tirto.id - Tahun 2020 menjadi masa yang berat bagi industri penerbangan. Pandemi COVID-19 membuat maskapai penerbangan mati suri. Angkutan penumpang nyaris tak ada akibat lockdown, sehingga pemasukan hanya mengandalkan bisnis kargo. Akibatnya, pendapatan maskapai turun tajam. Yang tak kuat menahan beban akhirnya memilih untuk mendaftarkan kebangkrutan.
Sebagian maskapai yang masih bisa bertahan harus berjuang keras melakukan efisiensi, mulai dari mengurangi karyawan hingga meminta penjadwalan pembayaran utang. Sebagian maskapai beruntung karena diselamatkan oleh pemerintah.
Butuh waktu hingga beberapa tahun sebelum maskapai kembali ke kinerja sebelum pandemi. International Air Transport Association (IATA) memperkirakan, global passenger traffic (Revenue Passenger Kilometers/RPK) tidak akan kembali ke level sebelum pandemi COVID-19 hingga 2024.
"Pandemi merupakan masa suram bagi berbagai bisnis, termasuk transportasi. Bahkan transportasi dan logistik merupakan sektor terdalam yang mengalami masalah," kata Menhub Budi Karya, seperti dilansir dari Antara.
Menhub Budi Karya menyebutkan transportasi udara mengalami kondisi terparah karena pembatasan pergerakan penumpang baik domestik maupun internasional,hingga ketakutan penumpang akan tertular COVID-19 yang menyebabkan omzet turun 30 persen hingga 50 persen.
“Ini membuat ancaman bangkrut. Saya ambil contoh angkutan udara secara umum, pada pandemi di industri penerbangan nasional tampak moderat pada triwulan I dan turun tajam di bulan Maret, masuk triwulan II amat berat dan kita harapkan triwulan III makin baik,” katanya.
Buruknya Kinerja
Kinerja maskapai penerbangan hingga Juni 2020 memang sangat memprihatinkan. Angkutan penumpang yang terukur melalui RPK, anjlok hingga 86,5% pada Juni dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Namun, angka ini sedikit lebih baik jika dibandingkan RPK Mei yang mencatat kontraksi hingga 91%. Pada Juni, sebagian penerbangan memang sudah dibuka kembali. Kenaikan RPK pada Juni terutama disumbang dari pasar domestik, terutama di Cina.
IATA memperkirakan pendapatan maskapai komersial secara global pada tahun 2020 anjlok hingga 50% menjadi 419 miliar dolar AS. Pada tahun 2019, pendapatan maskapai komersial global naik tipis 3,2% menjadi 838 miliar dolar AS. Kinerja maskapai diperkirakan membaik pada 2021 dengan perkiraan kenaikan pendapatan hingga 42,6% menjadi 598 miliar dolar AS.
Pendapatan dari penumpang diprediksi mengalami penurunan tajam dari 612 miliar dolar AS pada 2019 menjadi hanya 241 miliar dolar AS pada 2020. Namun, pendapatan sedikit terselamatkan dari kargo yang meningkat dari 102,4 miliar dolar AS menjadi 110,8 miliar dolar AS.
Proyeksi tersebut dibuat IATA dengan menggunakan asumsi pertumbuhan ekonomi dunia minus 5%.
Maskapai komersial dunia diperkirakan menderita kerugian hingga 84,3 miliar dolar pada tahun 2020. Ini merupakan perubahan drastis dibandingkan keuntungan yang dibukukan pada tahun 2019 sebesar 27,3 miliar dolar. Kerugian diperkirakan bisa ditekan menjadi 15,8 miliar pada 2021.
Maskapai-maskapai yang tidak memiliki rute domestik diperkirakan pulih dalam waktu yang lebih lama. Misalnya Singapore Airlines dan Cathay Pacific. Ini dikarenakan penerbangan internasional masih sangat terbatas, berbeda dengan rute domestik yang ini sudah banyak dibuka kembali.
“Maskapai-maskapai yang melayani pasar domestik dalam skala besar mungkin akan mendapatkan keuntungan lebih besar, termasuk maskapai di China, Jepang, dan mungkin Indonesia,” jelas Joanna Lu, konsultan penerbangan dari Cirium di Asia, seperti dilansir dari CNBC.
Itulah yang menyebabkan IATA memperkirakan maskapai-maskapai Asia Pasifik akan mengalami kerugian terbesar pada 2020. IATA memperkirakan maskapai penerbangan komersial Asia Pasifik akan mengalami kerugian hingga 29 miliar dolar, atau terbesar dibandingkan wilayah lainnya. Amerika Utara berada di posisi kedua dengan kerugian diperkirakan sebesar 23,1 miliar dolar AS.
Ancaman Kebangkrutan
Hingga berakhirnya semester pertama, hampir semua maskapai melaporkan rapor merahnya. Beberapa sudah mendaftarkan kebangkrutan, seperti Virgin Australia, Avianca Holdings, dan Thai Airways.
Thai Airways kini sedang berada dalam perlindungan kebangkrutan dan tengah mengajukan rencana restrukturisasi kepada pengadilan kebangkrutan. Namun, di tengah proses, Auditor Deloitte Touche Tohmatsu Jaiyos tidak bisa memberikan kesimpulan atas laporan keuangan Thai Airways karena kurangnya likuiditas dan gagal bayar utang yang menciptakan “ketidakpastian material”. Akibatnya, saham Thai Airways dihentikan sementara perdagangannya oleh otoritas bursa Thailand.
Thai Airways membukukan kerugian hingga 22,68 miliar baht atau sekitar 730,4 juta dolar AS pada kuartal I dan 5,35 miliar baht pada kuartal II. Pada kuartal I, pendapatan Thai Airways terpangkas hingga 23,7% menjadi 38 miliar baht, akibat pandemi. Pada kuartal II, kondisi Thai Airways memburuk dengan pendapatan anjlok hingga 94,1% menjadi 2,49 miliar baht (year on year/yoy). Thai Airways menghentikan sementara penerbangannya sejak Februari.
Pada 19 Mei, pemerintah Thailand menyetujui rencana restrukturisasi Thai Airways melalui pengadilan kebangkrutan.
Maskapai pelat merah Indonesia, PT Garuda Indonesia Tbk juga sudah melaporkan kondisi keuangannya yang berdarah-darah akibat pandemi.
Pada semester I, Garuda menderita rugi hingga 712 juta dolar AS atau setara Rp10,34 triliun. Kinerja keuangan Garuda pada semester I 2020 ini lebih buruk dari periode yang sama pada 2019 dengan catatan laba 24,11 juta dolar AS atau setara Rp349 miliar.
Pendapatan Garuda anjlok tajam menjadi hanya 917,28 juta dolar AS setara Rp13,3 triliun. Padahal pada periode yang sama pada 2019, Garuda masih mampu memperoleh pendapatan 2,19 miliar dolar AS atau setara Rp31 triliun.
Untuk menyelamatkan Garuda, Pemerintah Indonesia akan memberikan bantuan melalui program Penyelamatan Ekonomi Nasional (PEN) yang jumlahnya mencapai Rp8,5 triliun. Sejauh ini, Garuda juga melakukan efisiensi besar-besaran mulai dari merumahkan karyawan kontrak, memotong gaji direksi, meminta keringanan dari perusahaan leasing, hingga meminta penjadwalan ulang pembayaran utang.
Garuda tidak sendiri. Ada pula Cathay Pacific yang mengumumkan rugi 9,9 miliar dolar Hong Kong atau sekitar 1,27 miliar dolar AS pada semester I. Pendapatan anjlok hingga 48,3% menjadi 27,7 miliar dolar.
“Enam bulan pertama 2020 merupakan masa paling menantang yang pernah dihadapi Cathay Pacific dalam 70 tahun terakhir,” kata chairman Cathay, Patrick Healy, dalam pernyataannya seperti dikutip dari Channel News Asia.
Sama halnya dengan Garuda, Cathay juga akan menerima dana penyelamatan dari pemerintah Hong Kong senilai 5 miliar dolar dan juga pemegang saham, termasuk rights issue. Cathay juga kemungkinan akan mencari pendanaan segar dan pasar utang untuk memperkuat keuangannya.
Sementara Singapore Airlines (SIA) pada kuartal pertama yang berakhir pada 30 Juni 2020 menderita rugi hingga 1,12 miliar dolar Singapura. Pada periode yang sama tahun sebelumnya, Singapore Airlines mencatat untung hingga 111 juta dolar Singapura.
Pendapatan SIA anjlok hingga 79,3 persen (yoy) menjadi 851 juta dolar Singapura. Maskapai ini melakukan pemangkasan kapasitas besar-besaran pada masa pandemi COVID-19. Saat ini, SIA beroperasi dengan kapasitas hanya sekitar 7%, dibandingkan sebelum pandemi.
SIA baru saja mengumumkan 6.000 dari 27.000 stafnya mengambil cuti di luar tanggungan, dengan masa cuti yang bervariasi. Jalan itu diambil untuk membantu perusahaan yang sedang berupaya keluar dari krisis akibat pandemi COVID-19.
Editor: Windu Jusuf