tirto.id - Sejak pertengahan tahun 1990, teknologi telah mengubah kehidupan modern secara drastis. Saat Google muncul di akhir tahun 1990-an, orang mulai mengandalkan pencarian informasi dengan mengandalkan internet, dan meninggalkan pencarian data di buku-buku di perpustakaan.
Namun kala itu, tidak semua sekolah (ataupun rumah) memiliki fasilitas internet. Sehingga percepatan teknologi, tidak memberikan dampak pada dunia pendidikan sedasyat apa yang terjadi hari ini - saat teknologi berada dalam genggaman setiap orang, termasuk anak-anak.
Kini kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) terus tumbuh dan berkembang seiring waktu. Kehadirannya semakin berdampak pada banyak aspek kehidupan manusia, tidak terkecuali dalam pendidikan.
Akhir 2022 lalu, ChatGPT ramai diperbincangkan karena kemampuannya dalam mengetik apa yang diminta penggunanya. ChatGPT juga hebat dalam memberikan jawaban, yang bahasanya sangat luwes sehingga sulit membedakan apakah jawaban tersebut diolah manusia atau hasil kemampuan teknologi.
Saking hebatnya fungsi ChatGPT, banyak guru maupun dosen yang terkecoh dengan hasil karya muridnya, yang ternyata banyak menggunakan perangkat lunak ini dan tidak benar-benar berpikir untuk mengerjakan pekerjaan rumah.
Dikutip dari CNN, sebuah platform kecerdasan buatan yang bernama ChatGPT ternyata dapat menyelesaikan ujian kuliah bidang medis dan bisnis di sebuah universitas di Amerika Serikat.
Kecanggihan tersebut membuat para praktisi pendidikan khawatir ChatGPT akan digunakan untuk melakukan kecurangan pada ujian-ujian tersebut.
Kecurangan pada ujian menggunakan AI bukan tak pernah terjadi. Hal ini pernah terjadi di Australia, di mana seorang mahasiswa ketahuan menggunakan AI untuk menulis jawaban esai.
Hal ini tentu saja perkara besar dalam dunia pendidikan. Teknologi dalam dunia pendidikan tidak lagi hanya memberikan efisiensi dan juga produktivitas, namun juga ketakutan akan pengaruhnya pada proses belajar mengajar yang seharusnya dilakukan dan dilatih ke siswa.
Beberapa universitas, seperti universitas negeri di Australia akhirnya berpikir ulang untuk kembali ke ujian menggunakan pena dan kertas.
Hal ini pada akhirnya menimbulkan polemik, benarkah keberadaan AI dapat mengancam integritas akademik?
Mengutip dari laman Kemdikbud, terdapat dua pendekatan untuk menerapkan AI di lingkungan pendidikan. Pertama adalah pengalihan tugas guru ke sistem AI, atau dengan kata lain, menggunakan AI sebagai mentor virtual bagi siswa. Kedua, AI juga dapat menjadi alternatif untuk membantu dalam melakukan kegiatan pembelajaran yang efektif dan efisien.
Salah satu contohnya melalui fitur voice assistant atau asisten suara, di mana fitur ini dapat membantu mempercepat pencarian materi, serta memungkinkan siswa mendapatkan informasi yang transparan dan akurat.
Percepatan yang Tak Terelakkan
Generasi z dan alpha adalah dua generasi yang lahir dengan fasilitas kemudahan teknologi.
Dikutip dari laman BSSN, sebuah penelitian menemukan 30% anak di bawah usia enam bulan sudah terpapar gawai secara rutin setidaknya 60 menit per hari. Di usia dua tahun, sembilan dari sepuluh anak bahkan mendapat paparan gawai yang lebih lama lagi.
Faktanya, memang kebutuhan anak usia sekolah saat ini akan gawai memang kian tak terelakkan. Mereka membutuhkan ponsel untuk mendukung proses belajar, bermain, dan juga bersosialisasi dengan teman sebaya.
Tiga kebutuhan tersebut semakin meningkat ketika anak memasuki usia remaja. Dalam hal pendidikan, misalnya, saat ini semakin marak pembelajaran berbasis internet seperti web-learning, e-learning atau pembelajaran online melalui video.
Tak hanya itu, saat ini juga ada fenomena di mana anak sekolah menjadi lebih tergantung pada mesin pencari Google saat membuat pekerjaan rumah dibandingkan buku pegangan, seperti yang dilakukan generasi sebelumnya.
Pesatnya perkembangan gim video saat ini juga membuat para remaja lebih memilih untuk melakukan aktivitas sedentary. Bermain di ruang terbuka yang membutuhkan aktivitas fisik, hampir tak lagi menjadi pilihan bagi mereka.
Begitu juga dalam hal pertemanan. Teman-teman mereka jauh lebih banyak di dunia maya dibandingkan kehidupan nyata. Internet dan media sosial bahkan menjadi kiblat mereka untuk menemukan semua yang sedang tren.
Hal ini kemudian membuat banyak orang tua yang mengalami dilema. Mereka menyadari, bahwa untuk memiliki daya saing di masa depan, penerapan teknologi digital di banyak lini haruslah dilakukan.
Namun, di sisi lain, orang tua juga menyadari ada banyak dampak negatif yang mungkin bisa didapat para remaja bila hidupnya terlalu dikelilingi oleh teknologi digital, apalagi jika tanpa pengawasan. Misalnya, risiko kecanduan gawai hingga tumbuh menjadi pribadi yang anti sosial.
Mengutip laman UNICEF, Karin Hulshof, Direktur Regional, UNICEF Asia Timur dan Pasifik, mengatakan bahwa internet dan teknologi memberi anak-anak peluang besar, tetapi juga memaparkan mereka pada risiko yang besar pula.
Meski demikian, membatasi akses anak-anak ke internet dan teknologi bukanlah jawaban untuk melindungi anak-anak dari risiko dan bahaya.
Pakar pendidikan yang disurvei oleh Pew Research Center menyambut AI di sektor mereka karena potensinya untuk menyesuaikan pendidikan dan pelatihan dengan kebutuhan individu, dan untuk membantu menyampaikan pendidikan ke daerah terpencil dan tertinggal.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Republik Indonesia dalam lamannya menuliskan dukungannya pada literasi digital dalam menghadapi perkembangan teknologi yang kian pesat.
Menurut Kepala Pusat Data dan Informasi (Kapusdatin) Kemendikbudristek Hasan Chabibie, literasi digital bukan hanya tentang mendapat informasi, melainkan bagaimana memilah dan memilih informasi tersebut agar menjadi asupan yang baik bagi para pelajar.
“Maka sarana yang paling efektif membentuk budaya ini yaitu dengan proses pendidikan itu sendiri. Praktiknya bisa dimulai ketika guru menyampaikan materi menggunakan internet dan teknologi secara rutin. Nantinya di mindset adik-adik kita akan terbentuk bahwa internet tersebut digunakan untuk belajar, mencari informasi, mencari riset untuk dikembangkan,” jelas Hasan.
Namun, di sisi lain teknologi seperti chatbot AI juga relatif baru dan masih dalam pengembangan.
Beberapa pengajar mengatakan bahwa informasi yang dihasilkan alat ini kurang berkualitas. Mereka juga khawatir bahwa siswa dapat menjadi tergantung pada perangkat lunak ini tanpa belajar mengartikulasikan pikiran mereka sendiri dan, lebih buruk lagi, dapat menggunakan teknologi untuk menipu.
Moderasi Penggunaan Teknologi
Langkah ekstrim dilakukan sekelompok remaja di New York untuk memperlambat teknologi dalam mempengaruhi kehidupan mereka.
Akhir tahun 2022 lalu, New York Times mengangkat cerita unik sebuah klub remaja anti gawai dan anti medsos (media sosial), yang berbasis di New York, Amerika Serikat, yang diberi nama Klub Luddite.
Kegiatan klub ini cukup sederhana, yaitu mematikan ponsel, kemudian saling bertemu di taman dan melakukan aktivitas di luar gadget, seperti membaca buku, melukis, atau saling mengobrol.
Salah seorang remaja yang menjadi anggota, Logan Lane, mengaku bahwa dirinya mengalami perubahan signifikan sejak bergabung dengan klub tersebut.
Setelah menghapus Instagram dan mematikan ponselnya, ia berusaha menjalani kehidupan remaja kota tanpa gadget. Ia mulai meminjam novel dari perpustakaan, mengagumi grafiti saat naik kereta bawah tanah, dan tidak lagi ketiduran saat bermain ponsel di tengah malam.
Namun, seakan kurang menyetujui langkah ekstrim yang dilakukan Klub Luddite, Gabrielle Roberts, psikolog klinis di Rumah Sakit Anak Advokat di Oak Lawn, Illinois, dalam penelitiannya mengatakan bahwa bukan teknologi yang menjadi masalah, tetapi bagaimana individu menggunakannya.
Ia memberi contoh bahwa bermain gim video dapat berdampak negatif pada anak-anak ketika waktu bermain yang berlebihan mencegah mereka mengembangkan keterampilan lain.
Namun, penelitian juga telah menunjukkan efek positif dari gim video, seperti peningkatan kemampuan visuospasial, perhatian, dan waktu reaksi.
Tantangan yang kini dihadapi orang tua dan pendidik adalah memoderasi penggunaan teknologi dalam bentuk apa pun, alias mengarahkan anak dan remaja untuk mengakses teknologi seperlunya.
Meskipun, Roberts mengatakan bahwa teknologi memang secara khusus dirancang agar sulit untuk ditinggalkan dan dihentikan, serta menyebabkan penggunanya menjadi kecanduan.
Roberts kemudian menyarankan para orang tua agar mencermati sejumlah gejala dan perilaku pada anak yang berpotensi menjadi tanda kecanduan teknologi.
Tanda pertama yang bisa diamati adalah jika mematikan perangkat atau membatasi pemakaian gawai menyebabkan anak berperilaku tidak sopan atau menunjukkan agresi. Tanda lainnya adalah apabila penggunaan teknologi sangat mengganggu partisipasi atau minat anak dalam aktivitas lain.
Senada dengan Roberts, psikolog anak, remaja, dan keluarga Irma Gustiana Andriani atau yang karib disapa Ayank Irma, menekankan bahwa orang tua harus peka dengan perubahan anak selama berinteraksi dengan teknologi.
"Waspada jika terjadi perubahan emosi, pola tidur terganggu, nafsu makan berkurang, anak malas gerak, dan mengabaikan tugas dan tanggung jawab," kata psikolog yang merupakan pendiri Klinik Ruang Tumbuh tersebut.
Ayank Irma juga mengingatkan pentingnya digital detoks, atau waktu akhir pekan tanpa gawai. Di saat itu, lakukanlah kegiatan tanpa gawai yang melibatkan anggota keluarga.
Dan, Roberts kembali mengingatkan, jauh sebelum penggunaan teknologi menjadi bermasalah, orang tua sebaiknya sudah menetapkan batasan dan aturan seputar penggunaan teknologi.
Pembatasan dan aturan sejak dini pada anak, membuat orang tua tidak menginjak rem terlalu dalam untuk menahan laju teknologi yang semakin cepat.
Sementara, kreator teknologi, juga perlu terus mengembangkan perangkat lunaknya agar memiliki batas-batas tertentu.
Berupaya mengubah reputasinya yang buruk belakangan ini, beberapa hari lalu ChatGPT mengumumkan diluncurkannya AI Text Classifier yang dapat mendeteksi kecurangan yang dapat dilakukan murid saat mengerjakan tugas menggunakan ChatGPT.
Namun, program ini dikatakan tidak menjamin 100 persen akan membantu para pendidik karena masih ada kemungkinan kesalahan dalam memeriksa.
Hal ini menjadi pertanda bahwa sampai saat ini pendidikan tidak dapat 100 persen mengandalkan teknologi. Namun di sisi lain, bukan berarti pula pendidikan menjadi anti terhadap percepatan zaman yang memang tak terelakkan.
Penulis: Petty Mahdi
Editor: Lilin Rosa Santi