tirto.id - Bahasa Inggris punya padanan yang menarik buat kata majenun: quixotic. Kata sifat yang sedap di telinga dan terkesan misterius itu dijumput dari novel El ingenioso hidalgo don Quixote de la Mancha, terbit dalam dua jilid, pada 1605 dan 1615, karya pengarang Spanyol Miguel de Cervantes. Agar ringkas, novel itu kerap disebut Don Quixote saja, mengikuti nama tokoh utamanya.
Selain gila, majenun bisa pula berarti situasi "kerasukan jin" yang membuat seseorang bertingkah ajaib di luar kendali. Quixote rekaan Cervantes juga jadi sinting karena kerasukan, tetapi bukan oleh roh halus, melainkan hikayat-hikayat kepahlawanan zaman lampau.
Secara khusus, kamus Merriam-Webster menerangkanquixotic sebagai "keruwetan dungu dalam upaya mengejar cita-cita; khususnya yang ditandai dengan gagasan-gagasan romantik adiluhung tetapi ngawur dan tindakan kekesatriaan yang berlebihan."
Dari definisi itu, bahkan mungkin bagi orang-orang yang tak membacanya, terang bahwa Don Quixote ialah bacaan pengundang tawa. Quixote, kata Goenawan Mohamad, “Kurang lebih seperti seorang orang Jawa yang hidup di zaman Hindia Belanda berjalan ke sana ke mari membayangkan diri (dan memakai kostum) ksatria Majapahit."
Quixote Remuk Diganyang Cervantes
Cervantes menggempur karakternya nyaris tanpa jeda. Quixote dibuat bolak-balik mengerjakan urusan-urusan menggelikan, babak bundas kena gebuk orang-orang yang ia recoki, dan, suatu kali, bahkan keracunan ramuan obat abal-abal bikinannya sendiri. Seandainya setiap tawa pembaca yang diarahkan kepadanya menjelma jadi api, Quixote barangkali bisa membangun neraka yang hanya menampung dirinya.
Vladimir Nabokov, penulis Lolita (1955), dalam salah satu kuliah tentang Don Quixote yang ia sampaikan di Harvard pada awal 1950-an menyamakan "kekejaman" Cervantes terhadap Quixote dengan kekejaman penyaliban Yesus, lembaga Inkuisisi Spanyol, dan olahraga adu banteng.
Nabokov serius. Ketaksukaannya terhadap sikap Cervantes ia tunjukkan dengan cara menyingkirkan Don Quixote dari silabus kuliah sastra yang diampunya di Cornell University, Amerika Serikat. Namun, ia mengambil keputusan ajaib itu justru karena kelewat mencintai Quixote.
Nabokov mengatakan, "Don Quixote telah berkuda selama tiga ratus lima puluh tahun di hutan-hutan dan padang tundra pikiran umat manusia—dan ia semakin besar dan kuat. Kita tidak menertawainya lagi. Lambangnya adalah belas kasih, panjinya ialah keindahan. Ia mewakili segala sesuatu yang lembut, sedih, murni, tulus, dan gagah."
Memang Cervantes berusaha mengajak pembaca ketawa terbahak-bahak. Pada dasarnya, ia menulis Don Quixote bukan buat memenuhi ambisi literernya, melainkan menjaring uang. Ia berharap, perundungannya yang brutal, baik lewat lelucon-lelucon gondes maupun tangan-tangan karakter lain, terhadap Quixote bisa membikin novel itu disukai banyak pembaca dan menjadi buku laris.
Hidup Cervantes mengenaskan. Ia pernah menjadi tentara bayaran, terluka dalam perang, dan dijual bajak laut sebagai budak di pasar Aljazair. Sebagai penulis pun ia tak beruntung. Lakon-lakon teater dan roman-roman pastoral karangannya diabaikan pembaca. Berbeda dari kebanyakan penulis sukses yang membangun karier dan popularitas mereka secara bertahap, Cervantes relatif tak dikenal sebelum ia menerbitkan jilid pertama Don Quixote pada 16 Januari 1605, tepat hari ini 414 tahun lalu. Saat itu, ia sudah berumur 58.
Cervantes rudin dan kehabisan waktu. Tetapi novel yang ia harapkan dapat mengeluarkannya dari hutan kemelaratan rupanya tak hanya bisa jadi sandaran finansial, tetapi juga membuatnya dikenang sebagai pengarang hebat.
Tentu tak semua pembaca Don Quixote berhati agar-agar seperti Nabokov, atau Henry de Motherlant, seorang novelis dan esais Prancis, yang tak dapat memaafkan Cervantes karena sepanjang buku ia tak sekali pun menunjukkan belas kasihnya kepada Quixote atau membelanya di hadapan para perundung.
Reaksi ini, sekali lagi, persis kasus Nabokov, menunjukkan paradoks.
"Para kritikus justru jengkel karena kekuatan utama karya Cervantes: kemiripannya dengan hidup," tulis Simon Leys dalam "The Imitation of Our Lord Don Quixote."
"[Gustave] Flaubert (omong-omong, ia memuja Don Quixote), mengatakan bahwa penulis besar dalam karyanya mesti meniru sikap Tuhan dalam ciptaannya. Ia membikin segala sesuatu, tetapi tak tampak dan tak terdengar di mana pun. Ia ada di semua tempat, tetapi tak kelihatan, diam, terkesan absen dan cuek. Kita mengutuk Tuhan karena ia diam dan abai, dan kita menganggap itu sebagai bukti kekejamannya," Leys melanjutkan.
Filsuf Jerman abad ke-19 Arthur Schopenhauer, dalam esainya "The Art of Literature" (1851), memuji Don Quixote sebagai satu dari empat novel terbaik di dunia. Tiga lainnya adalah Tristram Shandy (1759) karya Laurence Sterne, La Nouvelle Heloïse (1761) karya Jean-Jacques Rousseau, dan Wilhelm Meister (1795) karya Goethe. Kesamaan keempat novel itu, ujarnya, ialah pengutamaan "kehidupan-dalam" (inner life) ketimbang "kehidupan-luar" atau tindakan (outer life/action) para karakter.
"[...] Peristiwa tak dimunculkan kecuali untuk menyorongkan pikiran dan emosi, sementara dalam novel-novel buruk, peristiwa ada begitu saja. Padahal, keterampilan seorang pengarang terlihat dari caranya menggerakkan kehidupan-dalam dengan sesedikit mungkin keadaan; sebab kehidupan-dalamlah yang benar-benar mengundang minat kita," tulisnya.
Tetapi bukan berarti tak ada tindakan dan peristiwa dalam Don Quixote. Beberapa di antaranya justru amat kuat sehingga mustahil dilupakan para pembaca. Misalnya, ketika Quixote merampas baskom milik seorang orang Mur yang kehujanan karena merasa itulah helm emas keramat milik Raja Mur, atau, tentu, ketika ia dan kuda kurus yang ia beri nama Rocinante, menggeruduk kincir angin karena mengira itulah raksasa.
Tukang Kibul, Bukan Tukang Obat
Orang kerap menyatakan Don Quixote sebagai pemula novel modern, yaitu kisah fiksional panjang dalam bentuk prosa, dalam kesusastraan Barat. Ia lain dari buku-buku cerita yang sudah beredar lebih dulu, misalnya Iliad dan Odyssey karya Homer atau Divine Comedy karya Dante, yang berbentuk sajak.
Namun, yang lebih penting, seperti disampaikan William Egginton dalam The Man Who Invented Fiction (2016), Cervantes mendefinisikan fiksi lewat Don Quixote. Bagi Egginton, fiksi mesti mempunyai karakter-karakter yang perspektifnya dapat ditumpangi oleh pembaca, sekaligus mesti membuat pembaca sadar dan rela menjadi kaki-tangan pengarang dalam mementaskan kebohongan.
Cervantes sudah memperlihatkan ciri-ciri fiksi dalam sejumlah karyanya yang terdahulu, antara lain roman pastoral La Galatea (1585) dan kumpulan cerita pendek Novelas ejemplares (ditulis dalam rentang 1590-1612), tapi, menurut Egginton, Don Quixote-lah karya pertama yang memenuhi semua syarat fiksi.
Don Quixote berharga bukan hanya karena kualitas dan kepemulaannya dalam kesusastraan, tetapi juga bagaimana Cervantes membicarakan perkara-perkara penting di dalamnya tanpa menjadi penceramah atau tukang obat pinggir jalan.
Ada perkara filosofis: Quixote mengerti, misalnya, sekalipun manusia seringkali tak dapat mengendalikan hal-hal yang terjadi padanya, ia selalu bisa memilih cara buat mempersepsi kenyataan—jika ia memilih untuk melihat kebaikan, maka kebaikan ada.
Cervantes juga membicarakan situasi sosial-politik Spanyol. Yang paling mencolok sekaligus menarik ialah kejadian di awal jilid dua, ketika Cervantes menceritakan asal-usul kisah Don Quixote: Ia bilang, di sebuah pasar di Toledo, ia melihat seorang pemuda menggadaikan sebundel kertas ke sebuah toko.
"Aku tak sanggup menahan keinginan buat melihat salah satu naskah milik pemuda itu. Aku ingin tahu itu naskah apa, dan ternyata ia tertulis dalam bahasa Arab," tulisnya. "Berkat nasib baik, aku segera bertemu orang morisco [muslim Mur yang berpindah atau dipaksa berpindah meyakini Kristiani, setelah Spanyol melarang praktik agama Islam secara terbuka pada awal abad ke-16] yang paham bahasa Spanyol [...] Aku memintanya membacakan judul naskah itu, dan ia melakukannya: Hikayat Don Quixote de la Mancha, ditulis oleh Sayid Hamid Benengeli, seorang sejarawan Arab."
Cervantes juga menyatakan bahwa saat itu ia pun bisa dengan gampang mencari penerjemah bahasa Ibrani. Kemudian, kata Cervantes, ia menggandeng orang Mur itu ke biara sebuah gereja dan menyewanya buat menerjemahkan naskah Don Quixote.
Don Quixote, novel modern pertama yang kini diakui sebagai landasan novel-novel Eropa, karya besar yang dikagumi Schopenhauer dan pemikir-pemikir penting lain, adalah naskah sejarah terjemahan dari bahasa Arab? Kemungkinan besar, Cervantes hanya mengibul.
Nama Sayid Hamid Benengeli itu sendiri mencurigakan. "Sayid" adalah panggilan hormat dan "Hamid" memang nama yang umum di kalangan Arab, tetapi "Benengeli" berarti terung.
Lagi pula, ketika Cervantes menulis novel tersebut, menurut Edward Rothstein dari The New York Times, orang Mur berbahasa Arab tak semudah itu ditemukan di pasar Toledo, dan tak bakal ada orang Mur yang mau menerjemahkan naskah berbahasa Arab di biara gereja.
Situasi yang sebenarnya: orang-orang Yahudi telah diusir dari negeri itu sejak 1492. Buku-buku berbahasa Arab telah dibakar habis—sebagaimana buku-buku dongeng kepahlawanan milik Quixote dibakar oleh tokoh padri yang hendak menyembuhkannya dari kegilaan. Dan sekalipun umat Islam belum diusir dari Spanyol (hal itu baru akan terjadi beberapa tahun setelah penerbitan jilid pertama Don Quixote, kata Rothstein), mereka umumnya dipaksa menjadi pemeluk Kristiani.
Spanyol saat itu penuh orang Kristen baru, para bekas pemeluk Islam (morisco), dan Yudaisme (converso).
"Salah satu alasan mengapa olahan babi menjadi masakan populer Spanyol ialah pada masa itu memakannya merupakan cara membuktikan bahwa kau tak lagi mengikuti aturan makan Islam atau Yudaisme. Sedangkan terung (terkait dengan nama "Benengeli") adalah bagian dari kuliner golongan Muslim dan Yahudi pada masa silam, saat Toledo masih merupakan rumah bagi komunitas Yahudi yang makmur," tulis Rothstein.
Maka, kemunculan karakter Sayid Hamid Benengeli sebetulnya merupakan perlawanan Cervantes terhadap situasi sosial pada masanya. Lewat Don Quixote, ia menyoroti sebuah masa ketika kebudayaan Islam Spanyol diputus secara paksa.
Cervantes punya pengalaman pahit soal konfrontasi antar-agama. Pada 1571, ia bertempur di Lepanto melawan orang-orang Turk. Pasukan Kristiani menang besar, tetapi tangan kirinya lumpuh. Beberapa tahun kemudian, dalam perjalanan kembali ke Spanyol, ia ditangkap bajak laut Barber—Muslim yang sedang melancarkan perang gerilya terhadap pasukan Kristiani—dan dipenjarakan selama lima tahun.
"Empatinya kepada orang-orang Mur terkesan hati-hati, tetapi terang-benderang," kata Rothstein.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 4 Juni 2017 dengan judul "Sayid Hamid Benengeli, Muslim 'Pengarang' Novel Don Quixote" dan merupakan bagian dari serial khusus Ramadan "Al-Ilmu Nuurun". Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Maulida Sri Handayani & Ivan Aulia Ahsan