tirto.id - Contitutional and Administrative Law Society (CALS) memandang bahwa upaya merevisi Undang-Undang Pilkada (UU Pilkada) yang dibahas Baleg DPR RI sebagai taktik Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Koalisi Indonesia Maju Plus (KIM+) dalam memuluskan gurita dinasti politik.
Anggota CALS, Violla Reninda, beranggapan, sikap Baleg DPR RI justru mempertajam hegemoni kekuasan dari politik gemuk dalam merevisi UU Pilkada. Ia beralasan, hasil rapat panja UU Pilkada yang dilakukan Baleg DPR RI mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
"Upaya pengabaian ini dilakukan untuk mengakali Pilkada 2024 agar di sejumlah daerah, terutama DKI Jakarta, dapat didominasi KIM+ tanpa kandidat kompetitor yang riil, dan memuluskan jalan putra Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep untuk mencalonkan sebagai Wakil Gubernur Jawa Tengah," kata Violla dalam keterangan resmi kepada reporter Tirto, Rabu (2/8/2024).
Perlu diketahui, Mahkamah Konstitusi memutus 2 perkara penting tentang UU Pilkada jelang masa pendaftaran calon kepala daerah. Pertama, MK mengubah syarat batas umur pencalonan harus dipenuhi saat penetapan sebagai kandidat pilkada sesuai putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024. Hal ini disebut berimbas kepada anak Presiden Jokowi sekaligus Ketua Umum PSI, Kaesang Pangarep, gagal maju di Pilkada 2024.
Kedua, MK mengubah syarat pengusungan peserta pemilu sebagaimana perkara nomor 60/PUU-XXII/2024. Dalam putusan tersebut, MK mengubah Pasal 40 Ayat 1 dan menghapus Pasal 40 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilukada. Dalam ketentuan syarat pencalonan, MK menggunakan basis persentase dari total suara sah di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Perempuan yang juga Program Manager Indonesian Center for Law and Policy Studies (PSHK) ini menegaskan, Jokowi dan partai di KIM Plus telah mempertontonkan kekuasaan yang eksesif tanpa kontrol dari lembaga legislatif. Bagi CALS, hal itu sudah menunjukkan bahwa pemerintahan saat ini adalah rezim otoriter yang telah mengonsolidasikan kekuatan elite politik hingga tingkat kepala daerah.
"Aturan main Pilkada diakali sedemikian rupa untuk meminimalisasi kompetitor dengan menutup ruang-ruang kandidasi alternatif, memborong dukungan koalisi gemuk partai politik, dan memunculkan kandidat boneka agar mengesankan kontestasi pilkada berjalan dengan kompetisi yang bebas, adil, dan setara," tutur dia.
CALS pun mendesak agar pembahasan revisi Undang-Undang Pilkada dihentikan dan mematuhi putusan MK. KPU pun didesak untuk segera mematuhi putusan MK yang sudah ada.
"Jika Revisi UU Pilkada dilanjutkan dengan mengabaikan Putusan MK, maka segenap masyarakat sipil melakukan pembangkangan sipil untuk melawan tirani dan autokrasi rezim Presiden Joko Widodo dan partai politik pendukungnya dengan memboikot Pilkada 2024," ujar dia.
Lembaga swadaya lain, IM57+ menuding upaya Baleg DPR RI merevisi UU Pilkada merupakan praktik korupsi legalisasi. DPR terburu-buru dalam membahas revisi RUU Pilkada pasca putusan MK.
Ketua IM57+, M. Praswad, menerangkan, pembahasan di Baleg DPR RI berbanding terbalik dengan tindak lanjut atas putusan MK saat pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden RI. Praswad berkeyakinan, politik saat ini bergantung pada selera penguasa.
"Ini menunjukan bahwa selera penguasa menjadi penentu sehingga prinsip-prinsip legislasi tidak lagi sesuai dengan prinsip demokratis sehingga menimbulkan 'korupsi legislasi'," ucap Praswad dalam keterangan tertulis, Rabu (21/8/2024).
Praswad mengajak masyarakat untuk tidak diam melihat pembajakan ini. Ia menekankan, aksi Baleg DPR bisa menjadi rangkaian pembajakan nilai-nilai reformasi.
"Tatanan oligarkis menggantikan cita reformasi yang demokratis. Untuk itulah, IM57+ Institute mengajak seluruh elemen untuk melawan sehingga kita tidak akan kehilangan tatanan masyarakat demokratis," kata mantan penyidik KPK ini.
Penulis: Ayu Mumpuni
Editor: Andrian Pratama Taher