tirto.id - Pengarang asal Amerika Serikat Andrew Smith pernah bilang, “Manusia itu takut pada apa yang tak mereka ketahui.” Pernyataan itu bukan opini sembarang. Ilmuwan psikologi membenarkan hal itu, bahwa yang ditakuti manusia bukan hal-hal berbahaya, melainkan sesuatu yang tak diketahui dan tak bisa dikontrolnya.
Salah satu contoh paling nyata atas ketakutan itu adalah kematian. Karena belum ada orang yang pernah bangun dari kematian setelah zaman Nabi Isa, maka ketidaktahuan manusia atas kematian sama mutlaknya dengan kehadiran kematian itu sendiri.
Minimnya pengetahuan manusia atas kematian membuat manusia sering kali enggan membahasnya. Sehingga tak heran, banyak orang menganggap kematian adalah momok, dan mengasosiasikannya dengan hal-hal suram. Saking suramnya, banyak orang mencita-citakan mati dengan tenang.
Setidaknya hal itu yang ditemukan para ilmuwan dari University of California San Diego School of Medicine. Mereka menemukan 10 faktor penting yang orang-orang anggap sebagai definisi mati dengan tenang. Karena tak bisa mewawancarai mereka yang sudah mati, untuk tahu pengalaman mereka setelah melewati kematian, maka para ilmuwan itu mengumpulkan opini para pasien-pasien yang sekarat, keluarganya, dan layanan kesehatan yang mereka gunakan.
Dilip Jeste, salah satu ilmuwan yang meneliti bilang, “Kematian jelas sekali topik yang kontroversi. Orang-orang tak suka membicarakannya detail, tapi kita harus. Penting untuk berkata jujur dan transparan tentang bagaimana kematian yang kita inginkan.”
Opini itu yang kemudian disarikan jadi beberapa karakteristik mati yang indah.
Yang pertama sekaligus opini paling populer adalah preferensi untuk mati dengan cara-cara tertentu. Karena selalu mengasosiasikan kematian dengan hal-hal suram, manusia cenderung memilih untuk mati dengan cara-cara tertentu yang jauh dari kesan suram. Misalnya: lebih senang mati saat semua orang tersayang berkumpul.
Opini lain yang juga populer adalah mati tanpa rasa sakit. Pamor kematian bagi manusia masih buruk. Selain ditakuti ia juga sering dihubungkan dengan rasa sakit. Maka, masih banyak yang berpikir kalau mati tenang sama dengan mati tanpa rasa sakit.
Cara mati tenang lain yang juga populer di kalangan pasien adalah religiusitas atau spiritualitas. Hal ini tergantung dari sisi religiusitas seseorang. Apa yang ia yakini di hidup berpengaruh pada cara mati yang ia inginkan.
Sisi emosional yang baik, kontemplasi hidup, dan kualitasnya kemudian jadi faktor penting lainnya. Ini erat kaitannya dengan kebiasaan manusia yang senang bernostalgia. Maka, sebelum mati, banyak yang ingin berkontemplasi atas apa yang pernah dilakukannya dalam hidup. Banyak yang beranggapan, semakin baik kualitas hidupnya, semakin baik pula cara seseorang untuk mati ataupun menghadapi kematian.
Sementara, poin-poin penting bagi keluarga pasien adalah meninggal bermartabat dan keluarga. Bagi keluarga yang ditinggalkan, citra diri jadi faktor paling penting. Kerabat yang meninggal harus bermartabat. Sebagian lainnya berpikir kalau keluarga adalah hal paling penting yang harus ada di saat kematian menjelang.
Sedangkan bagi layanan kesehatan, preferensi perlakuan atau pengobatan dan hubungan dengan penyedia layanan kesehatan adalah faktor penting yang seseorang pertimbangkan sebagai kematian yang indah.
Faktor-faktor ini, menurut Jeste, akan sangat berbeda-beda pada tiap orang. Namun, yang ingin ia tegaskan adalah fakta bahwa membicarakan kematian sebelum ia benar-benar datang akan membuat prosesnya lebih mudah. Karena manusia akan jadi lebih siap.
Poin itu serupa dengan opini yang dikemukakan Richard Smith, editor The British Medical Journal. Menurut Smith, orang-orang yang sudah diberitahu kapan kematiannya diam-diam mempersiapkan dirinya untuk menghadapi kematian itu sendiri. Baik sadar ataupun tidak. Bahkan, Smith berani bilang bahwa menderita kanker sebagai cara mati terbaik.
Namun, jelas kalau pandangannya itu sangat mudah didebat. Mengingat kanker adalah penyakit yang menggerogoti tubuh penderitanya. Sesuatu yang jelas-jelas menyakitkan.
Namun, ilmuwan dari Universitas Tsukuba, Jepang juga menemukan fakta yang mengamini pendapat Jested dan Smith. Keinginan para penderita kanker yang menghabiskan masa-masa terakhirnya di rumah rupanya tak hanya menyenangkan hati mereka, tapi juga memperpanjang umurnya. Mereka menemukan orang-orang yang diprediksi cuma memiliki sisa hidup dua hingga delapan minggu, malah bertahan lebih lama 36 hari ketika dirawat di rumah. Berbeda dengan yang dirawat di rumah sakit, yang hanya bertahan 29 hari.
Lalu, bagaimana definisi mati dengan tenang versimu?
Penulis: Aulia Adam
Editor: Maulida Sri Handayani