Menuju konten utama

Bagaimana Sora Mengubah Dunia Jadi Lebih Baik (atau Lebih Buruk)

AI berkembang lebih pesat ketimbang kemampuan masyarakat atau negara meresponsnya. Perlu regulasi untuk mengendalikannya.

Bagaimana Sora Mengubah Dunia Jadi Lebih Baik (atau Lebih Buruk)
Ilustrasi kecerdasan buatan. REUTERS/Fabrizio Bensch

tirto.id - Tahun lalu, video Will Smith makan spageti yang dibuat dengan artificial intelligence (AI) generatif jadi populer di dunia maya. Namun, video tersebut sungguh mengerikan. Ia tampak seperti citra bergerak dari sebuah mimpi buruk yang bakal membuat siapa pun trauma jika terpapar olehnya terus menerus.

Tak cuma wajah "Will Smith" yang tampak berantakan, spageti yang dilahapnya pun tampak aneh dan kaku. Selain itu, cara makan "Will Smith" juga terlihat tak normal lantaran menggunakan tangan, alih-alih garpu. Dengan kata lain, video AI itu nggak banget, deh.

Tahun lalu pula, saya sempat mewawancarai sejumlah pekerja kreatif tentang AI. Saat itu, jagat maya tengah dihebohkan kemunculan beberapa chatbot AI generatif. Yang paling menyita perhatian tentu saja ChatGPT bikinan OpenAI. Pertanyaan besarnya adalah apakah AI bakal menggeser pekerjaan mereka. Dan kemudian, bagaimana mereka menyikapi hal tersebut.

Wanti-wanti soal ancaman AI terhadap pekerjaan manusia sebetulnya sudah digaungkan jauh sebelum ChatGPT dan lain-lain muncul. Dulu, pekerjaan-pekerjaan yang disebut bakal tergantikan oleh AI adalah pekerjaan-pekerjaan seperti administrator data. Namun, semenjak kemunculan AI generatif macam ChatGPT, perubahan pun terjadi. Pekerja kreatiflah yang disebut-sebut bakal tergantikan perannya oleh AI.

Meski demikian, semua pekerja kreatif yang saya wawancarai sama sekali tidak takut dengan keberadaan AI. Waktu itu, saya mewawancarai seorang copywriter, sound engineer, dan desainer grafis. Ketiganya justru mengaku terbantu karena tools berbasis AI yang mereka gunakan memang mempercepat penyelesaian pekerjaan. Ditambah lagi, para pekerja kreatif itu merasa sentuhan manusia belum bisa digantikan oleh kecerdasan buatan.

Namun, situasi kembali bergejolak sejak kemunculan AI generatif bernama Sora. Pasalnya, kemunculan Sora menunjukkan dua hal. Pertama, ia menjadi bukti pesatnya perkembangan AI. Kedua, untuk mata awam, hasil yang diberikan Sora nyaris tidak ada bedanya dengan produk "organik".

Seperti halnya ChatGPT, Sora pun dikembangkan oleh OpenAI. Model AI yang rencananya akan dirilis pada akhir 2024 ini mampu menghasilkan video berdurasi hingga satu menit dengan adegan yang detail, gerakan kamera yang kompleks, karakter yang kaya, dan emosi yang tampak lebih hidup. Untuk menghasilkan semua itu, pengguna cuma perlu menuliskan perintah (prompt) berupa teks—sama seperti ChatGPT.

Dari video-video yang diunggah OpenAI untuk memperkenalkan Sora, sudah terlihat betapa jauhnya perbedaan mesin mereka ketimbang pembuat video Will Smith makan spageti tadi. Resolusinya tinggi, sudut kameranya jauh lebih baik, detail-detailnya apik, bahkan manusia yang ditampilkan pun benar-benar terlihat meyakinkan.

Memang, video rekaan Sora pun tidaklah sempurna. Misalnya, gerakan-gerakan manusianya masih tampak lambat dan canggung. Namun, perlu dicatat bahwa Sora yang ada sekarang masihlah versi terburuk. Model ini bakal terus berkembang dan nantinya akan mencapai titik terbaiknya.

Satu fitur gila dari Sora adalah reimagining image atau reimajinasi gambar. Ketika kita mengunggah sebuah gambar ke Sora, ia akan bisa menciptakan video adegan dari gambar tersebut. Misal, kita mengunggah gambar ombak ke Sora, model AI satu ini bakal mengira-ngira apa yang terjadi pada ombak tersebut, lalu menambahkan adegan orang berselancar di sana.

Dari PHK sampai Hoaks

Sebelumnya, belum pernah ada piranti yang bisa melakukan apa yang dilakukan Sora. Maka bolehlah kita sedikit berspekulasi bahwa kemunculan Sora—serta AI generatif sejenis—nantinya bakal mengubah dunia, baik ke arah yang lebih baik maupun yang lebih buruk.

Mudahnya, mengoperasikan Sora pada dasarnya akan membuat semua orang bisa jadi "kreator". Dengan adanya Sora, bisnis-bisnis kecil bakal sangat terbantu dalam pembuatan video iklan. Sora juga akan sangat membantu para kreator konten media sosial untuk menampilkan hal-hal yang, secara fisik, tak bisa mereka lakukan, seperti mengambil gambar di jalanan Tokyo pada malam hari.

Di sisi lain, Sora pun diprediksi bakal memakan korban. Bagaimana dengan nasib para videografer atau penyunting video? Apabila sebuah perusahaan hanya membutuhkan footage generik, mereka tidak akan lagi menggunakan jasa videografer atau membelinya lewat platform stock video. Cukup ketik prompt di Sora lalu jadilah video yang mereka butuhkan. Lebih cepat, juga lebih irit.

Jika hal semacam itu menjadi kelaziman, gelombang PHK bukan tak mungkin akan terjadi. Pun kebutuhan terhadap talenta dengan kemampuan tertentu tak terhindarkan akan turun. Hal seperti itu bahkan sebetulnya sudah terjadi sebelumnya.

"Kami semua tertawa di 2022 ketika Midjourney pertama kali keluar dan berkata, 'Oh, itu lucu'. Sekarang, orang-orang kehilangan pekerjaan karena Midjourney," kata Reid Southen, seniman film konseptual asal Michigan, dikutip dari CNN Indonesia.

Midjourney sendiri juga merupakan AI generatif. Bedanya dengan Sora, output atau hasil dari Midjourney berupa gambar. Kalaupun PHK tidak terjadi, nilai jasa dari seorang pekerja kreatif dipastikan akan anjlok apabila tidak ada regulasi yang mengatur penggunaan AI. Inilah mengapa, beberapa waktu lalu, penulis skenario Hollywood melakukan aksi protes besar-besaran.

Sebelum protes itu dilakukan, nilai jasa para pekerja kreatif Hollywood itu sudah dikorting. Ada yang cuma dibayar untuk melakukan perubahan minor, ada pula yang karyanya kemudian dijadikan bahan untuk melatih model AI. Mereka menentang keras itu semua dan meminta pihak studio untuk berkomitmen membatasi penggunaan AI dalam produksi serial televisi dan film. Upaya para penulis Hollywood tersebut sejauh ini berhasil karena kesepakatan dengan studio telah tercapai.

Selain PHK, efek negatif lain dari Sora yang diprediksi bakal muncul adalah makin merebaknya hoaks. Sam Altman, CEO OpenAI, bahkan pernah mengakui bahaya AI dalam urusan disinformasi. Secara khusus, Altman menyebut bahwa AI bisa merusak pemilu karena menyebarnya hoaks di mana-mana.

Di Indonesia, AI sendiri sudah muncul dalam rangkaian Pemilu 2024 lalu dalam wujud video Suharto. Video tersebut diunggah oleh politisi Partai Golkar, Erwin Aksa, di akun media sosialnya. Isinya kurang lebih seruan untuk memilih pemimpin yang jadi penerus pembangunan. Karena Partai Golkar merupakan anggota koalisi Prabowo-Gibran, tentu arah dari seruan itu bisa dengan mudah terbaca.

Di negara-negara lain, AI juga sudah digunakan dalam kampanye politik, misalnya di Amerika Serikat dan Selandia Baru. Di kedua negara tersebut, AI umumnya dimanfaatkan oleh kubu konservatif untuk melakukan negative campaign terhadap kandidat yang lebih liberal.

Di Selandia Baru, kaitan antara AI dan kesuksesan kampanye politik masih harus digali lagi. Namun, pihak yang akhirnya jadi pemenang Pemilu 2023 adalah Partai Nasional berhaluan kanan-tengah yang menggunakan AI.

Persoalan disinformasi dengan memanfaatkan AI ini memang harus diberi perhatian khusus. Sayangnya, Indonesia sampai sekarang belum memiliki produk hukum untuk mengatur hal tersebut. Yang ada barulah Surat Edaran Menkominfo No. 9 Tahun 2023 tentang Etika Kecerdasan Artifisial. Menurut Wamenkominfo Nezar Patria, seperti diwartakan CNN, ketentuan itu memang belum mengikat secara hukum.

Bisa dibilang, hampir semua negara di dunia ini memang kewalahan menghadapi perkembangan pesat AI. Sejauh ini, baru Tiongkok dan Uni Eropa yang sudah mengeluarkan regulasi AI secara resmi. Amerika Serikat sampai sekarang bahkan masih belum memiliki regulasi resmi, walaupun mereka punya kerja sama bilateral terkait evaluasi ancaman AI dengan Britania Raya.

Dari situ, jelas terlihat bahwa AI berkembang jauh lebih cepat dibanding kemampuan masyarakat atau negara untuk merespons. Akan tetapi, di sisi lain, hanya negaralah yang mampu memberikan batasan bagi pengembangan AI serta penciptaan produk-produk turunannnya. Maka, mau tidak mau, negara harus bergerak lebih cepat kalau tidak mau AI jadi akhir bagi umat manusia.

Baca juga artikel terkait ARTIFICIAL INTELLIGENCE atau tulisan lainnya dari Yoga Cholandha

tirto.id - Byte
Kontributor: Yoga Cholandha
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadrik Aziz Firdausi