tirto.id - Suatu hari Anda merasa lagu favorit yang biasa didengarkan lewat headphone tak lagi kencang. Anda juga mulai kesusahan mengikuti dialog di acara televisi. Dua-duanya membuat Anda tak ragu menaikkan volume. Secara tak sadar, perilaku ini Anda rutinkan tiap beberapa bulan sekali. Hiingga tak terasa, volume di awal Anda memanfaatkan ponsel pintar, laptop, atau televisi itu berselisih jauh dengan volume yang sekarang Anda patenkan.
Di kesempatan lain, Anda bertemu dengan seseorang di sebuah kafe yang saat itu sedang diramaikan oleh penampilan musisi plus obrolan pengunjung lain. Saat bercakap-cakap, tak seperti biasanya, Anda berkali-kali meminta lawan bicara untuk mengulang kata-kata. Sambil mendekatkan telinga, Anda setengak berteriak, “Ha? Apa? Bisa diulangi?”
Jika Anda mengalami hal-hal demikian, ada kemungkinan Anda mengidap gangguan kehilangan pendengaran atau dalam dunia medis dikenal sebagai Noise Induced Hearing Loss (NIHL). Kehilangan pendengaran sesungguhnya bukan sesuatu yang menakutkan. Ia juga tak terelakkan selama berjalannya waktu. Dampaknya baru terasa secara berangsur-angsur saat tua nanti.
Persoalannya, sejumlah ahli percaya bahwa kini gangguan kehilangan pendengaran dialami oleh banyak orang secara tak alamiah. Dunia modern bertanggung jawab atas kebiasaan menggunakan headphone untuk mendengarkan musik hingga film, dan dalam intensitas serta volume yang melebihi ambang aman, kebiasaan tersebut dapat menyebabkan gangguan kehilangan pendengaran secara prematur. Gejala yang seharusnya diterima saat tua itu kini lumrah menjangkiti generasi muda.
Dalam press release Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tanggal 27 Februari 2015, disebutkan bahwa kurang lebih 1,1 miliar remaja dan anak muda seluruh dunia beresiko mengalami gangguan kehilangan pendengaran. Penyebabnya adalah penggunaan perangkat audio pribadi yang tak aman.
Penyebab lain adalah paparan suara-suara bising dari lingkungan sekitar, terutama saat sedang berada di kelab malam, bar, arena olahraga, atau konser musik. WHO memandang penting riset tersebut sebab penelitian lain menunjukkan bahwa gangguan kehilangan pendengaran mengandung konsekuensi di kemudian hari, antara lain mengancam kesehatan fisik dan mental hingga merugikan pendidikan dan pekerjaan si penderita.
Data WHO didapat dari studi di negata-negara berpenghasilan menengah hingga yang tinggi, melibatkan sejumlah kalangan remaja dan pra-dewasa berusia 12-35 tahun. Hasil temuannya yakni 50 persen responden terbiasa dengan penggunaan perangkat audio pribadi dalam volume yang tak aman/terlalu keras. 40 persen lain berada di lingkungan yang memproduksi suara bising (dalam volume yang tak aman juga). Sedangkan sisanya akibat faktor-faktor lain.
“Anak-anak muda itu terlanjur menikmati apa yang biasa didengarkan dalam volume suara yang melampaui batas aman. Makin banyak generasi muda hari ini yang sesungguhnya sedang menempatkan diri mereka dalam resiko terkena gangguan kehilangan pendengaran,” kata Dr Erienne Krug, direktur WHO untuk Department for Management of Noncommunicable Diseases, Disability, Violence and Injury Prevention.
Batas Aman Suara
Intensitas suara bisa diukur dengan satuan desibel atau biasa disingkat menjadi dB. Berapa dB batas aman suara yang bisa diterima telinga manusia dan tak beresiko menimbulkan gangguan pendengaran? Badan keselamatan kerja Amerika Serikat, National Institute for Occupational Safety and Health (NIOS) dan Occupational Safety and Health Association (OSHA), menerapkan batas aman paparan suara di level 85 dB.
Batas aman tersebut juga diambil sebagai standar WHO. Sedangkan National Institute on Deafness and Other Communication Disorders (NIDCD) AS mengambil standar yang lebih rendah yakni 75 dB atau kurang. Pelanggaran batas aman yakni jika berada di level 85 dB atau lebih. Prinsipnya, resiko gangguan kehilangan suara akan terjadi lebih cepat jika pelanggaran batas aman itu dilakukan dalam jangka waktu yang lama dan terus-menerus.
Sebagai kompromi, batas aman suara bisa ditetapkan di level 80 dB. Untuk perbandingannya, 85 dB adalah suara kemacetan dan lalu lintas saat kita berada di dalam mobil. Saat bercakap-cakap normal, suara yang dihasilkan kurang lebih 60-65 dB. Sedangkan yang lebih rendah lagi contohnya suara mesin lemari es yang sedang bekerja, yakni berkisar di level 45 dB.
Jenis suara yang melebihi ambang batas dan meningkatkan resiko gangguan kehilangan pendengaran antara lain suara sepeda motor dari jarak dekat yang mencapai 95-100 dB. Suara adegan-adegan berbahaya di film aksi saat diputar di bioskop bisa mencapai 100 dB atau lebih. Sedangkan untuk volume MP3 maksimal yang biasa didengarkan lewat heaphone mencapai 103 dB.
Jenis paparan suara yang sering muncul di lingkungan sekitar tempat tinggal kita antara lain klakson mobil yakni mencapai 110 dB, serupa level kebisingan di kelab malam. Suara gergaji mesin bisa mencapai 115-120 dB. Suara sirene ambulan atau mobil polisi setara dengan suara konser rock yaitu 120 dB. Suara petasan atau letusan senjata api bisa mencapai 150 dB. Suara ledakan bom tentu bisa berlipat-lipat lebih tinggi lagi. Cukup satu kali mendengar dari jarak dekat sudah mampu menyebabkan seseorang terkena gangguan kehilangan pendengaran.
Tak Akan Kembali Lagi
Mendengarkan musik lewat headphone memang pilihan tepat untuk kualitas suara yang terbaik sekaligus tak mengganggu tetanggga. Kebiasaan ini akhirnya dipillih banyak orang mulai dari pekerja kantoran hingga musisi. Namun, menurut penelitian University of Leicester, mendengar musik lewat headphone yang dapat dipacu hingga 120 dB adalah kebiasaan yang sangat amat berbahaya.
Untuk level 110 dB saja, kebiasaan itu dapat “mencerabut selubung myelin dari sel-sel saraf, sehingga menghalangi pengiriman sinyal listrik dari telinga ke otak”. Persoalannya, sekali seseorang menderita gangguan kehilangan suara, ia tak akan mendengar frekuensi suara yang sama lagi. Dengan kata lain, gangguan kehilangan pendengaran sifatnya permanen.
“Mereka (orang-orang yang sengaja memapar telinganya dengan suara melebihi ambang batas) seharusnya lebih waspada: sekali Anda kehilangan pendengaran, ia tak akan kembali lagi.” tegas Dr Etienne Krug. Satu-satunya cara menghindarkan diri dari gangguan kehilangan pendengaran, menurut Dr Krug, adalah dengan menerapkan cara-cara preventif alias pencegahan.
Misal, pakailah penutup telinga saat pergi ke konser musik (terutama rock atau metal) atau saat pergi ke kelab malam. Anda harus bersiap saat kondisi memaksa Anda berada tepat di depan pengeras suara. Jika terlanjur tak membawa penutup telinga dan suara di sekitar terlalu bising, National Health Service (NHS) Inggris menyarankan Anda untuk tak terus-menerus di tempat tersebut. Beristirahatlah barang 10 menit di tempat yang sunyi sebelum kembali lagi ke area penonton.
Cara termudah bagi yang sudah kecanduan memakai headphone saat mendengar musik atau menonton film adalah dengan mengurangi volumenya secara berangsur-angsur. Usahakan untuk tak berada di tempat yang bising dan membuat Anda terpaksa menaikkan volume. NHS mencanangkan rumus 60:60 yakni batas maksimal volume berada di level 60 persen dan jangan mendengarkan musik secara terus-menerus selama lebih dari 60 menit.
Untuk para pekerja, WHO memberi rekomendasi bahwa tingkat kebisingan yang diperbolehkan ada di tempat kerja maksimal 85 dB dan tak boleh terpapar selama lebih dari 8 jam. Untuk kelab malam, arena olahraga, atau tempat kerja dengan volume suara tinggi yang tak bisa dihindari, para pekerja mesti pintar mengatur waktu. Paparan kebisingan di atas level 100 dB masih aman jika tak lebih dari 15 menit. Artinya, perlu ada jeda tiap 15 menit untuk beralih ke tempat dengan volume suara aman, atau lebih baik lagi, yang sunyi.
Memang perlu usaha yang konsisten dan pengorbanan lebih. Namun, pakar kesehatan telinga selalu menekankan bahwa usaha-usaha preventif tersebut adalah investasi masa depan yang menguntungkan bagi karier hingga hubungan sosial. Menyayangi telinga adalah usaha menikmati suara-suara indah di dunia hingga usia tua.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti