Menuju konten utama

Bajumi Wahab, Orang Tajir Palembang Tempo Dulu

Peninggalan terkenalnya di Palembang adalah Rumah Bari dan yayasan pendidikan IBA.

Bajumi Wahab, Orang Tajir Palembang Tempo Dulu
Masjid H Bajumi Wahab merupakan masjid wakaf pribadi dari keluarga Bajumi Wahab di Ogan Ilir, Sumatera Selatan. FOTO/IStimewa

tirto.id - Saat mencari nama "Bajumi Wahab" di Google, hasil tangkapan mesin pencari itu kebanyakan terkait Masjid Haji Bajumi Wahab di Tanjung Sejaro, Indralaya, dekat Kota Palembang.

Bajumi Wahab adalah nama yang lekat dengan kota Palembang di masa pemerintahan Sukarno. Ia tergolong orang superkaya dari kota yang dilintasi Sungai Musi tersebut. Menteri Pertahanan Ryamizard Ryachudu terhitung masih kerabatnya. Menurut catatan di buku pleidoi Omar Dani yang disusun Benedicta Surodjo dan JMV Soeparno, Tuhan Pergunakan Hati Pikiran dan Tanganku (2005), Bajumi adalah ayah angkat dari ibu Ryamizard.

Bajumi dikenal sebagai pendiri dan pemilik percetakan terkenal di Palembang, namanya Rambang (1953). Ia dan istrinya, Sajidah alias Ida, dikenal sebagai pendiri yayasan pendidikan bernama IBA (1959) yang punya taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah, dan belakangan universitas. IBA adalah gabungan dari nama Ida-Bajumi. Peninggalan paling terkenal keluarga ini adalah Rumah Bari di Palembang.

Menurut catatan Mestika Zed dalam Kepialangan, Politik, dan Revolusi: Palembang, 1900-1950 (2003), Bajumi Wahab dilahirkan di Tambang Rambang, Komering pada 4 Januari 1924.

“Dia termasuk salah seorang pemuda yang memperoleh banyak keberuntungan berkat hubungan yang dijalin dengan Jepang pada masa akhir pendudukan Jepang. Dia membarter bahan-bahan makanan dengan barang-barang bikinan Jepang yang kemudian dijual lagi. Agaknya modal awal usahanya diperoleh dengan cara seperti itu. Dia termasuk dalam kelompok pedagang besar Palembang yang mempunyai koneksi dengan Singapura sejak 1946,” tulis Mestika Zed.

Bajumi juga dikenal sebagai orang yang memberi sumbangan dana cukup besar bagi perjuangan nasional. Rumahnya bahkan jadi tempat penampungan pejuang kemerdekaan (Abihasan Said, Bumi Sriwijaya Bersimbah Darah: Perjuangan Rakyat Semesta Menegakkan Republik Indonesia di Ujung Selatan Sumatera, 1992).

Ia mempunyai perusahaan, Wahab Kongsi. Pendirinya bukan Bajumi seorang. Ia mendirikannya bersama seorang mitra yang juga bernama belakang Wahab: Abdul Wahab.

Menurut buku Orang Indonesia yang Terkemuka di Jawa (1986) yang disusun Gunseikanbu zaman Jepang, Abdul Wahab pernah menempuh pendidikan dasar di sekolah elit Belanda Europe Lager School (ELS) dan sekolah dagang di Utrecht, Belanda. Selain sekolah dagang, pria yang lahir pada 31 Desember 1906 itu juga kursus pembukuan dan stenografi.

Sebelum menjadi pengusaha, Abdul Wahab pernah jadi pegawai pada perusahaan terkenal era Hindia Belanda, Borsumij, di Teluk Betung (Lampung), pada 1929-1933. Tugasnya mengurusi penjualan, pembukuan, dan pengiriman. Selanjutnya, dari 1933 hingga 1940, ia menjadi Kepala Pembukuan di Palembang.

Selama bekerja di Borsumij, Abdul Wahab pernah jadi Ketua Persatuan Pegawai Borsumij (1938-1940). Dia juga pernah aktif sebagai ketua bagian keuangan dari organisasi pergerakan nasional Parindra. Dari 1939 sampai 1940, Abdul Wahab ikut serta mengelola surat kabar Penerangan. Keterlibatan di pers, organisasi buruh, dan pergerakan itu memperlihatkan betapa berpengaruhnya Abdul Wahab.

Pada 1940, dia keluar dari Borsumij dan memimpin perusahaan mobilnya sendiri hingga 1941. Abdul Wahab pernah menjadi kepala kantor perusahaan karet Kedaton dan perusahaan di Jakarta pada zaman Jepang. Di tahun 1943, Abdul Wahab memulai lagi sebuah usaha. Bersama Bajumi Wahab, dua Wahab ini mendirikan Wahab Kongsi yang punya kantor di Jakarta dan Bandung.

Bajumi yang jauh lebih muda tampaknya tak kalah berpengaruh juga sebagai salah satu pemilik Wahab Kongsi. Menurut Mestika Zed, Bajumi Wahab punya pengaruh di Persatuan Dagang Indonesia (Perdi). Setelah kemerdekaan, pada Januari 1946, Bajumi Wahab mendirikan Perkoempoelan Dagang. Organ dagang itu punya monopoli pengapalan hasil bumi Sumatra Selatan ke Singapura dan Malaka.

Kapal-kapal Bajumi terbilang banyak. Di tahun 1956 perusahaannya Sriwijaya Line berdiri. Bahkan, Nirwanto Ki S. Hendrowinoto dalam Samudera kehidupan: Chandra Motik (2004) menyebut Bajumi Wahab sebagai raja tanker zaman Bung Karno. Kejayaan dan kemasyhuran Bajumi hampir sezaman dengan dengan kejayaan Agoes Moesin Dasaad pemilik Dasaad Concern.

Baca juga: Agoes Moesin Dasaad Dompet Berjalan Bung Karno

Ketika Sukarno masih jadi presiden, tak hanya Bajumi Wahab saja yang berjaya sebagai pengusaha kaya-raya. Anak laki-laki Bajumi, Sjahrul Ghozi Bajumi, juga moncer sebagai musikus. Menurut majalah mingguan Djaja tahun 1963, band yang sudah dimulai sejak akhir 1950-an ini resminya berdiri Juni 1961.

Kala itu, Sjahrul yang jadi pemimpin dan pemetik gitar utama band Arulan masih berusia 16 tahun. Gaya bermain kelompok musik ini mirip band instrumental Inggris yang agak ngerock, The Shadows, dan Sjahrul beraksi ala Hank Marvin. Terkadang, bukan hanya lagu instrumental yang ditampilkan, tapi juga lagu berlirik. Tak segan pula band ini membawakan lagu-lagu daerah Sumatera Selatan seperti "Ibung-Ibung" atau "Dek Sangke."

Baca juga: Kisah Rockstar Zaman Dulu

infografik si tajir bajuni wahab

Band ini juga pernah ikut merekam lagu-lagu penyanyi legendaris Muchsin Alatas pada 1964. Pada 1965, menurut mingguan Djaja tahun itu, piringan hitam Arulan yang mengiringi penyanyi asal Australia beredar. Meski cukup sukses, Sjahrul tak sepenuhnya hidup sebagai musikus. Seperti ayahnya, ia pun terjun ke dunia bisnis.

Bersama Rosihan Nuch Bajumi, saudaranya, Sjahrul pernah mengelola perusahaan Pelayaran Nusantara Sriwidjaya Raya. Selain di bidang perkapalan, belakangan Sjahrul juga sempat berbisnis karet.

Hingga kini, keluarga ini masih diingat sebagian orang di kota Palembang. Setidaknya mereka diingat karena Rambang, gedung-gedung sekolah, dan kampus milik Yayasan IBA yang masih berdiri di kota Palembang. Begitu juga Rumah Bari yang kerap jadi ajang foto-foto.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani