kopi Gayo. Dengan adanya IG, kompetitor daerah lain tidak bisa mengaku-ngaku kopinya dari Gayo. Maka, pangsa pasar Kopi Gayo jadi lebih besar karena tidak ada saingan yang menggunakan Kopi Gayo," jelas Rangga.

Karena produknya premium dan terbatas, maka akan timbul kenaikan harga produk. Irma menerangkan, "Seperti contohnya, Produk Lada Putih Muntok yang sebelum terdaftar sebagai Indikasi Geografis berada di kisaran Rp60 ribu kini bisa mencapai Rp120 ribu per kilogram."

Meski bermanfaat bagi kemajuan bisnis, sayangnya IG belum terlalu akrab di telinga sejumlah pelaku usaha skala mikro, kecil, dan menengah.

Header Diajeng UMKM Indikasi Geografis

Kacang Mete Muna asal Pulau Muna di Sulawesi Tenggara juga terdaftar sebagai produk bertanda Indikasi Geografis. Foto/istockphoto

Pemilik usaha roti goreng khas Riau atau luti gendang, Pramegareksa (28), belum mengetahui sudah sejauh mana komunitas produsen luti gendang di Riau mengupayakan tanda Indikasi Geografis.

"Saat ini, saya lebih fokus untuk pendaftaran BPOM dan sertifikasi halal. Karena pendaftaran seperti ini berbiaya dan memakan waktu—bertahap dulu setelah selesai dapat izin BPOM," jelas pemilik usaha Roti Gendang Shavira ini.

Mirip dengan Pramegareksa, pengusaha kopi robusta asal Temanggung, Fendi, belum familiar dengan istilah Indikasi Geografis.

Padahal, sekitar satu dekade silam, di Temanggung sudah berdiri asosiasi Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis Kopi Robusta Temanggung (MPIG-KRT). Persisnya pada 2018, Kopi Robusta Temanggung resmi terdaftar sebagai produk IG.

"Kurang tahu apa itu IG—yang saya rasakan, penjualan kopi Robusta Temanggung selama lima tahun terakhir ini sangat pesat. Pembeli saya kebanyakan coffee roastery dari Sabang sampai Merauke," terang Fendi.

Menurutnya, citarasa khas seperti rasa cokelat dan tebal (bold) menjadi keunggulan kopi Robusta Temanggung dibandingkan robusta dari daerah lain. Apabila pada tahun 2018 sekilo biji kopi berharga Rp30 ribu, sekarang harganya melejit jadi dua kali lipat.

Walaupun produknya sudah laku banyak, Fendi belum berencana mengajukan mereknya ke Dirjen HKI, "Masih fokus ke Perizinan Industri Rumah Tangga dan sertifikat Halal dahulu."

Dari sekian jenis perizinan yang perlu diurus oleh pelaku bisnis, Indikasi Geografis termasuk yang potensial untuk meningkatkan keuntungan usaha, dan tentunya membantu memperbaiki taraf hidup banyak kelompok masyarakat yang memproduksi komoditas khas daerah.

"Untuk itulah, pelaku usaha yang memiliki produk khas suatu daerah, sebaiknya tergabung dalam suatu paguyuban agar mendaftarkan produknya sebagai IG, agar dapat meningkatkan nilai jual produk mereka," pungkas Rangga.

Baca juga artikel terkait DIAJENG atau tulisan lainnya dari Daria Rani Gumulya

tirto.id - Hukum
Kontributor: Daria Rani Gumulya
Penulis: Daria Rani Gumulya
Editor: Sekar Kinasih