tirto.id - Hidup bisa menjadi urusan tak tertanggungkan. Maka ada orang-orang yang menjalani sekadarnya, bahkan mengakhirinya. Tapi bagi kebanyakan orang, kematianlah yang mengancam. Ketika Anda hidup, Anda merasakan bahagia dan sedih, menikmati makan gado-gado, mengagumi wajah-wajah cantik dan tampan. Saat kematian datang, semuanya berakhir.
Sedemikian mengerikan, kematian pun tak banyak dibicarakan—bahkan dibikin tabu. Segala upaya bidang kesehatan dikerahkan agar memperpanjang harapan hidup. Orang-orang yang mengalami penyakit terminal tak banyak yang dirawat di tengah-tengah keluarga atau di tengah rutinitas orang-orang. Ada rumah sakit dengan segala fasilitas lengkap pencegah ajal yang pada akhirnya melokalisir peristiwa kematian.
Di tengah tabu itu, ada beberapa keingintahuan orang soal mati. Pertama, tentu saja ihwal “apa yang terjadi setelah mati,” yang kemudian banyak dijawab dengan narasi-narasi teologis. Tapi tak banyak yang menyediakan jawaban untuk pertanyaan ini: “Bagaimana rasanya mati?”
Jika kematian terjadi akibat pembunuhan, The American Chemical Society sudah menyediakan video yang menggambarkannya.
“Ketakutan memicu thalamus, jembatan pada otak. Bahaya datang. Ketakutan mengalir melalui aliran darah Anda melalui glutamat, hipothalamus bersiap melawan atau kabur. Kelenjar adrenal melepaskan adrenalin dan kortisol, hati melepaskan glukosa dalam bentuk gula darah. Kapak menancap ke tubuh Anda. Anda merasa sakit yang amat sangat, kehabisan darah, jantung berhenti. […] Jika tidak ada trauma besar di kepala, aktivitas listrik di otak Anda melonjak […],” demikian rangkuman The Guardian atas video itu.
Tapi sekali lagi, itu yang terjadi dalam peristiwa pembunuhan. Lalu apa yang terjadi pada orang yang mati perlahan, misalnya karena penyakit-penyakit parah yang kemudian mendapat perawatan rumah sakit?
Bagi kematian jenis ini, kerap terjadi semacam sekarat final di hari-hari terakhir kehidupan seseorang. Fase ini disebut “sekarat aktif.” James Hallenback, ahli perawatan paliatif dari Stanford University mengatakan orang yang mengalami fase ini biasanya kehilangan kemampuan indrawi dan hasratnya.
“Awalnya kehilangan rasa lapar lalu rasa haus. Kemampuan bicara hilang kemudian, diikuti dengan penglihatan. Indra yang terakhir hilang biasanya pendengaran dan sentuhan,” kata Hallenback pada The Atlantic.
Apakah sekarat itu menyakitkan? Kita tentu bertanya-tanya. Menurut Margaret Campbell, profesor perawatan di Wayne State University, rasa sakitnya bermacam-macam. “Ada kondisi-kondisi di mana rasa sakit tak tertanggungkan,” katanya seperti dikutip The Atlantic. Tapi, “ada juga pasien yang benar-benar sudah tua dan pergi pelan-pelan, tanpa ada kesulitan.”
Pasien yang tertimpa uzur terkait rasa sakit juga tak otomatis mengalami kematian sulit. “Kebanyakan orang yang sekarat karena kanker menggunakan obat penghilang nyeri yang membuat mereka nyaman, dan obat itu biasanya bekerja. Jika mereka mendapat pengobatan tepat, mereka akan pergi dengan damai,” kata Campbell.
Kita juga kerap menyaksikan orang-orang yang hampir meninggal kehilangan kesadarannya. Menurut David Hovda, direktur dari Pusat Penelitian Luka Otak di UCLA, otak melakukan hal sama dengan tubuh: akan mengorbankan area yang kemungkinan kecil akan selamat. Hovda membandingkan penurunan kesadaran itu dengan penuaan. “Orang cenderung kehilangan kemampuan perencanaan kompleks, keterampilan belajar motorik, dan juga kemampuan menahan diri."
Nah, saat kerja otak mulai berubah dan kemudian mulai mati, ada bagian-bagian yang melonjak, dan yang melonjak itu biasanya sistem visual. Di sinilah orang yang didekati ajal biasanya melihat cahaya. Tentu Anda pernah mendengar teori ini, bukan, seperti digambarkan di film-film? Orang yang akan mati digambarkan disergap oleh cahaya berlimpah dan semacam lubang hitam.
Beberapa keterangan dari orang yang mengalami pengalaman hampir-ajal atau near-death experience (NDE), seperti disebut dalam artikel The Guardian, menyebut mereka mengapung di atas tubuh mereka yang tak bernyawa, dikelilingi orang-orang terkasih di sekitar, dan dihadang cahaya terang.
Penelitian yang mempelajari 140 orang selamatkan dari serangan jantung menyebutkan 9 persennya mengalami hal yang menurut mereka NDE. Sebagian responden menyebut peristiwa itu membahagiakan, tapi sebagian lagi berkata pengalaman NDE-nya terdiri dari rupa-rupa kejadian buruk, semisal upacara pembakaran, digusur memasuki air, dan melihat adanya tubuh-tubuh di kuburan.
Tapi untung ada 22 persen yang merasakan kedamaian dan kenikmatan. Sayangnya, data-data semacam ini sukar divalidasi. Semua yang mereka rasakan, menurut The Guardian, bisa saja hal-hal yang terjadi setelah tindakan resusitasi atau penyelamatan, bukan benar-benar hal yang dialami selagi sekarat. Atau bisa jadi ia adalah semacam memori yang diciptakan untuk mengisi kekosongan ingatan.
Selain urusan lubang hitam dan cahaya, ajal juga sering didahului mimpi-mimpi. Jika Anda pernah menemani seseorang menjelang meninggal, tentu pernah melihat ia mengigau dan ada yang seperti bermimpi meski matanya tak tertutup.
Studi dari Christopher Kerr, dkk, berjudul “End-of-Life Dreams and Visions” mengkonfirmasi hal itu. Mereka mewawancarai 66 pasien terminal. Tapi hanya wawancara dengan 59 pasien yang dipakai, sebab 6 di antaranya ternyata masih hidup, sedangkan yang satu meninggal dalam waktu relatif lama sejak diwawancara (115 hari).
Ke-59 pasien sekarat itu total diwawancara sebanyak 453 kali. Jadi, peneliti mewawancara pasien pada suatu hari lalu kembali keesokan harinya untuk wawancara lagi, dan seterusnya. Dari ke-59 pasien, sebanyak 52 orang (88 persen) pernah bermimpi atau mendapat bayangan setidaknya sekali. Hampir separuh mimpi terjadi saat tidur. Ada juga sedikit pasien yang bermimpi saat terjaga, dan sebagian lagi bermimpi di antara keadaan tidur dan terjaga.
Hasilnya, sebanyak 28 persen pasien bermimpi tentang pengalaman yang berkesan dan 59 persen lain bermimpi sedang mempersiapkan bepergian ke suatu tempat. Tapi yang terbanyak, sebanyak 72 persen, bermimpi berkumpul dengan mendiang orang-orang terkasih. [Hasilnya lebih dari 100 persen karena satu pasien bisa bermimpi lebih dari 1 kali, dengan mimpi yang berbeda-beda].
Yang menarik, studi ini tak mendapati adanya mimpi-mimpi terkait komponen eksistensial agama, semisal surga atau neraka atau hari akhir, meski ada yang bermimpi terkait aspek ritual agama.
Hal yang penting dari wawancara-wawancara itu: mimpi-mimpi yang dialami saat sekarat kerap mampu menghilangkan ketakutan dan memberi pandangan baru soal kematian. Mimpi-mimpi itu membuat nyaman si pasien, terutama mimpi bertemu orang terkasih yang lebih dulu meninggal.
“Dampak emosionalnya kerapkali positif, menenangkan, dan secara paradoks meneguhkan kehidupan: seseorang memang sekarat secara fisik, tapi identitas emosional dan sipitual mereka tetap ada seperti tergambar dalam mimpi/bayangan.”
Mengetahui akan ada mekanisme menenangkan tentu melegakan, mengingat sebagian kita masih jeri dengan ide kematian. Padahal seorang bijak dari Yunani bernama Epikurus pernah bilang: “Kematian tak [perlu] jadi kekuatiran kita, sebab selama kita ada, ajal tak di sini. Dan ketika ia datang, kita sudah tak ada lagi.”
Penulis: Maulida Sri Handayani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti