tirto.id - Siswati, seorang pekerja rumah tangga (PRT) yang bekerja di Tebet, Jakarta, mengalami stres luar biasa setelah pandemi COVID-19 menghantam Indonesia. Bagaimana tidak, ia tak hanya harus pusing memikirkan pendapatan yang terjun bebas, namun juga sejumlah pengeluaran lebih yang tak terduga.
Penghasilan suaminya yang bekerja sebagai pengemudi ojek online (ojol) menurun akibat pandemi. Sementara itu, penghasilan perempuan berusia 32 tahun itu sebagai pembantu rumah tangga (PRT) pun juga minim.
Akibat pandemi pula, Siswati kini terpaksa menunggak pembayaran kontrakan rumahnya sejak bulan April. Tak hanya itu, ia juga harus memikirkan pengeluaran rumah tangga sehari-sehari yang terus berjalan dan bahkan bertambah karena harus membayar paket data untuk kelas daring anaknya.
Siswati kini juga harus membagi waktu antara mendampingi anaknya yang kelas 6 Sekolah Dasar (SD) untuk sekolah daring, mengurus anak bungsunya yang masih berumur dua tahun, menangani beban pekerjaan domestik rumahnya sendiri yang semakin bertambah dan menyelesaikan pekerjaanya sebagai PRT.
"Kesel sih kesel, stres sih stres. Tapi tetap saya jalani, harus pintar-pintar membagi waktu karena harus tetap dikerjakan, kan?” ucap Siswati kepada Tirto, Kamis (19/11/2020).
Hal serupa juga dirasakan Etti Wirdiyanti, seorang orang tua tunggal. Perempuan berusia 45 tahun yang tinggal di Cinangka, Depok, ini harus membiayai ketiga anaknya sendiri dengan menjual pakaian dan memasak sayur untuk dibawa ke pasar setelah suaminya meninggal dunia April lalu.
Anak sulungnya baru saja lulus kuliah sembari bekerja di pusat perbelanjaan. Sementara itu, kedua adiknya masih mengenyam pendidikan di universitas dan di sekolah dasar.
Sebelum pandemi, Etti bekerja lebih dari 10 tahun sebagai PRT di Jakarta. Namun, ia dirumahkan sejak Maret dan kontraknya dihentikan bulan Juni akhir akibat pandemi. Setelah berjuang mencari pekerjaan selama berbulan-bulan, Etti akhirnya mendapatkan pekerjaan baru sebagai PRT di tempat terpisah saat dihubungi Tirto, Kamis. (19/11/2020).
"Saya enggak mau stres. Saya harus semangat karena saya punya anak tiga. Kalau saya stres, nanti anak-anak saya lemah. Saya enggak mau," ujar Etti.
Siswati dan Etti hanyalah dua dari banyaknya perempuan Indonesia yang harus berjuang untuk menghadapi imbas krisis selama masa pandemi COVID-19. Perempuan seperti mereka acap kali berada di garda terdepan menghadapi krisis ini, baik untuk keluarganya maupun untuk Indonesia.
Banyak perempuan di Indonesia bergerak untuk membantu komunitas melalui tim Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) atau merawat pasien sebagai tenaga kesehatan. Di sisi lain, ibu pekerja juga harus membanting tulang untuk menghidupi keluarga mereka sambil menata rumah tangganya.
Meskipun perempuan memegang peran penting dalam menghadapi krisis ini, faktanya, perempuan di Indonesia kini menghadapi resiko peningkatan kerentanan dan ketimpangan gender akibat pandemi ini.
Perempuan Lebih Rentan
Studi yang dirilis UN Women pada 23 Oktober 2020 menunjukkan bahwa pandemi membuat perempuan relatif lebih rentan terkena dampak krisis COVID-19 dibandingkan laki-laki. Akibatnya, kemajuan yang dicapai selama ini untuk Sustainable Development Goals (SDGs) telah banyak mengalami kemunduran.
Sebagai contoh, UN Women mencatat dalam surveinya bahwa sebagian besar perempuan di Indonesia bergantung pada pendapatan dari usaha keluarga, dan sebanyak 82 persen dari mereka yang bergantung pada sumber pendapatan ini mengalami penurunan pendapatan. Walaupun 80 persen laki-laki mengalami penurunan serupa, laki-laki di Indonesia mendapatkan keuntungan dari sumber pendapatan yang lebih luas, menurut studi tersebut.
Perbedaan dampak pandemi yang dirasakan perempuan ini dapat memperburuk ketimpangan gender yang sudah ada sebelumnya. Sebelum pandemi, hanya 52 persen perempuan yang dipekerjakan, jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan 72 persen untuk laki-laki.
UN Women juga memperkirakan 82 persen perempuan melakukan pekerjaan informal, dibandingkan dengan 74 persen laki-laki. Kurangnya perlindungan sosial bagi mereka dengan pekerjaan informal semakin meningkatkan kerentanan mereka untuk dipecat dari pekerjaannya selama pandemi.
Penutupan sekolah pun telah mengalihkan tanggung jawab pendidikan anak kepada keluarga, terutama kepada perempuan. UN Women mencatat bahwa 39 persen perempuan dan 29 persen laki-laki di Indonesia telah menghabiskan banyak waktu untuk mengajar anak di rumah.
Perempuan di Indonesia juga harus membagi waktu untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Studi yang sama menunjukkan 19 persen perempuan di Indonesia mengalami peningkatan intensitas pekerjaan rumah tangga tak terbayar dibandingkan dengan 11 persen untuk laki-laki.
Lebih lanjut, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) merilis survei pada bulan Juni lalu yang menunjukkan bahwa masa pandemi COVID-19 mendorong adanya penambahan waktu kerja di domestik bagi perempuan sebanyak dua kali lipat karena adanya tugas tambahan untuk mendampingi anak belajar di rumah.
Menurut studi itu, sebanyak 1 dari 3 responden perempuan menyatakan bahwa bertambahnya pekerjaan rumah tangga telah menyebabkan naiknya tingkat stres pada mereka.
"Perempuan menghadapi dampak yang sangat khas karena peran gender yang disematkan kepadanya, terutama karena masih adanya keyakinan bahwa kerja domestik menjadi tanggung jawab terbesar dan utama yang dibebankan pada perempuan," tulis Komnas Perempuan dalam laporan hasil survei tersebut.
Rugikan Perempuan
Di tengah kerentanan perempuan akibat pandemi COVID-19, kebijakan pemerintah untuk menangani pandemi ternyata malah membawa dampak negatif bagi perempuan di Indonesia. Salah satu contohnya adalah kebijakan pemerintah yang mengharuskan aktivitas keluarga dilakukan dari rumah.
Kebijakan tersebut telah membuat perempuan rentan mengalami kekerasan akibat beban beban pekerjaan rumah tangga yang berlipat ganda dan berkurangnya pendapatan keluarga yang berkurang sementara pengeluaran bertambah. Hal ini disebutkan dalam kajian Komnas Perempuan dengan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) yang dirilis pada 16 Oktober 2020.
Di Jakarta saja, Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH Apik) Jakarta mendapat 710 laporan kasus kekerasan terhadap perempuan selama pandemi COVID di Indonesia dari 16 Maret sampai dengan 23 November 2020, menurut LBH Apik dalam siaran persnya, Selasa (24/11/2020).
Menurut LBH Apik, jumlah 710 laporan ini cukup tinggi karena dicapai hanya dalam waktu sembilan bulan. Catatan singkat, pada tahun 2019, pengaduan dalam satu tahun mencapai 794 laporan.
Selama pandemi, rata-rata LBH Apik Jakarta menerima 290 laporan kasus kekerasan setiap bulannya. Angka ini jauh lebih besar jika dibandingkan 50 sampai 60 kasus per bulan sebelum pandemi, ungkap Direktur LBH Apik Jakarta Siti Mazumah kepada Tirto, pada 18 November 2020.
Melalui surveinya di bulan Juni, Komnas Perempuan juga menemukan bahwa kelompok yang rentan mengalami KDRT adalah mereka yang di usia rentang 31 - 40 tahun, berpenghasilan kurang dari Rp5 juta, memiliki lebih dari tiga anak dan tinggal di provinsi yang teridentifikasi jumlah kasus COVID-19 tertinggi di Indonesia.
Dalam webinar Agustus lalu, Aliansi Perempuan Bangkit, yang terdiri dari lebih dari 40 organisasi dan sejumlah individu, juga menemukan kurangnya perhatian dan penanganan yang mengakibatkan kerentanan perempuan berdasarkan pengalaman-pengalaman perempuan yang dikumpulkan oleh aliansi tersebut selama wabah COVID-19
Lusi Peilouw, seorang aktivis perempuan dari Ambon, Maluku, menceritakan pada webinar tersebut kisah seorang ibu hamil di Ambon yang dirugikan akibat kebijakan protokol kesehatan di rumah sakit (RS). Pada bulan Juli lalu, Ibu ini ditolak tiga rumah sakit (RS) dan satu puskesmas akibat kelangkaan dan mismanajemen seputar rapid test.
Setelah akhirnya diterima untuk operasi caesar di salah satu RS, ibu tersebut kaget karena diminta membayar Rp15 juta sebagai pasien umum meskipun beliau sudah mengurus administrasi BPJS sebelum melahirkan. Alhasil, istri dari seorang pekerja serabutan di pasar ini kabur dari RS dengan meninggalkan alamatnya karena takut akan ditahan di RS dan dipisahkan dari anaknya jika tidak bisa membayar iurannya.
Menurut Lusi, peraturan yang mengharuskan pasien untuk membayar lebih untuk tes COVID-19 ditambah dengan kelangkaan rapid test di Ambon telah memberatkan ibu-ibu di Ambon yang akan melahirkan.
"Kalau memang ada aturan seperti itu, harusnya pemerintah daerah memfasilitasi semua RS, tidak hanya RS milik pemerintah, [untuk] memiliki alat rapid test dan itu harus selalu tersedia, apalagi kalau yang datang adalah perempuan yang sudah waktunya untuk melahirkan," ucap Lusi.
Kendala rapid test juga telah mengorbankan penegakan hukum. Aktivis Lily Djenaan dari Sulawesi Utara menceritakan kisah seorang pelaku kekerasan terhadap perempuan yang tidak bisa dieksekusi oleh pihak kepolisian karena penegak hukum tidak ada biaya untuk proses rapid test. Alhasil, pelaku akhirnya terpaksa dijadikan tahanan kota.
"Dengan alasan COVID-19 ini, orang bisa berkelit," ujar Lily.
Adakah Jalan Keluar?
Dari hasil kajiannya, Komnas Perempuan dan Lemhanas mencatat bahwa perlu ada terobosan untuk memasifkan pendidikan publik dan penguatan kapasitas perempuan dalam deteksi dini pada kekerasan terhadap perempuan, dikutip dari siaran pers pada 16 November 2020.
Mereka juga merekomendasikan pemerintah pusat dan DPR untuk mendorong regulasi Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) guna memberikan perlindungan yang lebih menyeluruh pada upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
DPR telah menunda pengesahan RUU PKS sejak 2012. RUU ini bahkan dicabut dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas tahun ini karena "pembahasannya agak sulit," ungkap Wakil Ketua Komisi VIII Marwan Dasopang dalam rapat bersama Badan Legislasi (Baleg) DPR pada 30 Juni 2020.
Lebih lanjut, Asian Development Bank (ADB) merilis studi bulan November ini yang merekomendasikan negara-negara di dunia untuk meningkatkan layanan sosial dan perlindungan kesehatan untuk melindungi perempuan di masa pandemi, terlebih yang bekerja di sektor informal. Selain itu, pemerintah juga sebaiknya mendukung ibu dan anak perempuan melalui akses pendidikan yang setara, pengembangan keterampilan, penciptaan lapangan kerja dan berbagai bantuan lainnya.
Dalam jangka menengah, kesetaraan gender membawa dampak positif. ADB mengutip data McKinsey yang menunjukkan bahwa upaya lebih untuk mendorong kesetaraan gender bisa meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia sebanyak 8,9 persen atau sekitar USD135 miliar pada 2025.
"Mengingat besarnya potensi keuntungan yang didapatkan negara-negara dalam kesetaraan gender yang lebih besar, dan [besarnya] kerugian yang bisa mereka rasakan jika mengabaikan dampak COVID-19 terhadap [ketimpangan] gender, pemerintah perlu mengadopsi ‘lensa’ [kesetaraan] gender dalam respons pandeminya baik di skala lokal maupun nasional," tulis ADB dalam kajiannya.
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara