Menuju konten utama
Bandara Yogyakarta

Bandara Kertajati Sepi, Bagaimana dengan Bandara Yogyakarta?

Bandara Yogyakarta masuk ke dalam rencana induk nasional bandar udara atau disebut dengan Tatanan Kebandarudaraan Nasional

Bandara Kertajati Sepi, Bagaimana dengan Bandara Yogyakarta?
Sebagian Terminal Bandara Yogyakarta Internasional Airport di Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta yang siap beroperasi, Senin (29/4/2019). tirto.id/Irwan A. Syambudi

tirto.id - Sabtu pagi, 4 Mei 2019, Bandara Internasional Yogyakarta mendadak ramai. Hari itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk pertama kalinya mendarat di bandara yang berlokasi di Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta.

Kedatangan Wapres disambut langsung oleh orang nomor satu di Yogyakarta, yakni Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X. Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, dan Dirut PT Angkasa Pura (AP) I Faik Fahmi juga turut hadir di sana.

Ada sejumlah agenda yang akan dihadiri Wapres di Yogyakarta. Meninjau kondisi Bandara Internasional Yogyakarta adalah salah satunya. Usai meninjau, Wapres mengaku puas dengan fasilitas yang ada di bandara tersebut.

“Bandara ini akan menjadi bandara paling modern di Indonesia. Bandara ini akan menjadi bandara yang luar biasa, kalau sudah jadi semua,” tutur pria yang biasa disapa JK ini dikutip dari Antara.

Tidak hanya modern, bandara yang menghabiskan dana hingga Rp11 triliun ini juga diklaim sebagai bandara terbesar ketiga di Indonesia, setelah Bandara Soekarno-Hatta Banten dan Bandara I Gusti Ngurah Rai Bali.

Bagaimana tidak, Bandara Internasional Yogyakarta ini memiliki kapasitas terminal sebanyak 14 juta penumpang/tahun atau sekitar tiga kali lipat dari kapasitas terminal Bandara Kertajati Majalengka tahap 1 sebesar 5 juta penumpang/tahun.

Selain itu, bandara ini dibangun dengan konsep aerocity, di mana akan tersedia juga kawasan terpadu yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas, seperti pasar modern, pendidikan, rumah sakit, area komersial, desa wisata, dan lain sebagainya.

Konsep ini seperti pengembangan aerocity di luar negeri, yakni Aerocity Central di India atau Changi Jewel di Singapura. Mereka sama-sama membangun aerocity-nya sebagai destinasi wisata bagi para pelancong.

Rencana-rencana besar pengembangan Bandara Internasional Yogyakarta sudah disusun. Namun yang jadi pertanyaan, apakah bandara bisa benar-benar sukses menjadi bandara terbesar atau akan senasib dengan Bandara Kertajati?

Seperti diketahui, Bandara Yogyakarta adalah bandara kedua di Jawa yang dibangun selama kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Sebelumnya, ada Bandara Kertajati yang beroperasi perdana pada Mei 2018.

Meski begitu, Bandara Kertajati yang menghabiskan investasi senilai Rp2,6 triliun itu, kondisinya saat ini justru sepi penumpang. Maskapai yang melayani pun hanya satu, yakni Citilink Indonesia dengan frekuensi terbang sebanyak tiga kali per pekan. Padahal, biaya operasionalnya tidak kecil, mencapai Rp6 miliar-Rp7 miliar per bulan.

Beda Bandara Kertajati dengan Yogyakarta

Bandara Kertajadi dan Yogyakarta memang sama-sama baru. Bandara Kertajati nasibnya belum jelas, sehingga muncul kekhawatiran Bandara Yogyakarta akan mengalami nasib yang sama. Namun, banyak hal yang bisa mendorong optimisme bahwa Bandara Yogyakarta ini tidak menjadi proyek yang mubazir.

Pertama, tidak seperti Bandara Kertajati, Bandara Yogyakarta masuk ke dalam rencana induk nasional bandar udara atau disebut dengan Tatanan Kebandarudaraan Nasional yang tertuang di Peraturan Menteri Perhubungan No. 69/2013 (PDF).

Dengan kata lain, kehadiran Bandara Yogyakarta di Kulonprogo itu sebenarnya sudah sesuai dengan kebutuhan. Apalagi, rencana induk nasional bandara juga sudah melalui kajian secara mendalam, dan memperhatikan sejumlah faktor.

Faktor-faktor yang dimaksud di antaranya seperti potensi dan perkembangan sosial ekonomi wilayah, potensi sumber daya alam, perkembangan lingkungan strategis, peran bandar udara dan lain sebagainya.

Kebutuhan bandara baru di Yogyakarta juga semakin mendesak mengingat bandara yang ada saat ini, yakni Bandara Adisucipto sudah overcapacity. Saat ini, bandara itu sudah melayani 5 juta penumpang, dari kapasitasnya sebanyak 1,8 juta penumpang.

Tak hanya itu, jumlah tempat parkir pesawat juga hanya 11 parking stand. Gara-gara parkir pesawat terbatas, pernah terjadi lima pesawat terpaksa holding di angkasa menunggu antrean pendaratan.

“Itu kenapa kami ingin bandara baru segera dioperasionalkan. Slot penerbangan bandara baru itu 309 slot, lebih besar dari Adisucipto sebanyak 188 slot,” kata Agus Pandu Purnama, Jubir Proyek Pembangunan Bandara Yogyakarta AP I dikutip dari Antara.

Kedua, lokasi Bandara Yogyakarta yang tidak jauh dari pusat kota. Bandara hanya berjarak 43 km dari pusat kota atau Malioboro Mall. Jarak tersebut lebih panjang 10 km ketimbang jarak dari Kemang, Jakarta Selatan ke Bandara Soekarno Hatta. Namun lebih dekat ketimbang jarak dari Bandung--sumber penumpang Jabar--ke Bandara Kertajati yang mencapai 179 km.

Selain itu, akses dan angkutan umum juga akan siap bersamaan seiring dengan beroperasinya bandara. Angkutan umum yang bisa digunakan antara lain, seperti kereta api dari PT KAI, bus Damri, shuttle bus, taksi dan lain sebagainya.

Penumpang pesawat bisa mencapai bandara melalui Stasiun Maguwoharjo Sleman, Stasiun Lempuyangan dan Stasiun Tugu Kota Yogyakarta, menuju Stasiun Wates Kulon Progo dan Stasiun Wojo Purworejo yang dekat dengan bandara.

Dari dua stasiun itu, penumpang dapat melanjutkan perjalanan dengan shuttle ke bandara. Jika dari Stasiun Wojo jaraknya sekitar 13 kilometer menuju bandara, sedangkan dari Stasiun Wates jaraknya sekitar 17 kilometer.

Selain itu, AP I menyiapkan 15 unit shuttle di berbagai titik, mulai dari Purwokerto, Cilacap, Kebumen, Wonosobo sampai dengan di Yogyakarta. Pengelola bandara juga menyiapkan 20 unit taksi bandara.

Akses dan konektivitas ini menjadi sangat penting, karena dianggap sebagai batu sandungan pengembangan Bandara Kertajati. Jika masalah-masalah tersebut terselesaikan, maka Bandara Yogyakarta bisa dipastikan tidak mengalami nasib yang sama dengan Bandara Kertajati.

Infografik Bandara International Yogyakarta

undefined

Maskapai Lebih Hati-hati

Bandara Yogyakarta memang memiliki prospek yang lebih cerah. Namun, pengelola bandara masih menghadapi tantangan untuk meyakinkan maskapai penerbangan membuka rute baru.

Seperti diketahui, beberapa tahun belakangan ini, maskapai penerbangan memang sedang menghadapi tekanan yang hebat. Mulai dari harga avtur yang semakin tinggi, kurs dolar yang fluktuatif, dan biaya-biaya lainnya yang ikut meningkat. Kondisi tersebut membuat keuangan maskapai berdarah-darah.

Dengan kondisi tersebut, maskapai tentu menjadi lebih hati-hati ketika membuka rute baru. Apalagi dengan kondisi saat ini, di mana biaya operasional terus meningkat. Bagaimanapun, saat membuka rute baru, ada biaya yang harus dikeluarkan maskapai.

“Kami buka rute itu sesuai dengan feasibility-nya. Kalau untung kami terbang, kalau enggak kami cabut,” ujar Vice President Corporate Secretary Garuda Indonesia M Ikhsan Rosan kepada Tirto.

Garuda Indonesia saat ini memang fokus memangkas rute yang tidak untung. Tahun lalu saja, 11 rute Garuda sudah dipangkas. Evaluasi rute itu juga masih menjadi fokus maskapai ke depannya, sebagaimana disebutkan di Laporan Tahunan Garuda 2018.

Meski maskapai masih berhati-hati membuka rute, akan tetapi Asosiasi Maskapai Penerbangan Nasional Indonesia (Indonesia National Air Carriers Association/INACA) meyakini Bandara Yogyakarta akan tetap menarik minat.

Ketua Penerbangan Berjadwal INACA Bayu Sutanto menilai permintaan dari maskapai untuk membuka rute dari dan ke Yogyakarta masih tinggi. Sayang, kondisi itu tidak bisa dipenuhi lantaran slot penerbangan yang terbatas di Bandara Adisucipto.

“Permintaan dari dan ke Yogyakarta itu masih laris. Apalagi Yogyakarta itu Kota Pendidikan. Kebutuhan jasa angkutan udara masih akan tumbuh ke depannya. Saya pikir maskapai masih ada yang ingin buka rute ke sana,” ujarnya kepada Tirto.

Baca juga artikel terkait MASKAPAI PENERBANGAN atau tulisan lainnya dari Ringkang Gumiwang

tirto.id - Bisnis
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra