Menuju konten utama

Bank Indonesia Diprediksi Tahan Suku Bunga Acuan di Level 6,25%

BI perlu waspada dalam merumuskan bauran kebijakan untuk menjaga nilai tukar rupiah dan tingkat harga pangan domestik.

Bank Indonesia Diprediksi Tahan Suku Bunga Acuan di Level 6,25%
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo (kedua kiri) didampingi Deputi Gubernur Senior Destry Damayanti (kedua kanan) beserta dua Deputi Gubernur Doni Primanto Joewono (kiri) dan Juda Agung (kanan) memberikan keterangan terkait hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI di Jakarta, Kamis (20/6/2024). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/rwa.

tirto.id - Ekonom makroekonomi dan pasar keuangan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI), Teuku Riefky, memperkirakan Bank Indonesia (BI) akan tetap mempertahankan suku bunga acuan di angka 6,25 persen, dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI Juli 2024. Sebab, menurutnya BI perlu waspada dalam merumuskan bauran kebijakan untuk menjaga nilai tukar rupiah dan tingkat harga pangan domestik.

"Indonesia memasuki paruh kedua 2024 dengan kondisi inflasi dan eksternal yang relatif lebih baik. Namun, beberapa kejadian sebelumnya menunjukkan bahwa kondisi finansial global sangat bergantung pada persepsi investor terhadap arah kebijakan the Fed kedepannya dan persepsi ini sangat berfluktuasi," katanya, dalam Laporan Seri Analisis Makroekonomi Rapat Dewan Gubernur BI Juli 2024, dikutip Rabu (17/7/2024).

Riefky bilang, saat ini inflasi memang bukan lagi momok menyeramkan bagi Indonesia, karena menunjukkan tren pelambatan. Dengan tingkat inflasi umum pada Juni 2024 tercatat sebesar 2,51 persen (year on year/yoy), turun dibanding bulan sebelumnya yang 2,84 persen (yoy).

"Penurunan inflasi umum terutama disebabkan oleh penurunan harga pangan setelah musim panen dan periode permintaan yang rendah setelah perayaan Idulfitri di bulan April," ujar dia.

Namun, pada saat yang sama surplus neraca perdagangan terus menunjukkan penyempitan. Pada Juni 2024, surplus neraca perdagangan tercatat sebesar 2,39 miliar dolar Amerika Serikat (AS), anjlok 18,30 persen dari Mei yang senilai 2,93 miliar dolar AS.

Penurunan surplus neraca perdagangan ini didorong oleh melemahnya kinerja ekspor dan impor nasional. Ekspor bernilai 20,84 miliar dolar AS pada Juni 2024, turun 6,65 persen dibandingkan dengan bulan sebelumnya, sedangkan impor mengalami penurunan 4,89 persen dari 19,40 miliar dolar AS pada Mei 2024 menjadi 18,45 miliar dolar AS pada Juni 2024.

"Seiring dengan kondisi the Fed saat ini yang cenderung menunjukkan sinyal dovish pasca rilis data inflasi di 11 Juli lalu, arus modal mulai beralih ke pasar berkembang sejak saat ini," lanjut Riefky.

Di pasar keuangan Indonesia, total arus modal portofolio meningkat hingga 1,06 miliar dolar AS dalam tiga minggu terakhir dan mencatatkan akumulai arus modal tertingginya sejak pertengahan April. Dari total tersebut, 0,74 miliar dolar AS di antaranya masuk ke pasar saham dan 0,32 miliar dolar AS sisanya masuk ke instrumen obligasi.

"Arus modal masuk cenderung membawa dampak baik ke Indonesia dengan turunnya tekanan pada Rupiah. Dengan USD Dollar Index (DXY) yang turun ke titik terendahnya dalam selama tiga minggu terakhir, Rupiah mengalami apresiasi yang cukup signifikan," jelasnya.

Sepakat dengan Riefky, Ekonom Senior, Chatib Basri, juga meramal bank sentral akan kembali menahan tingkat suku bunga acuan. Sebab, BI masih harus menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, meski kondisi mata uang Garuda saat ini sudah mulai membaik dan inflasi terjaga rendah.

Belum lagi, jika BI tidak berhati-hati dan memilih untuk menaikkan suku bunga sebelum Bank Sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve (The Fed) menurunkan suku bunganya (Fed Fund Rate/FFR), tingkat diferensiasi mata uang antara kedua negara akan semakin lebar. Dus, rupiah akan kembali di bawah tekanan dolar.

"Karena itu saya melihat bahwa Bank Indonesia masih akan hold interest rate-nya pada level ini," ujar dia, dalam Mandiri Market Outlook 2024, di Jakarta, Selasa (16/7/2024).

Selain itu, likuiditas ketat di industri perbankan juga diperkirakan masih akan terjadi hingga paruh kedua 2024. Sementara dari sisi eksternal, Chatib meramal The Fed baru akan menurunkan FFR pada Desember 2024, meski pasar menilai Bank Sentral AS tersebut akan menurunkan suku bunga pada September.

Baca juga artikel terkait SUKU BUNGA ACUAN atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Anggun P Situmorang