Menuju konten utama

Aturan Penggunaan Senpi Anggota TNI Sudah Saatnya Diperketat

Pengawasan penggunaan senpi di tubuh TNI perlu dilakukan dan dibarengi dengan aturan penggunaan senpi yang ketat.

Aturan Penggunaan Senpi Anggota TNI Sudah Saatnya Diperketat
Ilustrasi. Kepemilikan senjata api oleh sipil. Foto/iStock

tirto.id - Tiga anggota TNI AL terlibat dalam kasus penembakan pemilik rental mobil di Indomart Rest Area KM 45 Tol Jakarta-Merak pada Kamis (2/1/2025). Tiga anggota TNI AL tersebut masing-masing berinisial KLK BA, Sertu RH, dan Sertu AA. Dua di antaranya adalah anggota satuan Kopaska Koarmada I TNI AL, sedangkan satu lainnya anggota KRI Bontang.

Panglima Koarmada TNI AL, Laksamana Muda (Laksda) Denih Hendrata, menjelaskan bahwa AA merupakan aide de camp (ADC) alias ajudan sehingga mempunyai senjata api (senpi) yang selalu melekat atau dibawa. Sementara itu, BA dan RH adalah paman serta rekan dari AA selaku pembeli mobil.

Meski memiliki senpi, Denih menegaskan bahwa anggota TNI tidak dibenarkanbertindak arogan, apalagi sampai melakukan penembakan atau pembunuhan. Ke depan, pihaknya pun berjanji akan melakukan evaluasi penggunaan senpi oleh anggotanya.

"Siapa pun anggota kami, jika terbukti salah akan kami tindak sesuai perundang-undangan yang berlaku," ujar Denih dalam konferensi pers, di Kantornya, Jakarta, Senin (6/1/2025).

Kejadian penembakan oleh anggota TNI AL di awal tahun ini tentu menambah panjang daftar kasus pembunuhan di luar hukum. Berdasarkan data Amnesty Internasional Indonesia, sepanjang 2024 tercatat ada 55 kasus pembunuhan di luar hukum yang mayoritas melibatkan aparat kepolisian maupun militer. Sebanyak 10 pelaku berasal dari unsur TNI, 29 dari kepolisian, dan 3 berasal dari gabungan TNI-Polri.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan bahwa hal itu jelas melanggar hak asasi manusia (HAM). Sayangnya, perilaku aparat memakai senjata api secara tidak sah terus berulang, seakan tak ada upaya perbaikan dari pimpinan TNI dan Polri.

"Pembunuhan di luar hukum melanggar hak hidup. Lingkaran impunitas ini harus segera dihentikan agar ke depannya tidak ada lagi korban jatuh akibat penyalahgunaan wewenang aparat," jelas dia kepada Tirto, Selasa (7/1/2025).

Pengawasan Senpi Perlu Diperketat

Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, mengatakan bahwa kasuspenembakan di Tol Jakarta-Merak itu seharusnya menjadi momentum bagi TNI untuk mengevaluasi kembali prosedur pengawasan terhadap penggunaan senjata api oleh prajuritnya, baik dalam tugas resmi maupun di luar tugas.

"Praktik pengawasan ketat harus diterapkan untuk mencegah penyalahgunaan senjata api di masa mendatang," kata Khairul dalam keterangannya kepada Tirto, Selasa (7/1/2025).

Terlebih, menurut Khairul, kasus ini sebenarnya menyisakan kejanggalan yang patut dicermati lebih jauh. Salah satunya soal penggunaan dan pemilikan senjata api oleh pelaku. Pasalnya, penting untuk memastikan apakah senjata api yang digunakan oleh pelaku merupakan senjata dinas atau bukan.

Jika senjata yang dipakai pelaku AA adalah senjata dinas, tentu patut diusut mengenai bagaimana senjata tersebut bisa digunakan di luar tugas resmi. Karena, prosedur penggunaan senjata dinas biasanya diawasi sangat ketat, termasuk dalam hal amunisi.

"Pelaku mestinya menghadapi risiko tinggi jika menggunakan senjata dinas untuk tindakan yang tidak sah," jelas Khairul.

Namun, jika senjata tersebut ternyata diperoleh dengan cara tidak sah atau ilegal, pelaku dapat dikenai sanksi berat berdasarkan UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951. Ini juga membuka dugaan lain yang juga mesti diselidiki, yaitu apakah ada potensi pelaku AA memiliki akses ke jaringan pemasok senjata ilegal.

Manager Amnesty International Indonesia, Haeril Halim, menambahkan bahwa pengawasan penggunaan senpi di tubuh TNI memang perlu dilakukan. Pengawasan ini pun perlu dibarengi dengan aturan penggunaan senpi yang ketat.

Pasalnya, menurutnya, TNI belum pernah punya aturan yang rigid terkait penggunaan senpi seperti Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian.

"Sepengetahuan kami, belum pernah melihat aturan yang rigid di TNI. Memang di TNI senjata kadang melekat dalam konteks melaksanakan dinas dan atas sepengetahuan atasan. Tapi, kalau kita lihat apa yang terjadi di penembakan di Tangerang, itu tidak terkait sama sekali dengan kedinasan atau tugas" jelas Haeril kepada Tirto, Selasa (7/1/2025).

Sementara itu, Polri sudah memiliki Perkap Nomor 1/2009 yang mengatur bahwa setiap penggunaan senpi oleh anggotanya wajib dilaporkan kepada atasan dengan mengisi formulir. Pasal 3 Perkap Nomor 1/2009 menyatakan bahwa penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian diatur dengan prinsip-prinsip legalitas, proporsionalitas, masuk akal, mengutamakan kewajiban umum, dan bersifat preventif.

Pasal 13 Ayat 1 Perkap Nomor 1/2009 juga menyatakan bahwa setiap individu anggota Polri wajib bertanggung jawab atas pelaksanaan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian yang dilakukannya.

Sementara itu,Pasal 13 Ayat 4 menyatakan bahwa atasan/pimpinan yang memberi perintah kepada anggota Polri untuk melaksanakan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian harus turut bertanggung jawab atas resiko/akibat yang terjadi sepanjang tindakan anggota tersebut tidak menyimpang dari perintah atau arahan yang diberikan.

Selanjutnya, Pasal 14 Ayat 3 menyatakan bahwa anggota Polri yang melaksanakan penggunaan kekuatan wajib segera melaporkan pelaksanaannya kepada atasan langsung.

Namun, aturan-aturan tersebut hanya mengatur tentang tata laksana internal dan tidak bisa dipakai sebagai pertimbangan dalam sistem peradilan bagi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh petugas kepolisian.

"Tidak ada aturan serupa bagi prajurit militer," jelas Haeril.

Penyelesaian Kasus Mesti Transparan

Terlepas dari urgensi aturan penggunaan senpi bagi TNI, Usman Hamid mendorong agar pelaku penembakan dapat diadili melalui peradilan umum, bukan peradilan militer yang prosesnya cenderung tertutup dan tidak transparan.

Dia bahkan mendesak pemerintah dan DPR RI untuk segera melakukan reformasi sistem peradilan militer dengan merevisi Undang-Undang Peradilan Militer Nomor 31 Tahun 1997.

Revisi ini harus memastikan bahwa pelanggaran hukum pidana umum yang dilakukan oleh personel militer dapat diproses melalui peradilan umum sesuai amanat Undang-Undang TNI Nomor 34 Tahun 2004.

"Hanya dengan langkah ini, kita dapat memastikan keadilan yang sesungguhnya bagi para korban dan mengakhiri impunitas yang telah berlarut-larut," jelas dia.

Di sisi lain, Khairul dari ISESS berpendapat bahwa kasus penembakan ini dapat diproses melalui mekanisme acara koneksitas, sebagaimana diatur dalam Pasal 89 KUHAP. Dalam mekanisme ini, pelaku dari peradilan sipil dan militer dapat diadili di pengadilan umum, meskipun keputusan akhir mengenai yurisdiksi berada di tangan Menteri Pertahanan dan Menteri Hukum.

"Meski banyak pihak mendorong agar kasus ini disidangkan di peradilan umum demi menjamin transparansi, penting untuk diingat bahwa peradilan militer juga memiliki kapasitas untuk menangani kasus berat dengan pengawasan ketat," jelas Khairul.

Dia mencontohkan dalam kasus penembakan Dirut PT Asaba, Budhyarto Angsono, pada 2003 yang juga dilakukan oleh anggota TNI AL. Perkara tersebut disidangkan di peradilan militer dengan proses yang transparan dan berhasil mengungkap fakta secara menyeluruh, termasuk motif serta peran masing-masing pelaku.

Pengadilan militer dalam kasus tersebut juga menunjukkan ketegasan dengan menjatuhkan hukuman berat kepada para pelaku, termasuk hukuman mati. Salah satu pelaku, Letda Syam Ahmad Sanusi, sempat melarikan diri dari Rumah Tahanan Militer, tetapi akhirnya ditembak mati saat melawan dalam upaya penangkapan.

Pelaku lain, Kopda Suud Rusli yang divonis mati oleh Mahkamah Militer, berhasil ditangkap kembali dan hingga kini menunggu eksekusi hukuman mati. Pengejaran dan penangkapan dramatis saat itu menunjukkan komitmen aparat untuk menegakkan hukum, meskipun prosesnya penuh risiko.

Kasus tersebut, kata Khairul, memberikan pelajaran penting bahwa peradilan militer mampu menangani kasus berat dengan baik jika ada komitmen tegas dari institusi TNI. Di samping itu, pengawasan internal yang kuat dan transparansi kepada publik tetap menjadi faktor penting untuk menjaga kepercayaan masyarakat.

"Untuk kasus penembakan di Tol Tangerang-Merak ini, TNI khususnya TNI AL harus menunjukkan komitmen penuh dalam mengungkap fakta dan menindak pelaku, sebagaimana dilakukan dalam kasus 2003," jelas dia.

Jika sidang kasus ini tetap dilakukan di Mahkamah Militer, Khairul berharap prosesnya berjalan secara profesional dan transparan dengan fokus utama pada pengungkapan fakta, termasuk dugaan adanya jaringan beking dalam penggelapan mobil ini.

Hal itu penting agar tidak hanya pelaku, tetapi juga pihak-pihak lain yang terlibat dalam jaringan tersebut dapat terungkap dan diproses hukum.

Baca juga artikel terkait REGULASI SENJATA API atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - News
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi