tirto.id - Tak kurang sebulan sejak penayangannya, film blockbuster milik Disney Avengers: Endgame memperoleh pendapatan senilai 2,68 miliar dolar AS. Dengan ongkos produksi yang "hanya" sebesar 356 juta dolar, Disney jelas untung besar.
Sayangnya, tak semua film sesukses Endgame. The Lone Ranger, misalnya, malah rugi 98 juta dolar AS. Sebagai catatan, film Disney yang dibintangi Johnny Depp itu menghabiskan biaya produksi berjumlah 225 juta dolar AS.
Dunia perfilman sesungguhnya merupakan dunia yang menggiurkan untuk mendulang uang. Pada 2018, box office global meraup uang senilai 41,7 miliar dolar AS. Tak heran berbagai rumah produksi berebut untuk memperoleh pendapatan terbesar melalui film-film yang diprediksi bakal populer. Namun, nasib yang menimpa film-film tersebut sulit ditebak.
Machine Learning di Hollywood
Seiring dengan kemajuan teknologi, Hollywood kini mulai beralih ke artificial intelligence (AI) untuk mereka-reka dengan lebih baik film seperti apa yang harus dibuat, sebagaimana dilaporkan The Verge.
AI, dalam penjabaran yang paling sederhana, merupakan algoritma super-cerdas, yang istilahnya dicetuskan pada 1956 oleh seorang ilmuwan bernama John McCarthy. Technopedia, sementara itu, menyebut AI sebagai, "[...] bidang ilmu komputer yang menekankan pembuatan mesin cerdas yang bisa bekerja dan bereaksi seperti manusia."
Dalam AI, ada sub-bidang yang saat ini tengah berkembang, seperti machine learning. Alih-alih memprogram suatu kegiatan dengan terperinci dan terukur, machine learning dibuat berdasarkan contoh dari jutaan, bahkan miliaran data. Dari sana, teknologi machine learning dapat melakukan sebuah kegiatan secara mandiri, tanpa ada tuntunan terperinci dan terukur dari manusia.
Atau, secara sederhana, machine learning sejatinyaialah seni menemukan pola dalam data. Dengan pola yang diketahui, teknologi machine learning dapat belajar segala sesuatu dengan sendirinya.
Masih dari The Verge, Cinelytic, start-up asal Los Angeles berusaha memecahkan masalah yang mendera Hollywood tersebut dengan teknologi machine learning. Mereka memanfaatkan data historikal film-film Hollywood untuk memberikan rekomendasi pada studio produksi tentang film yang sebaiknya dibuat.
Start-up ini melisensi sekitar setahun penuh data-data perfilman Hollywood, termasuk para pemain yang terlibat, dan berbagai data lainnya. Lantas, machine learning mengkomparasikannya dengan performa di pasar atas film-film tersebut. Untuk lebih memberikan masukan yang presisi, Cinelytic tak luput menganalisis naskah filmnya jua.
Dengan data yang dimiliki, Cinelytic pun memungkinkan Hollywood berfantasi, mengkombinasikan naskah A dengan bintang B untuk bermain di film bergenre C. Persis seperti meramu tim fantasi di video game Football Manager.
"Dengan Cinelytic, Anda dimungkinkan mengkomparasikan, juga membandingkan, segala kemungkinan. Misalnya, Emma Watson jika dikombinasikan dengan Jennifer Lawrence hasilnya bagaimana," urai Tobias Queisser, Pemimpin Eksekutif Cinelytic.
Cinelytic tak sendirian. Ada ScriptBook, perusahaan rintisan asal Belgia yang juga menganalisis naskah film untuk memberi pemahaman film seperti apa yang sebaiknya dibuat, tentu masih dalam konteks untung-rugi. Ada pula Vault, start-up asal Israel yang memprediksi demografi penonton film berdasarkan komentar atau kicauan di media sosial.
Dalam paper berjudul "Early Predictions of Movie Success: the Who, What, and When of Profitability" oleh Michael T. Lash, machine learning memang dapat digunakan untuk memprediksi film yang menguntungkan atau tidak. Dalam paper tersebut, Lash menyebut, machine learning bisa dimanfaatkan untuk "who" atau siapa bintang atau aktor yang harus diajak, "what" atau film seperti apa yang sebaiknya dibuat, dan "when" atau kapan film sebaiknya dirilis ke publik.
Seperti kerja Cinelytic, who, what, dan when itu dihasilkan dengan menganalisis kesuksesan-kemerosotan film terdahulu.
Lash, menawarkan teknologi bernama Movie Investor Assurance System. Suatu machine learning yang memanfaatkan data dari IMDb dan BoxOffice Mojo mengukur audience-based (mengukur tingkat penerimaan film di masyarakat), release-based (mengukur keterimaan jaringan bisokop), dan movie-based feature (mengukur sukses tidaknya pekerja di belakang layar suatu film).
Potensi Masalah?
Membuat film yang menguntungkan berdasarkan saran AI tentu menyenangkan bagi studio. Sayangnya, ini akan jadi masalah bagi penonton. Mengapa?
Dunia digital hari ini adalah dunia yang penuh dengan penambangan data. Facebook, Google, Spotify, hingga Netflix menggunakan data-data yang ditambang dari penggunanya untuk membuat layanan mereka menjadi lebih personal. Di satu sisi, layanan yang lebih personal membuat pengguna disuguhi apa yang mereka mau. Namun, situasi ini sebetulnya menciptakan masalah, yakni filter bubble.
David Allen, dalam "The Effects of Music Recommendation Engines on the Filter Bubble Phenomenon," menyebut bahwa filter bubble merupakan fenomena di mana pengguna dibombardir dengan konten yang itu-itu saja.
Jika pengguna lebih sering mengklik berita tentang Joko Widodo, filter bubble akan memberikan rekomendasi berita-berita terkait Jokowi melulu. Begitu pun sebaliknya, jika pengguna lebih sering mengklik berita tentang Prabowo, newsfeed akan dipenuhi informasi apapun tentang Prabowo.
Dalam kadar tertentu hal ini baik, tetapi dapat membuat bias semakin kuat di masa depan. Pengguna hanya lebih paham soal Jokowi daripada Prabowo, begitupun sebaliknya.
Dalam konteks rekomendasi film berdasarkan AI, hal semacam ini mungkin terjadi. Hollywood akan senang menciptakan film-film yang menurut AI menguntungkan. Film eksperimental atau film-film bertema khusus menjadi sulit direalisasikan. Akhirnya, penonton kemungkinan akan bosan dengan apa yang disuguhkan bioskop pada mereka.
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara