tirto.id - Matahari hampir tenggelam di ufuk barat. Suasana nyaris gelap karena langit kebetulan juga dipayungi mendung. Beberapa santri sudah bersiap menanti sajian berbuka puasa. Sore itu adalah Ramadan pada 2005.
Di kebanyakan pesantren, berbuka puasa tidak pernah dilakukan sendiri-sendiri. Semua disajikan dalam satu nampan untuk makan bersama-sama dengan 3-6 santri. Hal yang juga menjadi tradisi di pesantren saya, Pesantren Mangkuyudan, Surakarta. Sangat jarang ada santri yang makan dengan menggunakan alat makan sendiri atau makan sendirian. Hampir semua santri selalu makan dalam satu tempat dan makan ramai-ramai.
Hal ini bukan karena makan sendiri-sendiri tidak dibolehkan. Alasannya cukup sederhana. Model makan bersama-sama dalam satu wadah secara perhitungan ekonomi cukup menghemat biaya. Paling tidak, para santri bisa menikmati berbagai lauk-pauk dan hidangan takjil karena uang patungan dari yang ikut makan bisa menghasilkan “uang kas” cukup lumayan.
Akan tetapi, bagaiman dengan nasib santri yang kebetulan tidak punya uang? Apakah ia tidak bisa ikut makan bersama-sama?
Oh, tetap bisa. Sebab dalam kerumunan makan berjamaah para santri semacam ini, selalu tersedia dua lowongan bagi yang tidak punya modal. Pertama, lowongan yang akan bertanggung jawab mengambil nasi di dapur pesantren, dengan antrean yang tentu saja luar biasa banyaknya (apalagi jika antrean itu terjadi di periode puasa bulan Ramadan). Kedua, sebagai orang yang bertanggung jawab mencuci nampan dan membersihkan tempat makan.
Itulah yang terjadi dengan Ahmadi, santri Mangkuyudan angkatan 2009, yang baru saja terbangun dari tidurnya di sore hari.
Seperti halnya seseorang yang terbangun dari tidur jelang magrib, kesadaran Ahmadi belum berada dalam kondisi prima. Beberapa mimpinya masih ada yang nyangkut dan membuatnya sedikit linglung. Kebetulan, kamar Ahmadi cukup dekat dengan masjid pesantren. Kamar mandi dan tempat wudu jadi begitu dekat dengan kamarnya.
Saat keluar kamar dan hendak mencuci muka karena masih belum cukup sadar, mendadak salah satu temannya menegur dan menepuk pundaknya dari belakang.
“Eh, Ahmadi. Kamu yang azan dan yang nyuci nanti, aku yang ambil nasi, ya?” kata temannya ini mendadak memberikan pembagian tugas.
Mendengar itu, Ahmadi menoleh sejenak.
“Oke,” kata Ahmadi sambil mengambil air wudu.
Setelah mengambil air wudu, Ahmadi menuju masjid. Menyalakan pengeras suara masjid, lalu mengambil mic.
“Alllahuuuuakbar alllaaaaaaaaaahuuaaakbar!”
Kumandang azan magrib pun menggema seantero pondok pesantren. Suara yang juga terdengar ke luar pesantren dan terdengar di kampung sekitar. Sudah menjadi pemandangan lumrah jika azan di masjid pesantren adalah patokan waktu untuk azan masjid sekitarnya.
Maka dimulailah buka puasa di seluruh pesantren. Para santri yang sudah bersiap di depan hidangan berbuka, tanpa ampun mereka segera melahap apapun yang ada. Sampai ketika azan sampai pada kalimat….
“Khayya’alasshooolaaaaa.”
Tiba-tiba terdengar suara gebrakan beberapa kali pintu rumah di samping masjid.
“Woy, Kang, siapa itu yang azan?” teriak Gus Mustamir, putra salah satu pengasuh yang kebetulan kediamannya sangat dekat dari masjid.
Sadar bahwa ada yang salah, Ahmadi menghentikan azannya.
“Belum waktunya magrib, Kang. Ngawur. Siapa itu yang azan?” teriak Gus Mustamir mendekat.
Menyadari bahwa azan belum saatnya dikumandangkan, Ahmadi langsung kabur dari ruangan muazin masjid. Berlari sekencang mungkin.
Sementara itu di depan kamar para santri, prosesi berbuka sudah dimulai. Semua menyantap dengan lahap.
Wajarnya berbuka, tentu saja yang disantap adalah sajian yang manis-manis seperti kolak, es campur, dan sebagainya. Sampai kemudian kenikmatan berbuka tersebut dihentikan dengan sebuah pengumuman yang akan membuat tersedak siapapun yang mendengar.
“PENGUMUMAN! PARA SANTRIWAN-SANTRIWATI, AZAN MAGRIB MASIH 5 MENIT LAGI.”
Saya yang saat itu sedang makan kolak terkejut luar biasa. Begitu juga dengan beberapa teman lain. Ini mimpi buruk. Tentu saja kami menyadari, bahwa hal semacam ini masuk pada kategori ma’fu (dimaafkan) dalam fikih. Tapi, tetap saja rasanya kesal dan ingin tertawa sekaligus mendapati diri harus menghentikan makanan atau minuman di mulut dan tenggorokan karena menyadari belum waktunya berbuka puasa.
Sampai akhirnya, 7 tahun setelah peristiwa tersebut, saya bertemu dengan pelaku yang membatalkan puasa satu pesantren tersebut. Sebuah pengakuan ketika saya bercerita, bahwa dulu, ketika masih mondok, pernah ada kejadian orang gila misterius yang azan berbuka di waktu yang salah.
Dengan senyum tanpa merasa berdosa, Ahmadi ini berkata.
“Oh, kejadian itu, ya, Kang? Itu dulu aku yang azan,” katanya polos.
Setiap hari sepanjang Ramadan, redaksi menurunkan naskah yang berisi kisah, dongeng, cerita, atau anekdot yang, sebagian beredar dari mulut ke mulut dan sebagiannya lagi termuat dalam buku/kitab-kitab, dituturkan ulang oleh Syafawi Ahmad Qadzafi. Melalui naskah-naskah seperti ini, Tirto hendak mengetengahkan kebudayaan Islam (di) Indonesia sebagai khazanah yang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari. Naskah-naskah ini tayang di bawah nama rubrik "Daffy al-Jugjawy", julukan yang kami sematkan kepada penulisnya.
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Zen RS