tirto.id - Demonstrasi para pelajar ditanggapi beragam. Untuk menyebut dua saja: polisi di Gowa tidak akan menerbitkan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) bagi mereka yang terlibat aksi; dan Dinas Pendidikan DKI mengancam tak lagi memberi mereka Kartu Jakarta Pintar (KJP)—pernyataan ini lantas diralat Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Sementara polisi yang ada di lapangan memilih bertindak represif: menangkapi yang dianggap membikin ricuh. Berdasarkan pantauan reporter Tirto di lapangan, ada pula pelajar yang digebuki.
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono sempat mengatakan ada 519 orang yang ditangkap Senin (30/9/2019) kemarin. Namun, Argo tidak menjelaskan secara rinci ada berapa banyak pelajar di antara yang ditangkap itu. Ia hanya menyebutkan semuanya merupakan massa aksi.
Saat dikonfirmasi ulang, Rabu (2/9/2019), Argo mengatakan pelajar yang ditangkap “sudah dipulangkan. Sudah dijemput orangtuanya.”
Respons terhadap demonstrasi pelajar ini lantas disorot beberapa instansi. Staf LBH Pers Makassar, Firmansyah, misalnya, mengatakan hukuman tidak memberi mereka SKCK itu “keliru dan semena-mena.” Anak-anak ini, kata Firmansyah, bagaimanapun dijamin untuk menyampaikan pendapat.
Hal serupa diungkapkan Dana Anak-Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa alias Unicef. Perwakilan Unicef untuk Indonesia, Debora Comini, melalui keterangan tertulis yang dikonfirmasi reporter Tirto, Rabu (2/10/2019), menegaskan anak-anak dan remaja di Indonesia “memiliki hak untuk mengekspresikan dan terlibat dalam dialog tentang masalah yang memengaruhi mereka.”
Dia juga menegaskan: “mereka harus mendapat dukungan yang sigap dan tepat jika mereka terlibat dengan hukum.” Dia mengatakan ini karena mendapat laporan ada anak-anak yang ditangkap polisi dan belum juga dilepaskan selama 24 jam lebih.
Menurut Debora, apa yang dia katakan selaras dengan undang-undang nasional dan peraturan internasional. Dalam Konvensi Hak-Hak Anak PBB yang disepakati tanggal 20 November 1989, misalnya, PBB mengaku hak anak untuk bebas berserikat dan berkumpul. Sementara dalam Undang-Undang Perlindungan anak, disebutkan setiap anak berhak berbicara dan didengarkan pendapatnya, termasuk dalam perkara-perkara politik.
"Aksi protes ini mengingatkan kita bahwa ada kebutuhan untuk menciptakan peluang yang bermakna—baik online maupun offline—untuk anak-anak dan remaja menyuarakan pandangan mereka dengan bebas dan damai di Indonesia," ujarnya.
Ia juga menyoroti Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang menurutnya tidak dipatuhi secara konsekuen. Di sana dijelaskan, di antaranya: penangkapan dan penahanan anak di bawah 18 tahun hanya bisa dilakukan untuk periode maksimum 24 jam; setiap anak berhak untuk dipisahkan dari tahanan dewasa; diberikan bantuan hukum dan asistensi lainnya; dan dilindungi dari penyiksaan, hukuman, atau perlakuan kejam.
"Kita harus tetap teguh dalam menegakkan dan melindungi hak-hak anak setiap saat," pungkasnya.
Membuka Ruang
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Siti Hikmawati menilai meski Konvensi PBB tidak melarang anak menyatakan pendapat, apalagi dalam iklim demokrasi, akan tetapi tetap saja belum waktunya mereka turun ke jalan seperti para mahasiswa.
"KPAI sangat tidak menyarankan, apalagi jika dalam jumlah besar," kata Siti saat dihubungi reporter Tirto, Rabu. Dia lalu menjelaskan alasannya: potensi demo berujung ricuh semakin tinggi saat demonstran semakin banyak.
"Terutama ketika sulitnya mengurai massa biasa dan massa anak-anak. Karena dari jarak tertentu perbedaan postur [tubuh] sulit dibedakan," ujarnya.
Meski demikian, jika anak terlanjur demo, maka aparat, bagaimanapun, tidak berhak menyakiti mereka.
"Anak-anak itu dijewer saja cukup, tidak perlu pakai popor. Tapi intinya ajak saja mereka berdiskusi," ujarnya. "Diberi pengertian yang mendalam saja."
Aparat penegak hukum, menurutnya, juga harus mencari strategi lain untuk menghindari bentrok dengan anak.
Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Andrea H. Poeloengan mengatakan sebetulnya polisi sudah berkali-kali mengimbau para pelajar untuk tidak berbuat onar, namun tidak digubris. Mereka pun memancing keributan dengan melempar batu dan mencaci maki polisi.
"Sebagian massa sudah coba dilokalisasi. Tapi dalam keadaan massa banyak, apalagi eskalasi konflik sudah meningkat, bukan hal yang mudah,” tegas Andrea.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino