tirto.id - Dalam pidato kenegaraan 16 Agustus 2019 silam, Presiden Jokowi sempat menyinggung soal pentingnya perlindungan data. Mantan gubernur DKI Jakarta itu bahkan menilai, data adalah jenis kekayaan baru bangsa dan lebih berharga dari minyak.
“Karena itu, kedaulatan data harus diwujudkan. Hak warga negara atas data pribadi harus dilindungi. Regulasinya harus segera disiapkan dan tak boleh ada kompromi. Kita harus siaga menghadapi kejahatan penyalahgunaan data,” kata Jokowi.
Namun, apa yang didengung-dengungkan Jokowi itu tak sejalan dengan kenyataan. Sebab penyelenggara sistem elektronik kini sudah tidak wajib lagi membangun pusat data (data center) di dalam negeri.
Pusat data didefinisikan sebagai fasilitas untuk menempatkan sistem komputer, cadangan informasi, server website atau database, dan lainnya. Sederhananya, pusat data ini adalah tempat menyimpan data dalam kapasitas yang besar.
Regulasi yang menghilangkan kewajiban penyelenggara sistem elektronik membangun pusat data tersebut tertuang di Peraturan Pemerintah Nomor 71/2019 tentang penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik.
Kehadiran PP baru tersebut merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 82/2012 yang ditandatangani Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Adapun, kewajiban membangun pusat data kala itu diberikan tenggat waktu hingga 2017. Tujuannya, memberikan kemudahan para penegak hukum, sehingga jika ada pihak yang ingin menyalahgunakan data mesti pikir dua kali.
Apabila data tersebut berada di luar negeri, para penegak hukum dirasa akan lebih sulit dalam mendapatkan data. Belum lagi, jika suatu saat ada masalah dengan negara yang bersangkutan, Indonesia bisa kehilangan data pentingnya.
Dianggap Mengancam Perekonomian Indonesia
Keputusan Presiden dipertanyakan pelbagai kalangan. Ketua Communication and Information System Security Pratama Persadha menilai, langkah yang diambil presiden merupakan kemunduran dalam mengelola data secara mandiri.
“Kalau menurut saya [revisi] itu aneh. Kita sudah mulai mengusahakan membuat data center di Indonesia. Tapu kita malah membuat kebijakan memperbolehkan data center di luar negeri,” katanya kepada reporter Tirto, Kamis (31/10/2019).
Menurut Pratama, penyimpanan data di luar negeri berpotensi memberikan gangguan serius terhadap Indonesia. Sebab data dari Indonesia yang terekam berpotensi disalahgunakan negara lain.
“Ekonomi kita bisa diintervensi oleh asing. Mereka bisa tahu kebijakan kita. Pemerintah mau ngapain tahu. Kita mau beli apa juga asing bisa tahu. Ini bikin Indonesia lebih tergantung sama asing,” jelas Pratama.
Ketua Asosiasi Cloud dan Hosting Indonesia (ACHI) Rendy Maulana Akbar menilai, banyak kerugian yang ditimbulkan jika pusat data dibangun di negara lain.
Misalnya, proses penegakan hukum terutama terkait dengan pengungkapan data akan lebih sulit jika pusat data yang dicari berada di luar negeri. Kemudian menciptakan ketidakpastian investasi di sektor bisnis pusat data.
“Mereka yang sudah terlanjur membangun data center di Indonesia bisa merugi lantaran tak ada yang menyimpan data di fasilitas yang mereka bangun,” tutur Rendy ketika dihubungi reporter Tirto.
Ujung-ujungnya, kata Rendy, investor kapok untuk menanamkan modal di Indonesia karena regulasi yang inkonsisten. Imbasnya, Indonesia bakal jadi pelanggan setia pusat data di luar negeri dan terus bergantung dengan dominasi asing.
"Peluang bagi bisnis data center di Indonesia akan melambat. Karena secara biaya dan skala ekonomi, di luar negeri lebih murah biayanya. Di masa mendatang, Indonesia akan tetap jadi konsumen data di luar negeri," kata Rendy.
Saat kewajiban membangun pusat data masih berlaku, prospek bisnis pusat data di Indonesia terbilang menarik. Studi Data Center Dynamics Intelligence (DCDI) memproyeksikan nilai investasi bisnis data center di Indonesia mencapai 850 juta dolar AS pada 2020. Proyeksi itu naik 70 persen dari proyeksi 2016 sebesar 480 juta dolar AS.
Dihilangkannya kewajiban membangun pusat data di dalam negeri juga tak hanya berdampak terhadap dunia usaha. Masyarakat pun juga akan terkena getahnya yakni, biaya akses internet yang mahal. Sebab, kata Rendy, data yang ditarik dari luar negeri.
“Biaya internet akan tetap mahal. Kalaupun turun tidak terlalu drastis, seperti beberapa tahun lalu. Sementara kebutuhan kita untuk internet semakin meningkat, ini hanya menguntungkan segelintir pihak," tuturnya.
Padahal pertumbuhan jumlah pengguna internet di Indonesia terbilang pesat. Data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menunjukkan, terdapat 143,26 juta pengguna internet di Indonesia pada 2017.
Tantangan Berat
Kendati potensi ekonomi yang ditimbulkan dari pusat data terbilang cerah, toh membangun pusat data ini tidaklah mudah. Kata Rendy Maulana Akbar, banyak kendala yang dihadapi untuk bisnis pusat data, mulai dari regulasi, infrastruktur dan lain sebagainya.
“Listrik misalnya. Kalau mau bangun Tier 4 data center itu enggak bisa di semua tempat. Kabel fiber juga kendala, jalur fiber [subduct utility] itu enggak tersedia. Jadi semua lewat udara atau gali. Jadi mudah kena bencana," tutur Rendy.
Pendapat yang sama diutarakan Bhima Yudhistira Adhinegara, ekonom dari Institute for Development Economics and Finance (Indef). Menurut Bhima, membangun pusat data memerlukan perhitungan yang matang. Salah satu aspek yang perlu dicermati adalah keamanan dari sisi bencana alam.
Namun lanjut Bhima, bukan berarti peluang Indonesia memiliki pusat data menjadi tertutup. Masih ada sejumlah lokasi di Indonesia yang cenderung aman dari bencana alam seperti gempa bumi dan tsunami.
“Sebenarnya yang penting pemerintah punya komitmen yang kuat. Tax amnesty atau revisi UU KPK itu saja bisa. Jadi tak menutup kemungkinan untuk membangun pusat data di dalam negeri,” tandasnya.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Ringkang Gumiwang