tirto.id - Setelah Eibar menghajar Real Madrid tiga gol tanpa balas di Ipurua Municipal Stadium, Sabtu (24/11) lalu, Amaia Gorostiza, sang presiden klub, datang ke ruang ganti pemain dengan membawa sebotol sampanye, menyemprotkannya ke seluruh ruangan, lalu ikut berjingkrak-jingkrak bersama seluruh skuat.
Kemenangan telak Eibar atas Real Madrid secara harafiah bermakna kemenangan si kecil melawan si besar. Klub yang terletak di Gipuzkoa, salah satu provinsi kecil di wilayah otonom Basque, itu memang klub paling kecil di La Liga musim ini, baik secara prestasi, keuangan klub, hingga kapasitas stadion. Bahkan jika dibandingkan dengan klub rival sesama Basque lainnya seperti Athletic Bilbao, Alaves, atau Real Sociedad, Eibar masihlah terlalu kecil.
Sedangkan Real Madrid, well, adalah Real Madrid.
Sebagai perbandingan keduanya: sepanjang 78 tahun berdiri, Eibar baru lima kali (2014/15, 2015/206, 2016/17, 2017/2018, 2018/2019) merasakan bermain di La Liga--kompetisi teratas Liga Spanyol. Sementara Madrid, sejak didirikan tahun 1902, mereka justru tak pernah degradasi dan masih menjadi klub pengoleksi gelar La Liga terbanyak (33 trofi).
Dalam urusan finansial, pada musim 2015/2016, Eibar bahkan pernah mengalami defisit keuangan yang nyaris membuat mereka harus turun kasta dari La Liga. Untuk mengatasinya, mereka membuat penggalangan amal bertajuk ‘Defend Eibar’. Usaha itu berhasil, salah satunya karena berkat bantuan para pemain bintang Spanyol, terutama yang keturunan Basque, seperti Xabi Alonso.
Secara kapasitas stadion, Ipurua Municipal juga hanya dapat menampung total 7.083 orang saja--bahkan lebih kecil dari bekas markas Persija, stadion Lebak Bulus, yang bisa memuat sekitar 12.500 penonton. Sungguh ironis jika dibandingkan dengan Santiago Bernabeu yang megah dengan kapasitas 81.044 penonton.
Dengan sederet perbandingan tersebut, maka wajar jika kemenangan Eibar atas Real Madrid kelak akan dikenang sebagai salah satu pesta terbaik dalam sejarah mereka. Dan seumpama itu semua belum dapat menunjukkan betapa hebatnya Eibar, maka ingatlah bahwa dua petinggi klub tersebut adalah perempuan.
Selain Amaia Gorostiza sebagai presiden klub sejak 2016, ada juga Patricia Rodriguez di bangku CEO.
Klub yang Sudah Seperti Keluarga
Sebagai sebuah klub kecil yang disatukan oleh mimpi dan kebahagiaan-kebahagiaan sederhana, Eibar bagi Gorostiza lebih mirip seperti keluarga dibanding klub sepakbola profesional, terlepas dari unsur bisnis dalam pengelolaannya. Dan nilai-nilai kekeluargaan itulah yang memang menjadi salah satu keunggulan Eibar.
“Mungkin perbedaan terbesar Eibar dibandingkan klub lain adalah kedekatan antara semua orang. Dari anggota dewan hingga juru masak atau pembersih, termasuk seluruh tim teknis, staf pemain, hingga pegawai administrasi, kami memiliki hubungan yang sangat erat,” ujarnya kepada BBC.
Gorostiza tidak sedang berbasa-basi saat mengatakan hal tersebut. Ketika Vukasin Jovanovic, bek asal Serbia yang baru berusia 22 tahun yang dipinjam Eibar dari Bordeaux, tiba di klub, ia segera menyambutnya lalu menitipkan pesan hangat selayaknya seorang ibu kepada anaknya. “Sekarang ini rumahmu, klub, kita bekerja di sini seperti keluarga.”
Gorostiza mengaku memang teringat anaknya kala pertama kali bertemu dengan Jovanovic. Naluri keibuannya muncul. "Dia seumuran dengan putraku. Saya kagum karena mereka sangat pemberani. Orang-orang memanggil mereka tentara bayaran, orang-orang miskin,” ungkapnya.
Dalam film dokumenter Amazon terbaru yang berjudul ‘Six Dreams’, Gorostiza juga memperlihatkan bagaimana kedekatannya dengan para pemain, termasuk pelatih kepala, Jose Luis Mendilibar. Seperti ketika ia meledek potongan rambut David Junca, bek kiri Eibar, atau saat ia menghibur kapten tim Dani Garcia, yang menangis karena harus pindah ke Blibao musim ini.
"Mereka (para pemain) masih sangat muda, kebanyakan dari mereka meninggalkan keluarga sejak masih kecil dan datang ke sini lalu menemukan keluarga besar. Kami hidup seperti keluarga, kami makan siang bersama hampir setiap hari. Ini adalah satu hal yang tidak mereka temukan di klub lain. Ini lebih dari sekadar bermain sepakbola. Kami menganggap mereka sebagai orang, bukan barang dagangan."
Mantan pemain Eibar yang kini juga telah hijrah ke Bilbao, juga mengungkapkan bagaimana kehangatan yang ia dapat saat masih memperkuat mantan klubnya tersebut.
“(Eibar) seperti keluarga. Klub tersebut tidak mencari pemain-pemain terkenal, mereka mencari pemain-pemain bagus di divisi satu dan dua yang sudah matang atau cukup potensial. Setiap tahun ada beberapa pemain datang, tapi mereka selalu beradaptasi dengan cepat karena kami selalu terbuka dengan mereka. Sangat intim,” ujar Capa kepada Sky Sports.
Sudah Sewajarnya Perempuan Mengelola Klub Sepakbola
Bagi Gorostiza, menjadi seorang presiden perempuan di suatu klub olahraga yang didominasi oleh laki-laki sejatinya adalah suatu kewajaran dan bukan hal yang perlu dianggap spesial. Sebab dalam kultur kota Eibar, perempuan sudah terbiasa diberi tanggung jawab besar.
"Eibar adalah kota di mana perempuan selalu memiliki peran yang sangat besar dalam setiap aspek masyarakat dan klub ini merupakan cerminan dari kultur tersebut. Kami tidak memiliki kebijakan apa pun (terkait gender--red) di klub dan ini semua terjadi secara alami. Setiap kali kami mempekerjakan seseorang, satu-satunya hal yang dicari adalah kualitas tanpa mempertimbangkan jenis kelamin,” demikian ucapnya kepada Reuters.
“Saya tidak menyangkal memang bahwa hingga kini, menjadi seorang perempuan yang mengemban tanggung jawab bisnis, masih dapat menerima perlakuan tertentu yang tidak terjadi kepada pria. Tetapi hal itu akan berubah dan akan hilang pada akhirnya. Saya lebih suka tidak menganggap penting hal tersebut. Semua akan berakhir dan Anda harus melakukannya senatural mungkin.”
Gorostiza pun enggan jika sikapnya dan kesetaraan gender yang terjadi di Eibar dianggap sebagai sebuah perilaku yang pantas ditiru, kendatipun ia tetap bersyukur jika hal itu memberikan efek positif.
“Kami tidak pernah ingin menjadi contoh dalam hal ini atau aspek apa pun, kami hanya melakukan apa yang kami percayai. Tetapi jika ada klub dan organisasi lain yang percaya bahwa ada beberapa hal yang dapat mereka pelajari dari kami, itu luar biasa, dan kami merasa bangga karenanya.”
Jika Gorostiza terkesan legowo mengenai isu kesetaraan gender yang memang masih menjadi masalah besar di sepakbola, tidak demikian dengan Patricia Rodriguez selaku CEO Eibar. Dalam wawancaranya dengan Football Espana, Rodriguez memaparkan bagaimana dirinya cukup sering diremehkan, terutama pada periode awal ia memimpin, oleh para kolega laki-laki di sekitarnya.
“Jelas tidak mudah. Pada bulan-bulan pertama, terkadang pendapat saya tidak didengar dibanding kolega laki-laki yang lain. Saya harus berusaha keras menunjukkan sesuatu kepada mereka mengenai pekerjaan dan target saya bersama klub. Serta memperlihatkan bahwa saya dapat mengerjakan hal yang sama atau bahkan lebih baik dibanding mereka. Tapi sekarang mereka sudah bersikap normal kepada saya,” ujar Rodriguez.
Eibar kini menjadi satu-satunya klub sepakbola yang memiliki rasio 50 persen pekerja perempuan dalam posisi administratif. Tahun lalu mereka juga merekrut Gema Baque untuk posisi Direktur Pemasaran dan Komersial--divisi ini pun setengah anggotanya merupakan perempuan. Selain itu tercatat pula Arrate Fernandez sebagai Kepala Komunikasi.
Ke depan, bukan tak mungkin jika Eibar kembali membuat gebrakan dengan mendatangkan pelatih perempuan. Bagi sebuah klub yang memiliki prinsip--meminjam istilah Guardian--”Another Football is Possible”--maka semua hal, betapapun terasa musykil, akan selalu terasa memungkinkan.
Editor: Nuran Wibisono