tirto.id - Musim debat tahunan mengenai sejarah Gerakan Tiga Puluh September (Gestapu) atau G30S masih jauh. Di Indonesia, nyaris setiap menjelang hari itu, publik terlibat debat kusir mengenai posisi Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai dalang atau korban dalam pembunuhan perwira tinggi militer Indonesia.
Wakil Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tengku Zulkarnain adalah salah satu pelantang kubu yang menganggap PKI sebagai dalang G30S. Ia terus menebar propaganda di semua lini.
Pada Februari lalu, di sebuah acara ceramah, Zulkarnain menyelipkan narasi PKI sebagai musuh umat Islam. Klaimnya, musuh PKI hanya ada dua: tentara dan ulama. Lalu ia ‘memukul’ sama rata bahwa semua yang ‘memusuhi’ ulama di masa kini adalah PKI.
Propaganda itu diulangi lagi dengan serial cuitan pekan lalu. Ia menghantam salah satu medium ilmu pengetahuan publik paling populer di Indonesia: Wikipedia.
Tagar #BoikotWikipedia digunakannya memprotes Wikipedia berkaitan sebuah tulisan berjudul "Pembantaian di Indonesia 1965-1966". Ia bahkan meminta Kepala Kepolisian Indonesia menangkap penulis artikel tersebut atas isinya karena keliru menurut versi Zulkarnain.
https://t.co/CN0y625h0p
— tengkuzulkarnain (@ustadtengkuzul) June 3, 2020
Wikipedia sudah menuliskan sejarah "bengkok"?
Peristiwa pemberontakan PKI justru WIKIPEDIA menuliskan PKI sebagai KORBAN, Pak Harto dkk sebagai "penjahatnya", pelaku pembantaian.
Sampai kapan Umat Islam dan TNI diam?#boikotwikipedia
Mana suara kalian...?
Secara substansi, artikel di Wikipedia, menurutnya bengkok alias tak benar yang mengaitkan adanya konflik internal di tubuh TNI AD sebagai pemicu Gestapu. Termasuk keberatannya soal hilangnya informasi korban para jenderal TNI AD yang dibunuh dan jenazahnya ditemukan di Lubang Buaya.
"Ini kan pembelokan sejarah yang luar biasa,” katanya kepada Tirto, Jumat (5/6/2020).
Sebagai sebuah medium ilmu pengetahuan dan berusaha kredibel, Wikipedia memperlakukan khusus pada artikel mengenai PKI.
Sejak 2011, artikel itu diberi semi-perlindungan untuk menjaga kebenaran informasi dan menghindari penyuntingan yang mengaburkan keakuratan informasi yang disebut Wikipedia sebagai ‘vandalisme’.
Artikel yang disoal Zulkarnain versi aslinya berbahasa Inggris. Kemudian diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa dunia, termasuk bahasa Indonesia. Artikel itu dibuat setidaknya dengan merujuk 80 referensi kredibel dan relevan. Siapa saja bisa mengkaji dan memeriksa rujukan artikel, meski bukan sarjana sejarah.
Propaganda Orde Baru Abadi
Artikel di Wikipedia itu jadi penyeimbang atas sejarah G30S yang dimonopoli oleh Orde Baru. Ada banyak publikasi sejarah Gestapu sejak Orde Baru.
Di antaranya, Nugroho Notosusanto dan timnya dari Pusat Sejarah (Pusjarah) ABRI menerbitkan buku berjudul 40 Hari Kegagalan G-30-S 1 Oktober-10 November yang sebagian narasinya dicap sebagai propaganda yang menyalahkan PKI sebagai dalang.
Sekretariat Negara Indonesia pada media 1990-an juga menerbitkan Tragedi Nasional: Percobaan Kup G30S/PKI. Buku itu jadi senjata rezim Orde Baru menancapkan pengetahuan yang sesat bagi anak-anak generasi 1980-1990-an lewat pendidikan di sekolah.
Teks buku beriringan dengan propaganda film ‘Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI’ yang wajib diputar di sekolah-sekolah saban 30 September saat Orde Baru. Tahun lalu, film itu masih diputar stasiun televisi swasta.
Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Asvi Warman Adam mengatakan, pasca-G30S diskusi mengenai PKI bukan berkaitan dengan masalah politik, melainkan adanya korban.
Pembunuhan di luar hukum terjadi pada pengurus partai, simpatisan atau orang yang dilabeli PKI pasca-Gestapu. Pembantian itu menelan 500 ribu korban jiwa, menurut salah satu versi yang moderat.
“Yang mati dibunuh tak jelas pula keterkaitan dengan partai komunis, lebih khusus dengan peristiwa pembunuhan 6 jenderal dan 1 perwira,” kata Asvi.
"Jadi kalau orang mengatakan ada pembantaian, itu tidak berarti membela PKI. Tetapi ada orang-orang yang mati terbunuh 500 ribu orang terlepas dia anggota PKI, ormasnya, atau bukan," lanjut dia.
Pasca-jatuhnya rezim Soeharto pada 1998, sejumlah lembaga, akademisi, dan penyintas kembali berusaha membicarakan lagi sejarah 1965 yang bak kitab suci.
Puncaknya ialah International People's Tribunal, diadakan di Den Haag pada 2015 dan Simposium 1965 pada 2016.
Di lain sisi, resistensi terhadap pelbagai upaya itu pun menguat karena politisasi sejarah PKI ala Orde Baru yang menurut Asvi berimbas pelabelan orang yang kritis terhadap pemerintah.
"Mungkin alasan [pelabelan] orang kritis dengan tuduhan PKI untuk meredam kritik,” katanya mengingatkan bahaya pelabelan ‘PKI’ ala Orde Baru.
Kritik Wikipedia
Berkaitan isi artikel PKI di Wikipedia, Asvi punya catatan. Di antaranya pokok bahasan kekuatan kelompok Islam.
Menurut Asvi penyebutan tentara dan kelompok Islam sebagai pihak yang berseberangan secara politik dengan PKI sebelum 1965 adalah kekeliruan.
Padahal, kata dia, merujuk keterangan Herbert Feith, seorang Indonesianis, justru hanya ada tiga kekuatan politik sebelum 1965 yakni Soekarno, Angkatan Darat, dan PKI. Posisi Soekarno sebagai penyeimbang PKI dan tentara.
"Jadi pertentangan ya itu, siapa yang mendahului itu apakah Angkatan Darat atau PKI. Kelompok Islam tidak menentukan sebelum G30S," kata Asvi.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Zakki Amali