tirto.id - Warga RW 07 Kelurahan Rawajati, Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan yang menjadi korban banjir menyatakan mereka lebih membutuhkan salep gatal dan balsam ketimbang obat dokter.
“Lebih berguna untuk warga itu salep gatal, remason, minyak angin dan tolak angin daripada obat dokter,” ujar Ahmad Fauzi, warga Jalan Bina Warga, Rawajati, ketika ditemui di lokasi, Minggu (28/4/2019).
Fauzi menyebut badannya pegal lantaran membersihkan bekas banjir di kediamannya yang terletak di RT 004 itu. Kesulitan lain yang dihadapi warga, kata dia, ialah bantuan logistik yang tidak merata.
Pada banjir hari pertama, Jumat (26/4/2019), warga baru mendapatkan makanan berupa nasi bungkus pada pukul 17.00 dan 22.00. “Ketika warga sudah lelah dan mengantuk, malam itu makanan datang,” tutur dia.
Sehari setelahnya, warga baru mendapatkan nasi bungkus pada siang dan malam hari. Maka, kata Fauzi, pihak RW membuat dapur umum swadaya untuk para pengungsi.
Begitu pula dengan Sutrisno, warga setempat, ihwal obat-obatan, ia menyatakan bagi yang sehat tidak perlu mengonsumsi obat dan lebih mudah ke puskesmas ketimbang menunggu bantuan obat-obatan dari pemerintah maupun relawan.
“Warga yang sakit tinggal berobat ke puskesmas saja sudah mudah, badan saya pegal dan gatal. Minyak angin lebih saya inginkan buat pijat,” ucap dia.
Sutrisno menyatakan di bagian tubuhnya gatal usai membersihkan air banjir yang menggenangi rumahnya. Di daerah Rawajati, lanjut dia, banjir setinggi 3 meter atau bisa mencapai lantai 2 rumah warga.
Meski langganan menjadi daerah banjir saat musim hujan, Sutrisno dan Fauzi menyatakan terkejut dengan ketinggian air yang lebih dari tahun sebelumnya.
“Ini banjir tertinggi di tahun ini, padahal tidak hujan. Tahun sebelumnya paling tinggi sebetis atau pinggang orang dewasa,” jelas Fauzi.
Berdasarkan pantauan Tirto di lapangan, banjir mulai surut di daerah RW 07 Kelurahan Rawajati. Beberapa warga membersihkan gang, bagian dalam dan luar serta jalanan. Di RW ini ada 1.325 warga yang menetap dan pihak RW membuka dapur umum bagi para pengungsi.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Dipna Videlia Putsanra