tirto.id - Rabu (8/9) dini hari lalu, kebakaran terjadi di Lembaga Permasyarakatan (Lapas) Kelas 1 Tangerang. Api diduga bermula dari hubungan arus pendek listrik dan menghanguskan salah satu blok, yakni Blok Chandiri 2 yang menampung 122 warga binaan. Kebakaran yang terjadi sekitar pukul 01.45 WIB dan berlangsung sekitar 2 jam itu menewaskan 41 warga binaan, delapan luka berat, dan 72 menderita luka ringan.
Besarnya jumlah korban jiwa--di luar instalasi kelistrikan serta infrastruktur yang buruk--terjadi karena Lapas Kelas 1 Tangerang, juga hampir semua Lapas di Indonesia, kelebihan menampung warga binaan. Menurut keterangan tertulis Kepala Bagian Hubungan Masyarakat dan Protokol Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, seharusnya Lapas Kelas 1 Tangerang hanya menampung 600 warga binaan. Namun, tatkala kebakaran terjadi, lapas tersebut menampung 2.072 orang atau kelebihan kapasitas hingga 250 persen. Di sisi lain, menggelembungnya penghuni lapas tidak diimbangi dengan jumlah petugas keamanan yang memadai. Lapas hanya memiliki 182 petugas dengan pengamanan 13 orang per regu.
Melalui tragedi lapas ini, pemerintah hanya memiliki satu pilihan: perubahan. Seperti yang dilakukan Amerika Serikat ketika Lapas Ohio mengalami musibah serupa pada tahun 1930.
Kebobrokan Lapas Ohio
"Lembaga Pemasyarakat Columbus, Ohio (Ohio State Penitentiary), Amerika Serikat yang menampung 4.300 narapidana berubah menjadi tungku yang membakar hidup-hidup manusia," catat The New York Times edisi 22 April 1930.
Percikan api yang bermula dari cacahan kayu di bagian G dan H yang tengah diperbaiki, membuat lapas berubah menjadi lautan api, meluluhlantakkan seluruh sisi Barat Daya lapas, menewaskan lebih dari 300 warga binaan, dan melukai ratusan narapidana lainnya.
Besarnya korban jiwa dalam kebakaran Lapas Columbus disebabkan kelalaian petugas. Sebelum percikan api timbul, seperti biasa para narapidana telah dikunci di kamarnya masing-masing sejak pukul 17.50. Ketika percikan api berubah menjadi monster merah yang menghancurkan pada pukul 18.00, petugas tidak mau segera mengeluarkan para narapidana. Petugas berkilah, mereka tidak memiliki wewenang mengeluarkan narapidana di luar jam yang telah ditentukan, serta ketakutan bahwa warga binaan akan memanfaatkan peristiwa kebakaran untuk melarikan diri.
Demi menyelamatkan diri, banyak narapidana yang akhirnya memilih memberontak, menjebol kamar, menyerang petugas untuk merebut kunci guna membuka kamar-kamar rekan-rekan mereka. Nahas, jauh lebih banyak narapidana yang tak berhasil keluar dari kamar hingga terbakar hidup-hidup "dalam teriakan minta tolong yang tak berhasil menggugah perasaan para petugas," tulis The Times.
Berdasarkan studi yang dilakukan Jessie Britton dalam "The Failure of Prison Reform: A History of the Ohio Penitentiary (Tesis, Miami University 2008), keengganan petugas lapas menolong narapidana karena semenjak AS memperkenalkan penjara di negerinya pada awal abad ke-19, Paman Sam menganggap lapas sebagai pencerahan. Tempat orang-orang yang terbukti melanggar hukum, alih-alih dibiarkan untuk dihakimi massa, dirangkul untuk diperbaiki alias menjadi tempat perbaikan moral bagi para narapidana. Ironisnya, dalam usaha-usaha memperbaiki moral orang-orang yang terbukti melanggar hukum, Paman Sam memilih cara-cara tidak bermoral.
Sejak pertengahan abad ke-19, teknik utama untuk memperbaiki moral terpidana adalah dengan melakukan dehumanisasi. Menganggap terpidana bukan manusia, menjadi pembenar petugas-petugas lapas untuk melakukan aksi penyiksaan. Menuntun para binaan lapas untuk menyesali perbuatan melanggar hukum dengan cara kekerasan. Akibatnya, tatkala Lapas Columbus kebakaran, para petugas memilih membiarkan mereka.
Pembiaran ini diperparah dengan kenyataan bahwa lapas tersebut banyak mengandung bahan bangunan yang mudah terbakar seperti kayu. Lalu, untuk memberikan penerangan di malam hari, banyak bagian lapas masih memanfaatkan lilin, bukan lampu listrik. Selain itu, meskipun alat pemadam api bertebaran di sekitar Ohio dan penjara sesungguhnya memiliki tangki berkapasitas 125.000 galon air, namun tak ada jaringan yang masuk ke lapas tersebut. Akibatnya, api sukar dipadamkan oleh petugas kebakaran yang datang terlambat.
Tak ketinggalan, serupa dengan kondisi lapas di Indonesia, lapas di Ohio juga kelebihan penghuni. Dibangun untuk 1.500 orang, tetapi diisi 4.300 narapidana.
Merespons tragedi tersebut, sebagaimana dipaparkan Mitchel P. Roth dalam Fire in the Big House: America’s Deadliest Prison Disaster (2019), perubahan segera dilakukan AS terhadap penjara-penjara miliknya. Mereka menaikkan derajat kejahatan yang dapat dipenjara. Hal ini dilakukan karena sebelumnya kepadatan penjara disebabkan oleh mereka yang melakukan kejatahan ringan, sesuai ketentuan undang-undang.
Mereka mengganti sanksi kurungan pada kejahatan kecil dengan denda atau masa tanahan yang lebih singkat. Dalam kasus kebakaran Lapas Ohio, AS melakukan perubahan besar-besar soal bagaimana mereka membangun penjara. Penjara wajib dibangun dengan material tahan api, serta mewajibkan seluruh penjara menyediakan alat pemadam api yang memadai. Selain itu, petugas lapas juga diberi wewenang diskresi, harus mengutamakan keselamatan narapidana alih-alih hukuman.
Melihat apa yang dilakukan AS usai Lapas Ohio kebakaran, Indonesia harusnya segera melakukan perubahan pada penjara-penjaranya.
Editor: Irfan Teguh