Menuju konten utama

Bayang-bayang Cukai di Saham Perusahaan Rokok 

Ruang tumbuh pergerakan saham perusahaan rokok diprediksi tidak akan secepat tahun-tahun sebelumnya.

Bayang-bayang Cukai di Saham Perusahaan Rokok 
Sejumlah pekerja menyelesaikan proses pelintingan rokok di pabrik rokok PT. Djarum, Kudus, Jawa Tengah, senin (26/10). Antara foto/Yusuf Nugroho.

tirto.id - Keputusan pemerintah kembali menaikkan cukai hasil tembakau atau rokok rata-rata hingga 10,04 persen mulai 2018 ditanggapi santai pedagang. Parman, pemilik toko kelontong di Jakarta Selatan, mengaku penjualan rokok di tokonya tetap laris meski kenaikan cukai setiap tahun terjadi dan isu kenaikan harga yang sering berhembus.

“Saya sudah jualan sejak 2011, setiap hari ada aja yang beli rokok. Enggak ada matinya,” katanya kepada Tirto, Senin (23/10).

Permintaan terhadap rokok tak terpisahkan sebagai barang konsumsi yang sudah jadi "kebutuhan" bagi sebagian orang. Pada 2015, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tembakau dan sirih menjadi pengeluaran per kapita tertinggi ke-3, setelah makanan dan minuman jadi, dan beras. Sehingga wajar saja, dengan penduduk terbesar, penjualan rokok di Indonesia tercatat paling besar di kawasan ASEAN, yakni mencapai sekitar 248 miliar batang per tahun. Indonesia juga menjadi negara ASEAN dengan ekspor rokok terbanyak yakni mencapai 31,5 miliar batang.

Baca juga:

Produksi dan konsumsi rokok memang sebuah dilema, karena menyangkut isu kesehatan dan kantong negara, sehingga rokok salah satu industri yang disiapkan roadmap sudah sejak lama dalam rangka pengendalian. Kebijakan kenaikkan tarif cukai rokok salah satu upaya membatasi konsumsi rokok.

Secara reguler, pemerintah menaikkan tarif cukai rokok hampir setiap tahun. Misalnya, tarif sigaret kretek mesin (SKM) golongan 1 pada 2013 ditetapkan sebesar Rp375 per batang/gram. Pada 2017, tarif SKM golongan 1 sudah mencapai Rp530 per batang/gram atau sudah naik 41 persen dalam empat tahun atau sekitar 10 persen per tahun. Cukai untuk sigaret kretek tangan (SKT) golongan I juga sudah naik 25 persen.

Mulai Januari 2018, rata-rata tarif cukai rokok juga naik sebesar 10,06 persen. Usai pengumuman kenaikan cukai rokok 2018, akhir pekan lalu, saham-saham perusahaan rokok kena imbasnya. Cukai menjadi instrumen yang sensitif bagi pasar dan investor saham perusahaan rokok, karena berisiko pada kenaikan harga produk, yang ujung-ujungnya pada penjualan.

Baca juga: Cukai Rokok Naik Jadi 10,04% Mulai 1 Januari 2018

Infografik harga rokok naik lagi

Saham Perusahaan Rokok

Emiten-emiten rokok di Bursa Efek Indonesia seperti PT Gudang Garam Tbk. (GGRM), PT Hanjaya Mandala Sampoerna

Tbk. (HMSP), PT Bentoel Internasional Investama Tbk. (RMBA) dan PT Wismilak Inti Makmur Tbk. Keempat perusahaan ini bisa menjadi indikator bisnis rokok yang rentan dengan regulasi, termasuk soal tarif cukai.

Di atas keras, kenaikan tarif cukai mendorong harga rokok di tangan konsumen menanjak. Dengan kata lain, harga yang meningkat biasanya menyebabkan permintaan turun, tapi untuk rokok justru berbeda.

Permintaan komoditas rokok di Indonesia adalah bersifat inelastis. “Kalau hanya sebatas kenaikan cukai 10 persen, emiten rokok besar yang punya brand cukup strong tidak akan terlalu terpengaruh. Konsumsi rokok masih akan tetap tinggi,” kata Alfred Nainggolan, Kepala Riset Koneksi Kapital.

Dengan kondisi tersebut, tidak heran apabila kenaikan tarif cukai rokok setiap tahunnya tidak begitu memengaruhi pergerakan saham emiten rokok, terutama emiten dengan brand terkenal seperti Gudang Garam dan Sampoerna.

Saat kenaikan tarif cukai rokok diumumkan pada 19 Oktober 2017, saham GGRM memang ditutup melemah 0,99 persen menjadi Rp62.500 per saham. Namun itu tidak berlangsung lama, saham GGRM kembali menguat pada 23 Oktober 2017 menjadi Rp62.775 per saham.

Penurunan saham Gudang Garam akibat kabar kenaikan tarif cukai hanya bersifat sementara saja. Jika ditarik lima tahun yang lalu, saham GGRM sudah tumbuh hingga 28 persen dari posisi saham per 30 Oktober 2013 senilai Rp49.150 per lembar saham.

Pola pergerakan saham yang sama juga terlihat pada saham Sampoerna. Pada 19 Oktober 2017, saham HMSP ditutup melemah Rp3.870 per saham. Namun, pada 23 Oktober 2017, saham HMSP ditutup naik tipis menjadi Rp3.930 per saham. Bila ditarik lima tahun ke belakang, saham Sampoerna telah mencatatkan pertumbuhan hingga 83 persen sampai dengan saat ini.

Baca juga: Prestasi Rokok Indonesia di ASEAN

Berbeda dengan Gudang Garam dan Sampoerna, kenaikan tarif cukai justru akan memberatkan kedua emiten tersebut. Pasalnya, harga rokok menjadi hal yang sangat krusial untuk dapat menjaga pangsa pasar mereka.

“Persaingan mereka menjadi semakin besar. Bagi mereka, harga menjadi faktor yang sangat signifikan untuk mencoba mengambil ‘kue’ di pasar Indonesia. Nah kalau ini dinaikkan, tentunya bagi mereka akan semakin berat,” tutur Alfred.

Hal itu juga tergambar dari pergerakan saham Bentoel dan Wismilak. Dalam lima tahun terakhir, masing-masing terus melorot. Nilai saham Bentoel pada 23 Oktober 2017 tercatat Rp388 per saham, turun 35 persen dari harga per 25 Oktober 2013 sebesar Rp600 per saham. Sementara itu, pergerakan saham Wismilak lebih melorot ketimbang Bentoel. Tercatat, nilai saham Wismilak sebesar Rp288 per saham per 23 Oktober 2017, atau turun 63 persen dari nilai saham pada 20 Desember 2013 sebesar Rp780 per saham.

Apakah kinerja saham sejalan dengan volume penjualan rokok?

Dari sisi volume penjualan rokok, hampir seluruh emiten rokok mengalami kinerja menurun beberapa tahun terakhir. Sampoerna misalnya, pada 2016 menjual sebanyak 105,5 miliar batang, turun 5 persen dari penjualan 2013 sebanyak 111,3 miliar. Wismilak juga mengalami hal yang sama, hanya menjual sebanyak 1,79 miliar batang pada 2016, atau turun 30 persen dari 2,54 miliar batang pada 2013. Hanya penjualan Gudang Garam stagnan, dari 72,47 miliar menjadi 72,98 miliar batang pada rentang yang sama.

Kenaikan tarif cukai rokok setiap tahun memang cukup berdampak terhadap volume penjualan perusahaan rokok, tapi tak otomatis langsung berdampak pada kinerja harga saham masing-masing perusahaan rokok. Namun, kenaikan tarif cukai dan beberapa tekanan terhadap industri saat ini berpeluang mempengaruhi pergerakan saham mereka.

Misalnya seperti larangan iklan rokok, kampanye hidup sehat, dan pembatasan lainnya. Akumulasi dari sentimen negatif ini tentunya akan memengaruhi keputusan investor di masa mendatang yang secara langsung berdampak pada kinerja saham secara fundamental.

“Secara fundamental, rapor keuangan Gudang Garam dan Sampoerna mungkin masih growth, tapi saham bisa berbeda. Melihat sentimen yang ada saat ini, ruang tumbuh pergerakan saham mungkin tidak akan secepat dulu lagi,” ujar Alfred.

Baca juga: Alasan Mereka yang Menghendaki Harga Rokok Naik

Baca juga artikel terkait ROKOK atau tulisan lainnya dari Ringkang Gumiwang

tirto.id - Bisnis
Reporter: Ringkang Gumiwang
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra