Menuju konten utama

Bahaya Spekulan Tanah di Balik Pengumuman Jokowi Soal Ibu Kota Baru

Direktur Eksekutif CORE, Mohammad Faisal menilai pemerintah sebaiknya tak buru-buru mempublikasikan nama-nama wilayah calon ibu kota yang baru.

Bahaya Spekulan Tanah di Balik Pengumuman Jokowi Soal Ibu Kota Baru
Presiden Joko Widodo berjalan di kawasan hutan saat meninjau salah satu lokasi calon ibu kota negara di Gunung Mas, Kalimantan Tengah, Rabu (8/5/2019). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay.

tirto.id - Rencana pemindahan ibu kota sudah masuk ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Meski demikian, Presiden Joko Widodo telah datang langsung dan mengumumkan tiga wilayah potensial calon ibu kota di Pulau Kalimantan.

Tiga daerah itu terdiri dari Bukit Soeharto, di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, dan dua sisanya merupakan wilayah di Kalimantan Tengah, yaitu Palangkaraya dan Gunung Mas. Namun, hingga kunjungan terakhirnya pada Rabu (8/5/2019), Jokowi belum memutuskan lantaran masih menunggu tim pemerintah melakukan kajian.

“Saya ini ke lapangan hanya satu [tujuan], mencari feeling-nya. Biar dapat feeling-nya. Kalau sudah dapat feeling-nya nanti kalkulasi dan hitung-hitungan dalam memutuskan akan lebih mudah. Kalau ke lokasi saja belum, dapat feeling dari mana,” ucap Jokowi seperti dikutip laman resmi Setkab.

Namun, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE), Mohammad Faisal menilai pemerintah sebaiknya tak buru-buru mempublikasikan nama-nama wilayah calon ibu kota yang baru.

Sebab, Faisal khawatir informasi-informasi itu malah dimanfaatkan spekulan tanah dan properti yang dapat berujung pada melonjaknya harga tanah di sekitar area itu.

Berbekal informasi itu, kata Faisal, mereka dapat dengan mudah membidik area mana saja yang dianggap perlu dibeli sehingga dapat dikuasai sebagai aset mereka masing-masing. Dengan penguasaan lahan begitu masif, kata Faisal, maka kenaikan harga lahan tak dapat dipungkiri pasti terjadi.

“Saya pikir pemerintah tidak harus buru-buru men-disclose atau mempublikasikannya ke publik. Kalau diumumkan itu pasti akan ada pembelian lahan besar-besaran, sementara pembangunan infrastrukturnya masih sangat jauh,” ucap Faisal saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (9/5/2019).

Faisal menambahkan “kenaikan harga lahan bisa terjadi sangat cepat sebelum ada pembangunan ibu kota itu sendiri.”

Apalagi, kata Faisal, pembangunan infrastruktur sebagai penunjang ibu kota masih jauh untuk dilakukan. Karena itu, ia mengingatkan bila tak berhati-hati lonjakan harga tanah ini dapat membebani pada pembiayaan infrastruktur di sekitar area itu.

Karena itu, Faisal menyarankan agar pemindahan ibu kota ini direncanakan dulu dengan matang. Sembari finalisasi kajian, pemerintah dapat mengamankan sejumlah luas lahan yang menjadi pusat pemerintahan (civic center) di area itu yang nantinya dapat disimpan sebagai land bank.

Namun, bila lengah, Faisal mengkhawatirkan pembangunan pusat pemerintahan itu sendiri dapat turut terbebani. “Kalau pemerintah cerdas itu seharusnya land procurement-nya sudah aman. Jadi diamankan dulu tanah civic center-nya,” ucap Faisal.

Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudistira sepakat dengan peringatan Faisal. Sebab, kata Bhima, hal ini pernah terjadi pada era pemerintahan SBY.

Kala itu, kata Bhima, pengumuman Jonggol, Jawa Barat sebagai ibu kota baru malah mengundang spekulan memborong tanah sehingga harga lahan di area itu naik drastis. Pola serupa, kata Bhima, juga beberapa kali terjadi saat informasi lokasi pembangunan infrastruktur diketahui oleh para pemodal besar.

“Informasi itu bisa membuat harga tanah naik tidak wajar. Bisa naik hingga 100% untuk tanah milik masyarakat," ucap Bhima saat dihubungi reporter Tirto.

Jika harga tanah naik signifikan, kata Bhima, maka biaya pembangunan infrastruktur baru juga dapat melonjak. Apalagi sepengetahuan Bhima anggaran Rp466 triliun yang disediakan pemerintah hanya untuk tanah yang dimiliki negara.

Padahal, kata Bhima, kebutuhan lahan untuk calon ibu kota bisa lebih dari itu, sehingga pemerintah mau tidak mau harus merogoh saku untuk membeli tanah swasta atau masyarakat.

Konsekuensinya, kata Bhima, APBN negara diprediksi akan tekor. Kalau pun ditanggung BUMN, Bhima mengatakan proyek sebesar ini tentu akan menimbulkan tekanan keuangan. Alhasil ujung-ujungnya, pemerintah harus menambah penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) dan menghadapi defisit anggaran yang dapat melebar di atas 3 persen.

“Biaya bisa bengkak dua kali lipat akibat pengadaan tanah. Ujungnya pemerintah harus menambah penerbitan SBN,” kata Bhima.

Menanggapi hal ini, Kepala Bagian Humas Kementerian ATR/BPN, Harison Mocodompis mengatakan, pemerintah telah berupaya mencegah persoalan spekulan itu. Salah satunya dilakukan dengan tidak memberitahu persis lokasi calon ibu kota baru itu.

Untuk semakin mencegah spekulasi, ia memastikan tanah yang dipilih hanya yang berstatus tanah negara sehingga dapat mengurangi risiko kenaikan harga tanah yang tak terkendali.

Di samping itu, menurut Harison, dengan lokasi di luar Jawa, maka ketersediaan lahan masih sangat memadai untuk memenuhi luasan yang dibutuhkan pemerintah.

“Yang diutamakan itu tanah negara sehingga tidak mudah terjadi spekulasi. Lokasinya juga tidak langsung disebut untuk mencegah hal itu,” ucap Harison saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (9/5/2019).

Mengenai tanah yang akan dicadangkan khusus untuk pembangunan ibu kota baru, Harison memastikan hal itu akan disiapkan pemerintah. Namun, di saat yang sama tetap melakukan koordinasi dengan semua sektor yang terkait.

“Pemerintah akan menyiapkan. Melalui koordinasi semua sektor, pemerintah pasti akan menjamin itu,” kata dia.

Baca juga artikel terkait PEMINDAHAN IBU KOTA atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz