tirto.id - “Guru IPS-ku di SMP dulu, pernah bilang gini. ‘Kenapa Gunung Merapi meletus? Karena disana ada banyak kaum LGBT’,” bunyi salah satu cuitan akun Twitter yang meminta Tirto untuk menyembunyikan identitasnya.
Tudingan LGBT sebagai pembawa bencana bukanlah hal baru. Banyak pihak sebelumnya seringkali memplesetkan istilah “LGBT” yang umumnya merujuk kepada orientasi seksual "lesbian, gay, biseksual, dan transgender" menjadi “longsor, gempa bumi, banjir dan tsunami”. Tuduhan ini bahkan tertulis pada spanduk-spanduk yang menjadi viral di internet, seperti yang dilaporkan Suara.com.
Tak hanya perkara LGBT, warganet sebelumnya sering mempolitisasi bencana sebagai azab. Tirto pada 7 Agustus 2018 melaporkan bahwa warganet menuding biang kerok dari datangnya bencana alam di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), pada 2018 silam ialah karena pilihan politik gubernurnya, Tuan Guru Bajang (TGB), alias Muhammad Zainul Majdi.
“Gempa dan tsunami Aceh tanggal 26 Desember 2004, sehari sebelumnya ada perayaan Natal bersama dengan pakaian kerudung, kopiah dan disiarkan secara live. Jangan pernah mempermainkan agama. NTB kena gempa 2 kali setelah TGB mendukung pelindung penista agama. Banyak-banyak istighfar,” ungkap salah satu komentar unggahan Instagram TGB pada 1 Agustus 2018 yang kini sudah dihapus.
Dua kejadian terpisah ini menunjukkan bahwa sejumlah orang Indonesia masih menghubungkan bencana alam dengan agama. Hal ini kontras dengan sumber-sumber lain yang menunjukkan bahwa ulah manusia yang memperparah perubahan iklim menjadi faktor utama meningkatnya bencana dalam beberapa tahun terakhir.
Bencana Akibat Aktivitas Manusia
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut salah satu faktor penyebab bencana adalah akibat posisi Indonesia terletak di daerah iklim tropis dengan dua musim, yaitu panas dan hujan. Namun, seiring dengan berkembangnya waktu dan meningkatnya aktivitas manusia, kerusakan lingkungan hidup cenderung semakin parah dan memicu meningkatnya jumlah kejadian dan intensitas bencana hidrometeorologi.
Bencana hidrometeorologi sendiri adalah bahaya yang berasal dari atmosfer, hidrologi atau oseanografi, seperti angin topan dan banjir, menurut bagian PBB untuk Pengurangan Risiko Bencana (UNDRR). Kondisi hidrometeorologi juga menyebabkan bahaya lain seperti tanah longsor, kebakaran hutan liar dan epidemi.
“Dari tahun ke tahun sumber daya hutan di Indonesia semakin berkurang, sementara itu pengusahaan sumber daya mineral juga mengakibatkan kerusakan ekosistem yang secara fisik sering menyebabkan peningkatan risiko bencana,” tulis BNPB.
Baru-baru ini, Deputi Bidang Pencegahan BNPB, Lilik Kurniawan, juga menyatakan bahwa perubahan iklim memang menjadi ancaman baru yang berpotensi menimbulkan bencana.
Ia menyebut contoh bencana banjir bandang dan tanah longsor di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan NTB yang diakibatkan siklon tropis seroja sebagai bukti dampak perubahan iklim karena terjadi di area yang tidak semestinya.
"Masalah perubahan iklim ini kini menjadi ancaman baru dan sudah mulai terlihat hingga menelan banyak korban (178 orang meninggal di bencana NTT)," katanya dalam dialog Potret 10 Tahun Kebijakan dan Aksi Pengurangan Risiko Bencana Iklim di Indonesia secara virtual pada Rabu (14/4/2021), seperti dilansir dari Beritasatu.
Namun, penjelasan dari BNPB mengenai bencana alam yang kontras dengan penjelasan soal bencana alam yang beredar di publik memunculkan pertanyaan: bagaimana sebenarnya tingkat pemahaman Indonesia terhadap perubahan iklim dan bagaimana peran agama dalam membentuk pemahaman tersebut? Bagaimana pemerintah dan pemuka agama melibatkan masyarakat untuk mengatasi kendala pemahaman ini?
Masih Kurang Paham
Survei Purpose yang diterima Tirto pada 20 September 2021 menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan tentang konsep perubahan iklim masih rendah, meskipun 89 persen masyarakat sudah pernah mendengar tentang perubahan iklim. Masyarakat justru lebih familiar dengan istilah “paceklik” atau “pancaroba” dibanding "perubahan iklim" atau "krisis iklim".
Saat ditanyakan hambatan apa yang mereka hadapi untuk mengubah perilaku menjadi lebih lestari, responden paling banyak menjawab bahwa tidak ada cukup informasi tentang hal-hal yang dapat mereka lakukan terhadap perubahan iklim dan bahwa mereka memiliki hal lain yang menyita perhatian.
Berdasarkan jawaban-jawaban ini, Direktur Kampanye Purpose Rika Novayanti mengatakan kepada Tirto, Kamis (30/9/2021), bahwa isu iklim dianggap kalah penting dibanding hal-hal lain, sehingga banyak yang enggan meluangkan waktu dan perhatiannya.“Bisa jadi muara dari persoalan ini adalah belum banyak akses terhadap informasi, edukasi, atau bahkan kampanye iklim yang dianggap relevan dan dapat menyentuh level personal dan psikologis masyarakat,” ungkap Rika.
Padahal, sekitar 9 dari 10 orang Indonesia (89 persen) mengkhawatirkan perubahan iklim, sebut survei Purpose. Mereka menemukan bahwa provinsi yang mempunyai banyak pengalaman dengan bencana alam cenderung memiliki tingkat kekhawatiran lebih tinggi terhadap perubahan iklim.
Rika berharap bahwa pihak-pihak dapat menggunakan perspektif keluarga, agama, maupun kesehatan untuk membahas iklim agar isu ini dapat menjadi relevan dan personal, sehingga isu ini dapat dianggap penting hingga akhirnya orang mau meluangkan waktu dan perhatiannya. Saran ini berdasarkan survei yang sama bahwa ketiga hal ini lah yang dianggap penting oleh masyarakat Indonesia.
“Sehingga harapannya, pada masa mendatang ketika kita bicara perubahan iklim, narasinya sudah bukan lagi soal kenaikan suhu 1,5 derajat, tapi di mana anak saya akan tinggal kalau kota-kota semakin tidak bisa ditinggali karena bencana iklim, atau bagaimana masjid, imam, dan pendakwah dapat berperan dalam memperbaiki polusi udara di Jakarta,” ungkap Rika.
Survei ini dilakukan terhadap 2.073 responden di provinsi-provinsi Indonesia Barat dan Tengah dengan kombinasi wawancara tatap muka dan daring pada semester pertama 2021. Namun, ada beberapa pertanyaan survei terkait agama yang hanya melibatkan responden beragama Islam, yakni sebanyak 1.649 responden. Oleh karena itu, fokus dari pembahasan agama pada artikel ini akan lebih condong pada agama Islam.
Peran Agama Besar
Survei ini menunjukkan bahwa agama memengaruhi cara pandang masyarakat Indonesia terhadap perubahan iklim. Purpose mencatat, sekitar 91 persen responden setuju bahwa alam dan lingkungan adalah ciptaan Tuhan, jadi manusia memiliki tanggung jawab untuk merawatnya.
Mayoritas (86 persen) setuju bahwa menjaga lingkungan adalah perintah agama, sehingga orang beriman harus menaatinya. Namun, sekitar 75 persen masyarakat Indonesia bahwa bencana alam adalah hukuman dari Tuhan.
“Yang perlu kita bantu untuk edukasinya adalah [...] ketika orang percaya bahwa bencana alam adalah hukuman dari Tuhan. Bahwa, ‘Oh, terjadi banjir karena tetangga saya melakukan hal yang tidak sesuai dengan ajaran agama’, misalnya,” ungkap Rika dalam diskusi daring terpisah.Cendekiawan Muslim Roy Murtadho kepada Tirto, Kamis (30/9/2021) mengatakan bahwa kurangnya wawasan terhadap perubahan iklim, ketiadaan kebiasaan berpikir kritis yang menurun dari masa Orde Baru, dan minimnya diskusi terkait perubahan iklim yang masih bersifat “elitis” menjadi beberapa alasan di balik kesalahpahaman terkait bencana alam.
Selain itu, Roy mengatakan sejumlah oknum pemuka agama di Indonesia di luar Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah lebih mempersoalkan masalah identitas dan perbedaan agama ketimbang lingkungan, sehingga fokus terhadap perubahan iklim pun bergeser.
Padahal, pemimpin agama berada di urutan kedua setelah pemerintah lokal sebagai penyampai pesan perubahan iklim yang paling dipercayai, menurut survei Purpose. Persentasenya lebih tinggi dibandingkan dengan ilmuwan, media, dan keluarga.
Dalam diskusi daring yang sama, Roy mengatakan masyarakat Indonesia adalah masyarakat religius dengan tradisi keagamaan yang kuat selama ratusan tahun, sehingga wajar jika merasa lebih dekat dengan tokoh agama ketimbang akademisi, ahli ekologi dan penyampai pesan lain.“Itu menguntungkan sekaligus bisa jadi bencana kalau tokoh agama itu tidak peduli dengan persoalan lingkungan,” ungkap Roy dalam diskusi tersebut.
Upaya Pemerintah & Pemuka Agama
Direktur Lingkungan Hidup Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Medrilzam mengatakan pada diskusi daring yang sama bahwa pemerintah sudah mendeteksi lokasi-lokasi yang membutuhkan tindakan segera dari sisi pemerintah dan masyarakat guna mendorong aksi nyata yang meningkatkan ketahanan iklim di daerah tersebut.
Pemerintah juga sedang membangun sistem deteksi dini (early warning system) untuk bencana hidrometeorologi. Selain itu, pemerintah juga sedang mendorong sekolah lapang untuk nelayan dan petani untuk meningkatkan pemahaman terkait perubahan iklim.
“Dan ini saya kira perlu ada kerja sama yang baik dari berbagai pihak, baik dari teman-teman pewarta media, termasuk juga dari akademisi, pemerintahnya juga, terutama pemerintah daerah. Enggak mungkin lah pemerintah pusat bisa sampai menjangkau yang kecil-kecil sampai di daerah pelosok-pelosok,” ungkap Medrilzam.
Senada, Badan Restorasi Gambut (BRG) pernah bekerja sama dengan Majelis Lingkungan Hidup, Majelis Tabligh, serta Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah untuk mengedukasi terkait teknologi pembukaan lahan tanpa bakar pada November 2020.
“Ini merupakan bagian dari resolusi jihad ekologi, ikhtiar bersama mengatasi kebakaran lahan gambut,” kata Wakil MPM PP Muhammadiyah Budi Nugroho pada Kamis (12/11/2020).
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Sosialisasikan Teknologi Buka Lahan Tanpa Bakar, BRG Gandeng Muhammadiyah", Klik untuk baca: https://nasional.kompas.com/read/2020/11/13/17101851/sosialisasikan-teknologi-buka-lahan-tanpa-bakar-brg-gandeng-muhammadiyah?page=all.
Penulis : Inadha Rahma Nidya
Editor : Mikhael Gewati
Download aplikasi Kompas.com untuk akses berita lebih mudah dan cepat:
Android: https://bit.ly/3g85pkA
NU juga memiliki Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBI NU). Lembaga ini merupakan pelaksana kebijakan dan program NU di bidang penanggulangan bencana, perubahan iklim, dan pelestarian lingkungan, mengutip situsnya.
Yang terbaru, lembaga NU ini mengadakan Jambore bersama Forum Peduli Resiko Bencana di Ponorogo, Jawa Timur, untuk untuk membahas isu bencana tsunami di daerah pesisir selatan, mengutip siaran pers pada 28 September 2021.
“Dalam forum itu kami juga membahas hasil penelitian dari BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) terkait dengan pergerakan lempeng tektonik Indo-Australia dan Eurasia,” tandas Ketua LPBI NU Ponorogo Novi Tri Hartanto.
Aksi Nyata Masyarakat?
Kendati demikian, cendekiawan Muslim Roy Murtadho kepada Tirto mengatakan pelibatan pemuka agama dalam mengedukasi masyarakat masih cenderung minim. Ia pun mempertanyakan kesungguhan pemerintah untuk menanggulangi perubahan iklim.
Ia menilai, kebijakan-kebijakan saat ini masih “meleset jauh” dari Perjanjian Paris dan transisi energi bersih. Misalnya, ia mengklaim pemerintah mengatakan akan mencari peluang baru pada saat Tiongkok hendak menghentikan pendanaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara di Indonesia.
“Akar masalahnya bukan soal agama, akar masalahnya adalah kesalahan dalam kebijakan pembangunan,” ucap Roy.
Apabila pemerintah sudah menuju arah penanggulangan krisis iklim, Roy mendorong pemerintah untuk memakai instrumen agama untuk mendorong kelompok-kelompok agama agar turut serta dalam menanggulangi krisis iklim. Pemerintah bisa memfasilitasi hal tersebut melalui ruang-ruang diskusi atau ruang-ruang pemberdayaan, usul Roy.
Kelompok masyarakat sipil pun bisa melakukan berbagai program lintas agama untuk mengedukasi masyarakat terkait perubahan iklim, ujarnya. Program edukasi ini dapat mendorong cara berpikir kritis di kalangan masyarakat dan menekankan aksi nyata terhadap perubahan iklim.
“Kita enggak cukup hanya mengkritik kebijakan yang keliru, itu juga penting, tapi harus ada action-nya,” tegas Roy.
Saat ini, sudah ada beberapa aksi nyata di level akar rumput. Roy dan berbagai jaringan NU, misalnya, sudah mendampingi pesantren-pesantren kecil dengan masing-masing ratusan santri terkait cara mengolah sampah dan mempraktekkan gaya hidup nol sampah atau zero waste.
“Pengajian-pengajian di kampung itu sekarang sudah ada beberapa titik yang saya amati dan saya juga terlibat di sana, sudah enggak pakai plastik [melainkan] pakai pelepah pisang,” cerita Roy.
Roy pun berencana dengan koalisi lintas agama untuk melakukan pemasangan panel surya untuk beberapa titik di Bali, Jawa dan Sulawesi tahun ini.
Editor: Farida Susanty