tirto.id - Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyoroti persoalan regulasi pemilu di Indonesia yang terus mengalami perubahan setiap kali penyelenggaraan pemilu. Perubahan ini dinilai mengganggu kepastian hukum dan kemapanan dalam sistem pemilu.
Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Politik dan Komunikasi Kementerian PPN/Bappenas, Nuzula Anggraini, dalam acara Seminar Nasional dengan tema “Mewujudkan Sistem Pemilu yang Inovatif, Berintegritas, Aspiratif, dan Efisien untuk Mencapai Demokrasi Substansial” yang diselenggarakan di Gedung Bappenas, Menteng, Jakarta Pusat pada Rabu (20/11/2024).
Nuzula menjelaskan, sepanjang periode 1999-2024 atau selama era reformasi, Indonesia telah menyelenggarakan enam kali pemilu legislatif, lima kali pemilu presiden, serta lima pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Sehingga dalam periode itu, tercatat ada lima undang-undang pemilu yang digunakan sebagai dasar hukum pemilihan.
“Artinya, selama era reformasi, setiap berganti pemilu maka berganti pula undang-undang pemilunya,” kata dia.
Pemilu 2024 memang menggunakan UU Pemilu yang sama dengan Pemilu 2019, yaitu UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Namun, menurut Nuzula, hal ini tetap belum memberikan kepastian regulasi. Sebab, undang-undang tersebut belum memiliki keberlakuan ajeg seperti pada masa Orde Baru.
Untuk diketahui, pelaksanaan pemilu pada masa Orde Baru berlangsung dari tahun 1971 hingga 1997. Selama periode ini, pemilu di Indonesia dilaksanakan hanya berdasar pada aturan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1975, tentang Pemilihan Umum dan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1982 tentang Pemilihan Umum Legislatif.
“Belum ada undang-undang pemilu seperti pada masa Orde Baru yang punya keberlakuan ajeg sampai puluhan tahun,” ujar Nuzula.
Selain itu, kata Nuzula, pengujian UU Pemilu dan UU Pilkada untuk memastikan pengaturan yang berkepastian hukum, adil, dan demokratis telah pula melahirkan sejumlah Putusan Mahkamah Konstitusi. Putusan tersebut diantaranya adalah Putusan No. 55/PUU-XVII/2019 dan No. 85/PUU-XX/2022.
“Dua Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tidak lagi mendikotomi pemilu dan pilkada dalam konstruksi rezim yang berbeda. Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa pilkada adalah bagian dari rezim pemilu,” kata dia.
Tak berbeda dengan pihaknya, Nuzula mengatakan, MK juga meminta pembentuk undang-undang tidak sering mengubah UU Pemilu, terkhusus pemilu yang diselenggarakan serentak.
“Khususnya menyangkut eksistensi pilkada sebagai bagian dari rezim pemilu disebutkan secara gamblang oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 85/PUU-XX/2022,” pungkasnya.
Penulis: Rahma Dwi Safitri
Editor: Bayu Septianto