tirto.id - Tiga orang berpakaian preman, seperti sipil pada umumnya, memasuki ruang tengah kantor Badan Pusat Intelijen (BPI) sebelum beberapa menit kemudian rentetan tembakan meletus tanpa bisa dihindari tuan rumah. Para serdadu dalam truk yang berhenti di depan kantor melompat keluar dan beraksi. Mereka menembaki lantai dua bangunan yang terletak di Jalan Madiun Jakarta itu.
“Kosongkan tempat masing-masing. Cepat keluar!” teriak para penyerbu, menurut cerita dari Bistok Pardede, mantan anggota BPI, dalam dokumen gugatan di Mahkamah Agung (MA). Bistok mengatakan setidaknya 36 anggota TNI Angkatan Darat terlibat dalam penyerbuan itu. Setelahnya, barang-barang dari dalam kantor dibawa ke luar dan ditumpuk di jalan aspal.
Jenderal Soemitro dalam Soemitro: dari Pangdam Mulawarman sampai Pangkopkamtib (1994:86) yang disusun Ramadhan K.H., mengatakan sempat terjadi tembak-menembak sebentar antar penyerbu dengan yang diserbu. Namun si pemilik tempat kalah. Ken Conboy dalam Intel: Menguak Tabir Intelijen Indonesia (2007:37) menyebut setelah penyerbuan 21 orang staf BPI ditahan.
Conboy mencatat penyerbuan itu terjadi pada 12 Maret 1966, sehari setelah Menteri Panglima Angkatan Darat (Menpangad) Letnan Jenderal Soeharto diserahi Surat Perintah 11 Maret (Supersemar), yang belakangan tak jelas rimbanya di mana.
Angkatan Darat lalu mengambil alih Gedung tersebut. Brigadir Jenderal Soegih Arto—yang sejak November 1965 menggantikan Mayor Jenderal Suwondo Parman selaku Asisten I (Intelijen) Menpangad—diangkat sebagai pejabat pelaksana di kantor tersebut sehari kemudian.
“Pada tanggal 13 Maret 1966 keluar Surat Perintah No. 2/3/1966 dari Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Mandataris MPR/Pemimpin Besar Revolusi yang isinya memerintahkan Asisten I Menpangad Brigadir Jenderal Soegih Arto untuk menguasai BPI baik operasi maupun administrasi,” aku Soegih dalam memoarnya, Sanul Daca (1989:249-250).
Pejabat BPI Disikat
BPI berdiri berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 8 tanggal 10 November 1959. Kepala BPI adalah Subandrio, kala itu menjabat sebagai Menteri Luar Negeri merangkap Wakil Perdana Menteri (Waperdam) I; sementara kepala stafnya Brigadir Jenderal Polisi Soetarto Kolopaking. BPI dilibatkan salah duanya dalam Perebutan Irian Barat dan Konfrontasi Malaysia.
Subandrio, yang dianggap simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI), dituduh telah menjadikan BPI sebagai alat politik pribadi. Salah satu yang dianggap buktinya adalah pembocoran Dokumen Gilchrist oleh BPI, yang menjelaskan "sahabat Amerika Serikat di Angkatan Darat." Angkatan Darat dan PKI sama-sama menjadi 'kaki' Sukarno, tapi keduanya bersitegang. Maka tak heran setelah itu militer bereaksi. Menurut Sayidiman Suryohadiprojo dalam Kepemimpinan ABRI (1996:206), tentara menganggap dokumen itu hanya manipulasi dari PKI.
BPI pun jadi mirip dengan Kementerian Pertahanan Bagian V yang dulu dipimpin Amir Sjarifuddin, sebab sama-sama menguntungkan golongan kiri. Dulu Bagian V dianggap berbagi informasi dengan kelompok kiri yang menjadi kolega Amir.
Tak lama setelah G30S, tepatnya sejak Desember 1965, Subandrio memang tidak lagi memimpin BPI, “Tetapi tetap saja dicap sebagai peninggalannya,” tulis Conboy.
Angkatan Darat berusaha menangkap Subandrio setelah posisi Sukarno melemah, namun itu bukan perkara mudah karena dia sulit dilacak. “Ia selalu dikawal Brimob (Brigade Mobil) yang disediakan wakilnya,” tulis Suryohadiprojo (1996:224). Wakil yang dimaksud adalah Soetarto. Penangkapan Subandrio baru bisa dilakukan setelah Supersemar keluar. Sayidiman Suryohadiprojo juga terlibat dalam penangkapan ini.
Pejabat BPI lain bukan lagi kena gulung atau sekadar terpental dari arena. Soetarto, misalnya, dijatuhi hukuman penjara yang cukup lama. Kepala Bagian II Kartono Kadri, Kepala bagian III Mayor Angkatan Darat Ragowo, dan Kepala Bagian IV Letnan Kolonel Polisi Supratikno, menurut Bistok Pardede, dikembalikan ke dinasnya masing-masing dan tidak lagi mengurusi intelijen negara.
Tak semua anggota BPI disikat. Sebagian pegawai direkrut badan baru yang dibuat oleh pemerintahan Soeharto. Mula-mula bernama Komando Intelijen Negara (KIN) pada 1966, lalu berganti nama menjadi Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) setahun kemudian, dan Badan Intelijen Negara (BIN) sejak 2000.
Bistok Pardede termasuk yang disia-siakan; tidak dipekerjakan lagi oleh Orde Baru meski dia pernah dikirim ke Kalimantan dalam rangka konfrontasi dengan Malaysia. Dia tidak pernah mendapat surat pemberhentian sebagai pegawai negara, namun tidak pernah juga mendapatkan gaji seperti pegawai lain. Karena itu ia menggugat ke pengadilan pada 2013 lalu, tapi permohonannya tak dikabulkan.
Bistok pernah mendapat penjelasan dari pegawai BIN pada 2006 lalu, bahwa para anggota BPI adalah korban politik, yang harus direhabilitasi dan bila meninggal dunia boleh dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP), seperti Kartono Kadri yang tutup usia pada 31 Mei 2005 di Kalibata.
Soeharto Dilempar Asbak
Dalam gelar perkara di pengadilan, Bistok menceritakan sebuah kisah unik meski tidak terkait langsung dengan pembubaran BPI, yakni tentang apa yang dialami daripada Soeharto pada Selasa 11 Maret 1966 ketika sidang 100 menteri di Istana dalam rangka membahas tuntutan para mahasiswa (Tritura).
Bistok, yang sepertinya bolak balik Jakarta-Kalimantan sekitar 1963-1967, mengaku pada hari itu, pukul 21.30 malam, sedang bertugas.
Soeharto tidak juga muncul ketika sidang penting itu dimulai. Dia semestinya ikut serta sebagai orang nomor satu di Angkatan Darat. Jabatannya, Menpangad, setara menteri. Soeharto adalah orang terakhir dengan jabatan tersebut. Ia menggantikan juniornya Ahmad Yani.
Setelah 40 menit Soeharto baru muncul. Kedatangan tersebut dilaporkan kepada Sukarno oleh Tjakrabirawa, nama pasukan pengawal presiden waktu itu. Soeharto diperintahkan segera bergabung, namun ia tidak juga masuk. Setelah berpidato, Sukarno mendatangi Soeharto dan rapat pun harus dipimpin oleh Subandrio—yang kala itu belum ditangkap.
Soeharto lalu menyerahkan sebuah surat dari kantong bajunya ke Sukarno. Setelah Presiden membacanya, dia bertanya: “Iki opo? Apa maksudnya?” Soeharto menjawab: Supaya Bapak aman; negara aman.
Sukarno pun marah. Diambilnya asbak dari meja dan dilemparkannya ke muka Soeharto.
Berapa pun jumlah asbak yang dilempar, atau benar tidaknya cerita ini, nyatanya Soeharto dapat semacam wangsit gaib dengan diberikannya sebuah surat bernama Supersemar, yang belakangan membuat anak buahnya menyerang markas BPI dan membuat orang seperti Bistok Pardede tak bisa bekerja lagi.
Editor: Rio Apinino