Menuju konten utama
Periksa Data

Bagaimana Tren Elektabilitas Demokrat di Bawah Nakhoda AHY?

Partai Demokrat dikabarkan keluar dari koalisi yang mengusung Anies Baswedan. Sejauh ini, bagaimana tren elektabilitas partai tersebut?

Bagaimana Tren Elektabilitas Demokrat di Bawah Nakhoda AHY?
Header Periksa Data Apakah Tren Elektabilitas Demokrat Naik di Bawah Nahkoda AHY?. tirto.id/Fuad

tirto.id - Partai Demokrat belakangan dikabarkan mundur dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP), yang mengusung Anies Baswedan sebagai bakal calon presiden (bacapres) pada pemilihan umum (pemilu) tahun depan.

Langkah tersebut tak lepas dari manuver Partai NasDem—sebagai bagian dari KPP bersama Partai Keadilan Sejahtera (PKS), untuk menduetkan Anies-Muhaimin Iskandar atau Cak Imin sebagai pasangan bacapres-bacawapres.

Duduk perkaranya terletak pada Anies yang diklaim Partai Demokrat telah menyetujui bila cawapresnya adalah Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) alias Ketua Umum partai berlambang mirip Mercedes Benz itu. Di sisi lain, Cak Imin adalah Ketua Umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang membentuk Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) bersama Partai Gerindra dengan mengusung Prabowo Subianto sebagai bacapres.

Namun akhir Agustus lalu, nama koalisi KKIR berubah menjadi Koalisi Indonesia Maju setelah Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional (PAN) resmi merapat. Masuknya partai baru inilah yang bikin posisi kursi cawapres yang diincar Gus Imin di KKIR tak aman, sehingga diduga jadi alasan kader Nahdlatul Ulama (NU) asal Jombang itu bermanuver.

Harapan palsu posisi cawapres tak hanya sekali dialami oleh Partai Demokrat. Pada Pemilu 2019 misalnya, partai yang berdirinya erat dengan figur mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tersebutsempat bergerilya untuk memenangkan AHY yang waktu itu masih menjadi Komandan Komando Satuan Tugas Bersama (Kogasma).

Kala itu, Demokrat berupaya agar Prabowo bisa meminang AHY di Pilpres 2019. Setelah hubungan Demokrat-Gerindra sempat intens, Partai Gerindra dan mitra koalisinya, yaitu PAN dan PKS malah tak memilih AHY sebagai cawapres bagi Prabowo. Koalisi Indonesia Adil Makmur–nama koalisi pendukung Prabowo—justru mengajukan calon pasangan Prabowo-Sandiaga Uno.

Lantas, bagaimana sebenarnya tren elektabilitas Demokrat pasca kepemimpinan SBY atau saat di bawah nahkoda AHY?

AHY Mengerek Naik Elektabilitas Demokrat?

Perlu diketahui bahwa pada Maret 2020, AHY yang notabene anak sulung SBY terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum Partai Demokrat periode 2020 – 2025 menggantikan ayahnya. Pemilihan itu dilakukan dalam forum Kongres V Partai Demokrat di Jakarta.

Secara umum, pasca SBY lengser, tingkat keterpilihan Partai Demokrat cenderung mengalami kenaikan. Hal itu tergambar dari survei Charta Politika, yang menunjukkan elektabilitas Demokrat melesat 1,8 poin, dari 4,3 persen pada saat terakhir SBY memimpin (Februari 2020), hingga kini menjadi 6,1 persen (Mei 2023).

Jika diamati, kenaikannya mulai nampak signifikan pada Juli 2021, ketika elektabilitas Demokrat saat itu mencapai 6,6 persen. Bertahan di level yang sama, yakni 6,6 persen, pada September 2022, angka tersebut kemudian mencapai puncaknya pada Desember 2022. Saat itu elektabilitas Demokrat bertengger di angka 7,7 persen.

Pola serupa pun terekam dalam temuan Indikator Politik. Menurut lembaga survei tersebut, pada Februari 2020 saat penghujung kepemimpinan SBY, elektabilitas Demokrat hanya berada di level 4,6 persen, kemudian melonjak menjadi 7,5 persen pada April 2021.

Persentase itu lantas mencapai titik tertinggi pada November 2021, yakni 10 persen. Sayangnya, sepanjang 2022, elektabilitas Demokrat kerap berada di level 9 persen, dan memasuki 2023, berangsur surut dan hanya bersisa 6,5 persen pada Juni 2023.

Temuan Indikator Politik versi Juni itu menempatkan keterpilihan Partai Demokrat pada posisi kelima, kalah dari PKB (7 persen), Golkar (9,2 persen), Gerindra (13,6 persen), dan PDIP (25,3 persen).

Lain dengan Indikator Politik, jajak pendapat Litbang Kompasteranyar Mei 2023 justru mengungkap elektabilitas Demokrat bertengger di peringkat 3 besar dengan meraup persentase keterpilihan 8 persen. Capaian itu berhasil menggeser posisi Golkar yang meraih 7,3 persen dan berada di urutan keempat.

Akan tetapi, perolehan Demokrat masih terpaut jauh dengan elektabilitas partai di atasnya, yakni PDIP yang memimpin dengan 23,3 persen dan Gerindra di posisi kedua yang menyentuh 18,6 persen.

“Elektabilitas Demokrat sempat naik tinggi pada pertengahan tahun 2022. Saat itu, kenaikan tersebut lebih banyak disebabkan oleh kemenangan narasi politik pasca-putusan Mahkamah Agung yang menolak kasasi Kongres Luar Biasa [KLB] Partai Demokrat di Deli Serdang tahun 2021,” mengutip laporan Litbang Kompas, Selasa (23/5/2023).

Demokrat memang sempat mengalami konflik internal hingga terpecah menjadi dua kubu, AHY dan kubu KLB yang dipimpin Kepala Staf Presiden Moeldoko.

Melansir Kompas.com, Rabu (24/11/2021),beberapa gugatan sempat dilayangkan kubu KLB, di antaranya uji materiil Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Demokrat dan pembatalan SK Menhumkam terkait hasil Kongres V Partai Demokrat tahun 2020.

Pasca SBY Demokrat Mereformasi Diri

Menyoal tren umum peningkatan elektabilitas Demokrat di bawah kepemimpinan AHY, Peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Wasisto Raharjo Jati, menilai, terdapat dua faktor utama yang melatarbelakangi, pertama yaitu adanya reformasi secara kelembagaan dan kader.

“Artinya di bawah kepemimpinan AHY ini Demokrat berusaha tampil beda dengan yang dulu, yang kita tahu dulu kan sempat kesandung kasus korupsi dan sebagainya kan, [sehingga] menurunkan suara Demokrat,” katanya saat dihubungi Tirto, Kamis (7/9/2023).

Kasus korupsi yang dilakukan elite Partai Demokrat memang tak bisa dilupakan. SBY bahkan sampai “turun gunung” mengurus partai dengan menjadi ketua umum lewat KLB Partai Demokrat yang dihelat di Bali, tanggal 30 Maret 2013. SBY saat itu menggantikan Anas Urbaningrum yang terjerat kasus korupsi.

“Nah, saya pikir Demokrat di bawah AHY ini berusaha untuk mengembalikan lagi citra yang dulu, dengan latar belakang yang berbeda ya. Dengan banyaknya kader muda yang masuk, atau mungkin kemudian program partai diperkuat,” sambung Wasisto di ujung telepon.

Kemudian faktor kedua yang berpengaruh, menurut Wasisto, adalah seputar perseteruan internal Demokrat.

“Kedua, memang harus kita akui bahwa percobaan kepengurusan ganda ini menjadi semacam berkah di balik musibah ya bagi Demokrat. Artinya di situ kan, sebenernya menunjukkan bagaimana resiliensi dan juga ketegaran seorang AHY bisa membawa Demokrat ini di bawah tekanan seperti itu kan. Dan publik kan sudah tau semua ya siapa yang salah siapa yang benar dalam kepengurusan ganda ini kan, yang akhirnya dimenangkan oleh AHY,” pungkasnya.

Faktor terakhir itulah yang dinilai Wasisto semakin memperkuat apresiasi publik terhadap Demokrat kini, yang mana telah menampilkan wajah berbeda dibanding Demokrat sebelumnya.

Ke Depan Bergantung Orientasi Partai

Mengamati elektabilitas Demokrat yang melonjak saat kepemimpinan AHY, tahun 2024 mendatang bakal diuji seberapa jauh tingkat keterpilihan ini mampu terkonversi dalam bentuk dukungan suara pemilu.

Mengingat, Demokrat sempat berjaya dalam Pemilu Legislatif 2009 dan memimpin parlemen beriringan dengan terpilihnya kembali SBY dalam pilpres masa jabatan kedua. Sayangnya, Demokrat tak pernah lagi menduduki posisi teratas dalam setiap pemilu berikutnya.

Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang dipublikasikan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pada Pemilu Legislatif 2014, Demokrat bertengger di posisi keempat dengan perolehan suara sebanyak 12,72 juta atau sebesar 10,19 persen dari total pemilih. Sementara pada Pemilu 2019 melorot ke urutan 7 dengan perolehan suara hanya 10,88 juta (7,77 persen).

Trisanto Romulo Simanjuntak, selaku Dosen di Universitas Kristen Satya Wacana, lewat ulasannya di The Conversation, berpendapat, fenomena semacam ini mengindikasikan Demokrat berpotensi menjadi one season wonder alias keajaiban satu musim dalam panggung politik Indonesia.

Terkait elektabilitas Demokrat ke depan, Wasisto dari BRIN menyatakan semua bergantung pada orientasi dan tujuan partai demokrat, apakah memang mau berkoalisi tanpa syarat atau berkoalisi tidak ada syaratnya. Syarat yang dimaksud Wasisto adalah perihal mengajukan AHY sebagai cawapres. Sebab dua pilihan tersebut akan menentukan konsistensi apresiasi publik.

“Karena kalau kita lihat yang barusan terjadi ini kan menimbulkan pro kontra di mata publik kan, jadi memang ada baiknya perumusan strategi tadi yang kita singgung ya, apakah memang mau tetep berkoalisi tanpa syarat atau berkoalisi tanpa beban, itu menjadi pilihan bagi Demokrat untuk bisa meneruskan tren positif elektabilitasnya nanti,” ujarnya kepada Tirto, Kamis (7/9/2023).

==

Bila pembaca memiliki saran, ide, tanggapan, maupun bantahan terhadap klaim Periksa Fakta dan Periksa Data, pembaca dapat mengirimkannya ke email factcheck@tirto.id.

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah

tirto.id - Politik
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Farida Susanty