Menuju konten utama

Bagaimana 9/11 Mengubah Wajah Bandara Selamanya

Sistem keamanan bandara berubah total karena serangan teroris 9/11. Berbagai metode skrining baru diperkenalkan.

Bagaimana 9/11 Mengubah Wajah Bandara Selamanya
Sejumlah pemudik berjalan menuju pesawat di bandara El Tari Kupang, NTT, Kamis (6/5/2021). ANTARA FOTO/Kornelis Kaha/hp.

tirto.id - “Tiap kali mulai merasa sombong tentang diri sendiri, saya selalu pergi ke Amerika. Petugas imigrasinya membuat seorang bintang jadi warga biasa,” kelakar salah satu orang India paling terkenal sejagat dan sepanjang masa, Shah Rukh Khan, di depan para mahasiswa Universitas Yale pada 2012 silam. Pangkal persoalannya adalah ia kerap “ditahan” otoritas bandara, termasuk selama 90 menit sebelum dapat berceramah di kampus tersebut.

Khan pernah mengalami kejadian serupa di New Jersey pada 2009. Alasannya, entah mengapa namanya masuk dalam daftar terduga teroris. Ironisnya, waktu itu Khan berangkat untuk mempromosikan My Name is Khan, film tentang imigran muslim di AS yang mengalami diskriminasi rasial pasca-serangan 9/11.

Pada 2016, Khan kembali ditahan oleh otoritas bandara di Los Angeles. Kala itu beritanya cukup heboh, sampai-sampai Duta Besar AS untuk India meminta maaf pada Khan via Twitter.

Riz Ahmed, aktor Inggris keturunan Pakistan peraih sederet penghargaan (termasuk nominasi Oscar), juga mengoleksi segudang kisah pahit yang terjadi baik di bandara Inggris maupun AS. Ahmed menyebut pengalamannya itu sebagai “audisi bandara” dalam esai berjudul “Typecast as Terrorist”, ditulis untuk buku The Good Immigrant (2016), kompilasi tulisan tentang ras dan imigrasi karya 21 penulis Inggris.

Pada 2006, tatkala baru saja mendarat di London dari Berlin International Film Festival, Ahmed digiring ke dalam ruangan di mana petugas imigrasi “menghina, mengancam, dan kemudian menyerang” dirinya. Meski Ahmed sudah menjelaskan profesi dan urusannya dari luar negeri, petugas tetap intimidatif. “Film macam apa yang Anda buat? Apakah Anda jadi aktor untuk meneruskan perjuangan umat muslim?” cecar petugas sambil memelintir keras lengan Ahmed.

Drama dokumenter yang ikut diperankannya, The Road to Guantánamo, keluar sebagai pemenang dalam festival itu. Film ini menggambarkan ulang kasus penahanan ilegal tiga sekawan asal Inggris di penjara Guantánamo, Kuba. Selama dua tahun, mereka disiksa gara-gara dituding sebagai teroris Al-Qaeda oleh pemerintah AS—tudingan yang kelak terbukti salah.

Pengalamannya hijrah ke Hollywood setali tiga uang. Kesempatan berkarier di sana bahkan nyaris hilang gara-gara pengajuan visa kerja bermasalah. Ahmed rupanya terjaring oleh Section 221 (g), bagian dari UU Imigrasi dan Kewarganegaraan AS tentang prosedur penelusuran latar belakang seseorang berdasarkan pangkalan data teroris dunia.

Khan dan Ahmed hanyalah segelintir dari sekian banyak orang yang pernah jadi korban praktik “profil ras” oleh petugas keamanan bandara. Disebut demikian karena biasanya dialami mereka yang wajahnya terlihat seperti penduduk Asia Selatan atau Timur Tengah dengan nama berbahasa Arab.

Transformasi Sistem Keamanan Bandara AS

Pengawasan ketat mulai diterapkan kepada calon penumpang di dalam negeri maupun para pendatang seperti Khan dan Ahmed setelah Al-Qaeda membajak pesawat di New York, Pennsylvania, dan Virginia pada 9 September 2001 dan menabrakkan dua di antaranya ke Menara Kembar. Serangan ini dapat terjadi karena sistem bandara gagal menghalau 19 pengikut Al-Qaeda. Mereka membajak empat pesawat komersial milik maskapai United Airlines dan American Airlines.

Serangan ini menelan nyaris 3 ribu korban jiwa dan diestimasi The New York Times menimbulkan kerugian finansial di pihak pemerintah AS sampai 3,3 triliun dolar AS, termasuk anggaran perang dan berbagai misi kontra-terorisme.

Keamanan bandara AS awalnya dikelola oleh swasta yang bisa dibilang cukup longgar. Satu contoh sederhana, keluarga atau pengantar diperbolehkan melewati pos-pos keamanan sampai gerbang menuju pesawat. Menurut situs Bandara Internasional Philadelphia, di masa itu staf keamanan hanya perlu memindai tas tenteng calon penumpang alih-alih meminta mereka membongkar isinya.

Untuk bisa lolos dari pos keamanan, seseorang juga tidak perlu melepas sepatu, sabuk, atau jaket seperti sekarang jamak dilakukan di mana-mana. Botol-botol cairan atau aerosol juga boleh dibawa tanpa pembatasan volume. Pengecekan ekstra terhadap seseorang baru dilakukan setelah detektor metal membunyikan sinyal.

Berdasarkan manual yang dirilis asosiasi industri penerbangan pada 1994, penumpang bahkan boleh membawa tongkat bisbol, jarum jahit, gunting, sampai set pisau serbaguna yang panjangnya tak lebih dari 10 cm.

Setelah 9/11, mulai bermunculan kritik tentang rendahnya kualitas dan kinerja petugas swasta bandara. Dikutip dari The New York Times edisi Oktober 2001, Ketua Business Travel Coalition, Kevin Mitchell, menganggap sistem keamanan pra-9/11 memang “rusak dan bereputasi buruk.”

Bagi Mitchell, keamanan yang konsisten dan terintegrasi seharusnya disediakan pemerintah alih-alih swasta yang mempekerjakan pegawai berupah rendah. Toh, berdasarkan survei organisasinya, 79 persen dari 232 pembeli korporat bersedia membayar tiket 3-5 dolar lebih mahal asalkan standar keamanan lebih bagus di bawah manajemen pemerintah pusat.

Tanggung jawab keamanan bandara akhirnya dilimpahkan kepada badan pemerintah federal, Transportation Security Administration (TSA), yang didirikan sekitar dua bulan setelah 9/11.

Taktik pengamanan TSA dipandang sebagai mobilisasi terbesar yang pernah dilakukan pemerintah AS sejak Perang Dunia II, tulis sejarawan Michael P.C. Smith dalam artikel di laman National Museum of American History. Hanya dalam kurun waktu satu tahun setelah dibentuk, TSA merekrut 60 ribu staf—mulai dari dokter, pengacara, veteran, sampai pemuda baru lulus kuliah—untuk membantu proses skrining calon penumpang di lebih dari 400 bandara.

Barang-barang berbahaya yang diperbolehkan dalam manual 1994 kemudian dilarang. Sementara kebijakan melepas sepatu saat melewati mesin sinar-x baru diterapkan beberapa tahun setelah militan Islamis asal Inggris, Richard C. Reid, mencoba mengaktifkan bom yang disembunyikan di sol sepatunya dalam penerbangan dari Paris menuju Miami pada Desember 2001.

TSA juga mengeluarkan aturan tentang pembatasan aerosol, cairan, atau gel seperti sampo, tabir surya, selai, saus dalam botol kecil ukuran 100 ml setelah pada Agustus 2006 dilaporkan sejumlah pihak di Inggris—diduga diarahkan oleh petinggi Al-Qaeda dari Pakistan—tengah merancang pengeboman dengan bahan peledak cair. Rencananya bom tersebut disamarkan dalam bentuk minuman soda yang akan diaktifkan dalam tujuh penerbangan dari London menuju Amerika Utara. Beruntung dua minggu sebelum misi itu terlaksana intelijen Inggris sudah menangkap para terduga pelaku dan kemalangan tak terjadi.

Regulasi baru yang lebih ketat bertambah seiring dengan semakin banyaknya strategi pengeboman pesawat.

Pada 2009, Umar Farouk Abdulmutallab asal Nigeria berusaha mengaktifkan bom berbahan plastik yang disimpan di celana dalamnya dalam penerbangan dari Lagos menuju Detroit. Aksinya berhasil digagalkan oleh penumpang dan kru pesawat.

Pada 2010, grup afiliasi Al-Qaeda di Yaman pernah mencoba mengirimkan paket bom dalam tinta printer ke AS. Aksi ini dihalau oleh otoritas Inggris dan Arab Saudi.

Ada juga kakak-beradik asal Sydney simpatisan Negara Islam. Pada 2017, mereka menyimpan bom dalam alat penggiling daging. Untungnya usaha mereka membawanya terbang ke Abu Dhabi gagal karena barang terlalu berat untuk diperbolehkan masuk kabin.

Laptop dan perangkat elektronik juga dikhawatirkan berpotensi dijadikan medium peledak. Oleh karena itu, sejak 2017, TSA mengatur penumpang untuk meletakkan laptop atau gawai (yang ukurannya lebih besar dari telepon genggam) di kontainer. Tujuannya agar memudahkan pemindaian dengan sinar-x sekaligus memungkinkan petugas mengecek barang dengan lebih teliti.

Teknologi yang Menggerus Privasi

Perubahan masif pada protokol keamanan penerbangan pada akhirnya berbenturan dengan isu privasi tubuh.

Persis setelah geger bom celana dalam, TSA mulai memasang mesin pemindai tubuh yang teknologinya lebih efektif daripada detektor metal. Menurut perusahaan pembuatnya, American Science and Engineering, citra atau gambar yang dihasilkan mesin ini hanya sebatas garis atau sketsa alih-alih foto telanjang. Tetap saja ada kekhawatiran bahwa mesin ini sudah merenggut privasi atau malah menimbulkan risiko kesehatan karena jenis teknologi yang digunakan.

Bagi penumpang yang keberatan tubuhnya dipindai, alternatifnya adalah pemeriksaan fisik dengan diraba-raba oleh petugas. Namun, per 2015, TSA mulai mewajibkan mesin pemindai tubuh pada orang-orang yang dipilih petugas.

Hal lain yang disorot pada mesin pemindai adalah dianggap bias orang kulit hitam berambut tebal dan mereka yang memakai penutup kepala seperti perempuan berhijab atau laki-laki pemeluk agama Sikh. Mesin ini kesulitan mengidentifikasi rambut tebal yang kebanyakan dimiliki oleh orang kulit hitam. Otomatis, mesin menduga ada barang berbahaya di dalam rambut. Hal ini kerap membuat orang-orang kulit hitam kurang nyaman karena petugas akan mengacak-acak rambut mereka untuk memastikan tidak ada barang tersembunyi.

Selain privasi, perkara lain yang juga disorot adalah soal data pribadi penumpang. Ini terkait penggunaan teknologi berbasis aplikasi dan data yang digunakan sejak Desember 2013. Layanan berbayar ini disebut TSA PreCheck dan ditujukan bagi penumpang yang ingin mempersingkat durasi pemeriksaan pra-keberangkatan. Dinas Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan AS (US Customs and Border Protection) juga punya program serupa, Global Entry.

Hanya dalam 6 bulan setelah TSA PreCheck dirilis, sudah ada 420 ribu orang yang mendaftar—totalnya mencapai 750 ribu sampai akhir 2014.

Dengan membayar 85 dolar AS untuk TSA Precheck (atau 100 dolar untuk Global Entry), seseorang bisa dapat layanan istimewa di pos keamanan bandara selama lima tahun. Sebagai anggota TSA PreCheck, calon penumpang tidak perlu melepas sepatu, menunjukkan laptop dan cairan dalam botol, atau melepas jaket atau sabuk. Namun tetap ada kemungkinan mereka dipilih secara acak oleh petugas dan diminta menjalani prosedur pengecekan dengan mesin pemindai tubuh, detektor metal, atau pemeriksaan fisik.

Di balik kepraktisan program-program trusted traveller (pelancong tepercaya) ini, ada harga mahal yang harus dibayar. Layanan TSA PreCheck perlu disokong data pribadi selengkap-lengkapnya dengan dokumen dan wawancara singkat. Data sensitif yang diminta meliputi sidik jari, tinggi-berat badan, warna mata dan rambut, riwayat pelanggaran hukum, kesehatan mental, sampai pekerjaan.

Untuk itu semua TSA tidak bekerja sendirian. Associated Press melaporkan mereka turut menggandeng swasta, misalnya perusahaan teknologi keamanan berbasis di Prancis, Idemia. Sampai akhir tahun ini mereka juga berencana menambah kerja sama dengan dua perusahaan lain, salah satunya Clear Secure Inc. yang bermarkas di New York. Clear dikabarkan ingin menggabungkan keanggotaan TSA PreCheck dengan produk mereka yang lain, yakni layanan verifikasi identitas untuk industri hiburan (stadion olahraga dan konser).

Advokat perlindungan hak-hak digital mewaspadai perluasan layanan verifikasi identitas untuk berbagai kepentingan industri ini. Menurut mereka hal ini berisiko menggerus privasi dan keamanan data warga.

Pejabat TSA David Pekoske mengatakan mereka memang mengizinkan vendor untuk menawarkan layanan bundle dengan harapan itu bisa jadi semacam “insentif” agar semakin banyak orang mau ikut program pelancong tepercaya. Dengan semakin banyak orang mendaftar TSA PreCheck, TSA berharap beban kerja mereka berkurang. Dengan demikian, mereka bisa mengerahkan sumber daya lebih besar untuk mengecek penumpang yang lebih berpotensi menimbulkan risiko.

Saat ini sudah ada 10 juta anggota TSA PreCheck. Jumlahnya diharapkan meningkat sampai 25 juta orang dalam waktu dekat.

Kritik terhadap TSA bukan hanya soal privasi. Tahun 2015 silam, muncul laporan bahwa dalam 95 persen kesempatan petugas TSA gagal mendeteksi senjata atau bahan peledak pada tubuh inspektur yang menyamar. Terlepas dari itu, sampai hari ini belum ditemui insiden yang menimbulkan kehancuran berskala besar seperti serangan 9/11. Antara TSA yang memang terbukti berhasil atau memang ancamannya sudah semakin mendekati nol.

Kinerja TSA juga disindir tak lebih sebagai “teater keamanan”—seakan-akan memberikan rasa aman padahal tidak. Tapi toh dalam dua dekade ini masyarakat sudah beradaptasi dengan protokol keamanan TSA yang ketat dan ribet, menurut eks-direktur National Counterterrorism Center Nicholas Rasmussen kepada Washington Post. “Bukan berarti semua orang menyukainya,” katanya, “tapi saya kira masyarakat memahami hal ini sudah jadi fitur dalam sistem dan cukup sulit untuk membayangkan jika kita melangkah mundur [ke sistem keamanan pra-9/11].”

Baca juga artikel terkait TERORIS atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Hukum
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Rio Apinino