tirto.id - Pada rapat rahasia Agustus 1983, Chairman Toyota Motor Corporation (TMC)Eiji Toyoda, melempar pertanyaan sederhana “Apakah Toyota bisa membuat sebuah mobil mewah yang bisa bersaing dari yang paling terbaik?” Tantangan itu dijawab “Ya” oleh para top manajemen Toyota kala itu.
Mobil dambaan Toyoda bergulir Mei 1989. Nama yang disematkan bukanlah Toyota melainkan Lexus LS400. Butuh tim khusus dan banyak kandidat nama bagi Toyota untuk melahirkan julukan paripurna pada segmen mobil paling adiluhung Toyota. Nama Toyota kala itu kurang “kuat” untuk menjadi sebuah nama mobil mewah keluaran (TMC) di pasar Amerika. Nama Lexus diambil sebagai bagian dari strategi untuk mengeruk pangsa pasar khusus.
Sampai sekarang strategi itu masih berlaku. Kali ini, malah berkebalikan, dalam konteks yang berbeda. Penampakan sebuah “Toyota Avanza” dengan langgam taksi berkeliaran di jalan, Toyota Astra Motor (TAM) buru-buru mengklarifikasi bahwa itu bukanlah Toyota Avanza, melainkan Toyota Transmover. Toyota benar-benar ingin memisahkan segmen mobil penumpang pribadinya dengan kelas armada angkot atau taksi (fleet market).
Public Relation Manager PT Toyota Astra Motor (TAM) Rouli Sijabat mengatakan penjualan Transmover sudah mencapai sekitar 3.000 unit semenjak diperkenalkan pada akhir 2016. Rouli menegaskan segmen ini memang ada pasarnya dan perlu dikelola.
Toyota memang sengaja membuat perbedaan antara Avanza untuk angkutan penumpang pribadi dengan “Avanza” taksi dengan spesifikasi yang diturunkan sehingga harganya bisa ditekan jadi Rp143 juta per unit, jauh lebih murah dari harga Toyota Avanza penumpang pribadi termurah Rp190 juta.
Toyota mencoba belajar dari pengalaman saat sedan Toyota Soluna “terpaksa” menjadi armada angkutan umum taksi, dan Toyota tak bisa mengelaknya. Alasannya, perusahaan taksi rela membayar pajak dua kali, sebagai kendaraan roda empat pelat hitam dan pelat kuning.
Pada era awal 2000-an, belum banyak Agen Pemegang Merek (APM)) mengeluarkan mobil yang khusus untuk kebutuhan taksi. Sementara itu, perusahaan-perusahaan taksi butuh armada yang andal. Toyota meresponsnya dengan “menyulap” Toyota Vios jadi Toyota Limo sebagai versi khusus untuk taksi.
Kerunyaman pun muncul dari strategi semacam ini. Pengaruhnya bisa pada citra Toyota Vios. Setidaknya dua hal yang menjadi catatan, yaitu citra positif bahwa “Vios” taksi punya nilai fungsional dengan citra yang tahan lama, irit, dan rendah biaya perawatan. Namun, yang paling berisiko justru bila citra itu mengarah ke sisi emosional, ada citra buruk bagi sebuah mobil bila “turun” kelas sebagai armada angkutan umum.
“Sisi emosional memang akan terkena, oleh karena itu diferensiasi perlu diperlebar. Artinya daripada citra Vios-nya kena karena dijadikan taksi, dibuatlah Toyota Limo dengan spesifikasi yang disesuaikan,” kata Rouli kepadaTirto.
Belum lama ini di jagat maya, sebuah foto menunjukkan deretan mobil yang mirip Wuling Confero didandani dengan karakter taksi yang diduga berlokasi di Palembang. Brand Manager SGMW Motor Indonesia Dian Asmahani tak keberatan saat debut di tahun-tahun pertamanya, Wuling Confero berfungsi sebagai taksi. Wuling memang sedang melakukan penjajakan dengan beberapa merek seperti Blue Bird, Grab dan nama lainnya, tapi semua itu belum ada kesepakatan yang final. Namun, bagi Wuling sebagai pendatang baru memang ini bisa jadi kesempatan untuk penetrasi pasar, tapi juga ada risiko yang harus mereka tanggung.
“Di sisi lain, menandakan brand kita sebenarnya dipercaya secara realibilitasnya, after sales, karena pasti ada sisi itu yang harus dipertimbangkan kalau mau pakai untuk armada taksi,” kata Dian kepada Tirto.
Respons beda justru datang dari PT Honda Prospect Motor. Mobilio, MPV andalan Honda yang sudah wara-wiri di jalan-jalan Jakarta sebagai armada taksi pada dasarnya adalah versi Honda Mobilio dengan spesifikasi untuk mobil pribadi. Honda memilih jalan lain dengan tak membuat kendaraan khusus untuk taksi. Honda Mobilio sudah menjadi armada taksi Blue Bird sejak 2015.
“Mobilio ya Mobilio tidak ada rencana produksi mobil seperti Wuling, yang pasti. Khusus taksi tidak sampai dengan saat ini. Isinya kan sama,” kata Marketing and After Sales Service Director PT Honda Prospect Motor Jonfis Fandy kepadaTirto.
Saat Honda yang mengambil strategi tak memisahkan segmen, tapi tetap memberikan ruang untuk Mobilio sebagai armada taksi, berbeda dengan Mitsubishi. Sejak awal euforia kemunculan Mitsubishi Xpander tahun lalu, MPV berparas SUV ini dijaga oleh Mitsubishi agar tak jadi armada taksi. Mitsubishi Xpander tidak akan diizinkan menjadi taksi konvensional demi menjaga citra mobil penumpang Mitsubishi di mata para konsumen, ini juga diterapkan untuk MPV medium Mitsubishi Delica.
"Sejak awal revitalisasi di segmen mobil passenger, opsi taksi memang tidak jadi pilihan bagi kami...untuk taksi kami tidak mau," kata Kepala Penjualan dan Pemasaran Region I PT Mitsubishi Motors Kramayudha Sales Indonesia (MMKSI), Budi Dermawan Daulay dikutip dari Antara.
Saat masing-masing merek punya sikap berbeda terhadap efek citra yang bisa melorot karena armada taksi. Namun, asosiasi pabrikan mobil di Indonesia melalui Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) justru punya sikap lain. Sekjen Gaikindo Kukuh Kumara menegaskan adanya varian khusus dari produk untuk keperluan taksi atau armada tak akan memberikan pengaruh pada merek, justru menjadi bukti bahwa produk tersebut punya nilai lebih.
“Kalau mobil yang disiapkan khusus untuk taksi bukankah harus lebih tangguh, durable. Jadi tidak mengganggu brand image,” katanya kepada Tirto.
Pernyataan Kukuh bisa jadi benar, dalam konteks semakin berkembangnya armada taksi yang mengusung ride sharing maka keberadaan armada taksi konvensional bisa jadi hanya masalah waktu saja. Para pabrikan tak perlu buang-buang waktu untuk “alergi” dari apa yang disebut sebagai armada taksi.
Penulis: Suhendra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti